Loading...
Logo TinLit
Read Story - Segitiga Sama Kaki
MENU
About Us  

“Pak Goyara, maaf. Kok, saya bisa salah satu ya?” 

Guru yang tengah beristirahat di ruangannya itu terkesiap. Ia menoleh ke sekitar, kepada rekan-rekannya yang masih ada di jam pulang sekolah ini. Saat ia berhasil mengunci pandangan dengan guru yang duduk di sudut ruangan, ia mengangkat alisnya, seolah bertanya, ada apa dengan anak ini? Dan guru geografi tersebut hanya mengangkat kedua bahu sambil tertawa kecil. Phiko bisa melihat interaksi itu dengan jelas.

“Pertanyaan macam apa itu? Ya itu usaha kamu, hasil kamu, dan kamu yang mengerjakannya. Kenapa tanya saya?” Pak Goyara mendengkus julid. 

“Saya ... tidak biasa ada ulangan dadakan, Pak. Seharusnya sehari sebelum ulangan dibuatkan pengumuman dulu. Lagipula, Bapak itu baru di sini, kenapa minggu lalu langsung mengadakan ulangan?” Phiko berusaha menjaga nada bicaranya. 

“Loh, loh. Kok, ngatur saya? Wah, anak di SMA ini kurang ajar sekali, ya, Pak?” 

Guru geografi yang tadi tertawa keras. “Dia memang kurang ajar. Bulan lalu dia berani nampar anak kelas lain yang kebetulan meriksa ulangan punya dia. Padahal, Kakak-kakaknya baik sekali.” 

“Kakaknya? Dia punya kakak?” 

“Punya. Mereka kembar tiga. Viko dari IPA tiga, satu lagi Finna, sekelas sama dia tuh.” 

“Oh, baru tau saya.” Pak Goraya mengangguk-angguk. “Beda banget,” bisiknya kemudian, padahal Phiko masih bisa mendengarnya dengan jelas. 

Phiko mengerlingkan bola matanya tanpa sepengetahuan dua guru ini. Ia tak lagi mempertanyakan tentang kesalahan ulangan dadakannya di nomor sepuluh. Hanya satu nomor, tapi sungguh mengecewakan. Phiko tidak pernah mendapat nilai kurang dari seratus. 

Saat Phiko hendak keluar dari ruang guru, langkahnya terhenti begitu dirinya berhadapan dengan lelaki yang mirip sepertinya. Tumpukan buku catatan berada di tangannya. Di belakangnya ada temannya yang membantu membawa sisa buku tersebut. 

“Armor, lo duluan masuk. Eh, gue nitip.” Vino memberikan buku-buku di tangannya. Beban yang dibawa Armor makinlah bertambah banyak. 

“Lo ... apa kabar?” tanya Vino setelah Armor hilang dari pandangan. 

Phiko melipat kertas ulangannya. Tanpa menjawab, lelaki itu beranjak meninggalkan Vino. 
Dengan segera, Vino mengejar Phiko, memegang pergelangan tangan Phiko. “Phi, Phi, tunggu dulu. Denger gue dulu.” 

Phiko memandangi pergelangan tangannya yang masih digenggam. Sadar tindakannya membuat Phiko tidak nyaman, Vino segera melepaskannya. Vino menatap Phiko lamat-lamat. 

“Gue minta maaf kalau lo tersinggung sama omongan gue minggu lalu.” 

“Gak perlu diungkit. Udah gue lupain.” Phiko membalikkan tubuhnya. 

Lagi-lagi Vino mengimbangi langkah Phiko hingga dirinya kini berada di depan Phiko. Vino tersenyum getir. Matanya bergerak-gerak seperti melihat keadaan Phiko.

“Lo tinggal bareng Ibu, ya? Bapak kangen sama lo. Pulang dari rumah sakit, lo gak ada di rumah. Padahal, setiap Bapak sakit, lo yang selalu suapin dan urus dia.”

“Kan, ada lo, ada Finna. Kenapa harus gue?”

“Bukan itu maksud gue,” tegas Vino. “Bapak cuman kangen aja. Bapak juga nyuruh gue buat minta maaf sama lo. Tapi, Bapak juga gak maksa lo buat balik ke sana, asal lo bahagia sama Ibu.”

Vino berbicara seolah tidak ada masalah yang terjadi sebelumnya dengan Phiko. Bahkan Vino mengukir senyum di bibirnya. Memuakkan, Phiko membuang pandangannya. 

“Kapan-kapan main ke rumah Bapak, ya. Walaupun tempatnya di kampung, tapi lo juga lahir di sana.” 

Vino menyadari keengganan adiknya berbicara dengannya. Ia memilih pergi saat Armor terlihat keluar dari ruang guru. Armor sempat menatap

Phiko saat berpapasan, seolah ia mempertanyakan apa yang baru saja terjadi antar dua anak kembar ini. Namun, tanpa bersuara, Armor memilih mengimbangi langkahnya dengan sahabatnya.

Phiko menundukkan kepala. Lelaki itu kenal Armor. Dahulu, ketika mereka masih SMP, Phiko juga berkawan baik dengan Armor, mereka bertiga bersahabat, berempat jika ditambah dengan Finna. Namun, dikarenakan Vino dan Phiko merenggang, terpaksa hubungan Armor dengan Phiko pun ikut merenggang. Ketahuilah sekarang Phiko benar-benar sendirian. Tidak ada teman, tidak ada yang ... peduli dengannya. 

 

“Ibu, kira-kira di daerah sini ada tempat les gak, ya?” Phiko memecahkan keheningan. Tepat setelah pertanyaan itu, bayi yang sedang berada dalam gendongan Ibu mulai menangis. Ibu terpaksa berdiri dan berayun-ayun. 

Ibu menempelkan telunjuknya di depan bibir, memperingati Phiko supaya tidak berisik. Phiko menggigit bibir bawahnya. Kehadirannya di ruang tamu untuk mendapat cahaya rupanya membuat Ibu dan adik tirinya terganggu. Andaikan lampu kamar kecil itu benderang, sudah pasti ia akan mengurung diri di sana, seperti kebiasaannya di rumah Bapak.

“Tempat les? Ada beberapa meter dari sini. Kata anak tetangga, tempatnya worth banget buat kelas 12 kayak kamu.” 

Mata Phiko membesar. Terdengar menarik. Ia menggapai ponsel yang tak jauh di dekatnya. Phiko mencari tempat les yang dimaksud Ibu. Ternyata Ibu benar. Jaraknya tak lebih dari satu kilometer. Penilaian orang tentang tempat tersebut juga sangat baik, bintang empat setengah. Phiko mencari tahu lebih salam tentang tempat les tersebut. Media sosialnya, akun youtubenya, dan metode belajarnya, semua cocok untuk Phiko. Bahkan lulusannya saja banyak sekali yang masuk PTN terbaik di Indonesia. Air muka Phiko berubah menyenangkan. Phiko ingin mengikuti pembelajaran tambahan di luar jam sekolah, dan tempat les ini sangat pas untuknya. Saat Phiko melihat harga paketnya, wajahnya berubah murung. Wajar saja tempat ini bagus, harganya tidak main-main. Sekitar sepuluh juta untuk sebulannya. Belum lagi biaya tambahan lainnya. 

Phiko ingat, bukankah ibunya ini menikahi pria kaya? Apalagi di apartemen semewah ini, tak mungkin Ibu tidak bisa memberikan sepuluh juta untuk anaknya.

“Ibu ....”

“Ibu tahu isi pikiranmu, Phi.” Wanita itu menatap tajam, lalu menggeleng. “Kalau kamu punya duit sendiri, ya, silakan. Tapi, Ibu tidak bisa memberi apa yang kamu mau seenaknya.” 

Phiko mengembuskan napas gusar. Pupus sudah harapannya. Lebih baik Phiko belajar mandiri dengan tekun daripada memaksa Ibu agar memberi sepuluh juta kepadanya. 

“Kecuali ....” Ibu menggantungkan kalimatnya. Duduk di sofa dekat Phiko. “Kamu mau kerja sama Papa.”

“Kerja apa?” Phiko mengangkat kedua alisnya.

 

Di dunia ini, tidak ada seseorang yang bisa menghasilkan uang tanpa bekerja. Mungkin. Kecuali orang-orang yang memiliki kekuasaan. Ayah tiri Phiko-lah orangnya. Ternyata, lelaki yang selama ini menatapnya dengan tajam di apartemen, ialah lelaki penguasa pasar. Hanya dengan ongkang-ongkang kaki, pria itu sudah bisa menghasilkan sepuluh hingga dua puluh juta per hari. Mengandalkan setoran dari kacung-kacungnya yang menagih belasan toko di pasar ini. 

Siapa sangka? Sebuah keluarga yang tinggal di apartemen mewah itu rupanya mendapat uangnya dari cara kerja seperti ini. Ibu bilang, pekerjaan ini adalah pekerjaan sampingan Papa. Entah apa pekerjaan utamanya, Phiko sedikit ragu jika menyebutkan itu pekerjaan baik. 

Itu artinya, hari di mana ayah tirinya bertemu dengan Ibu untuk pertama kali, merupakan hari pertama pula pria itu bekerja sebagai penagih iuran. Seharusnya Phiko bisa menyimpan dendam kepada pria berwajah tegas ini.

“Hm, apa, ya.” Pria itu berpikir saat Phiko meminta untuk diperkerjakan di sini. 

Demi bisa mengikuti kelas tambahan, Phiko terpaksa menuruti saran ibunya. Ini kali pertama Phiko bekerja, Phiko berharap ia akan diberi tugas yang ringan, agar tidak mengganggu sekolahnya. 
Alis pria itu bergerak. Ia menemukan ide bagus. 

“Dengar sini, anak muda.” Pria itu menarik tangan Phiko dengan kasar. “Satu anak buahku ada yang tidak datang hari ini. Dia tugasnya menagih iuran dari pasar sebelah timur sana. Kau gantikanlah dia.” 

Dengan logat khas Medan, pria itu menitah dan tentu Phiko langsung menuruti. Phiko tidak ingin ia menjadi pusat perhatian di pasar yang ramai ini, hanya karena ia tak menuruti perintah ayah tirinya. Phiko sebetulnya tahu pasti, bahwa pasar timur merupakan ... daerah toko-toko buku. 

Meski demikian, Phiko akan tetap menjaga nama baik Bapak. Phiko mulai melakukan tugasnya. Menutupi setengah wajah dengan topi pemberian ayah tirinya. Sejauh ini, belum ada yang menyadari kehadiran Phiko sebagai penagih uang iuran. Ayah tirinya menjanjikan bayaran dua ratus ribu per hari. Sangat lumayan. Siapa yang akan menolaknya? Hanya dengan memasang tampang seram, menagih orang-orang, kau akan dibayar sejumlah dua ratus ribu. Ya, mungkin bagi Phiko pekerjaan ini akan menurunkan jati dirinya sebagai anak baik yang berambisi memiliki nilai besar di sekolah. Tapi, Phiko begini pun karena keinginannya untuk mendapat nilai terbaik. 

“Kamu bawahan Bang Roger yang baru?” 

Tangan kanan Phiko masih terulur meminta iuran, sementara yang kiri menggenggam beberapa lembar uang lusuh hasil menagih ke beberapa toko sebelumnya. 

“Kelihatan anak baik dia,” sahut lelaki lain yang bertetangga dengan toko ini, bertumbuh sedikit buncit dengan rambut gondrong. “Masih SMA kayaknya.” 

“Tunggu dulu.” Saat lelaki di depannya hendak memberikan uang, ia menelisik wajah Phiko yang tertutup oleh topinya.  “Phiko?” 

Ah! Jelas hampir seluruh pemilik pasar timur, alias wilayah pasar buku mengenal Phiko. Siapa lagi kalau bukan anak Pak Adithama yang terlahir kembar tiga sekaligus. Kabar kelahiran mereka bertiga disambut sangat meriah dahulu. 

“Kenapa kamu jadi bawahan Pak Roger?” Lelaki itu sedikit memiringkan kepalanya, melihat ke arah belakang Phiko. “Mas Tham! Ini anakmu—”

“Stt!” sergap Phiko. Phiko merebut uang yang menggantung di tangan lelaki di depannya itu. Lantas ia membalikkan tubuh. Phiko ingin meninggalkan toko itu secepat mungkin. Namun, langkahnya terhenti saat tatapannya bertemu dengan seorang gadis yang ada di seberang toko ini. 

Ada banyak orang di sana. Hampir semua berseragam SMA, kecuali Bapak. Mereka teman-teman kelas Vino, sedang bercengkerama sambil iseng membuka buku random. Tidak biasanya toko Bapak dibuat tempat menongkrong anak-anak muda. Namun, jika dilihat lebih saksama, senyuman di wajah Vino tampak lebih lepas jika bersama kawan-kawannya. 

“Ibunya menikah dengan Pak Roger. Mungkin Phiko memilih ikut sama ibunya.” 

Begitu lelaki gondrong tadi menambahkan, Finna yang masih bertatapan dengan Phiko bergerak menyenggol kakaknya, memberitahu jika Phiko ada di pasar ini. Kini, mata kedua kakaknya mengarah tepat kepada Phiko yang bergerak terburu-buru. Phiko enggan bertemu dengan kakaknya, apalagi teman-teman kakaknya, dan juga Bapak. 

Sebuah tamparan melayang, mendarat ke pipi kanan Phiko begitu ia hendak menyerahkan penghasilannya hari ini. Phiko merasakan panas menjalar di wajahnya. Ia juga merasa beberapa orang di sekitarnya memandang dengan tatapan menjatuhkan. Ayah tirinya sudah mempermalukan Phiko di depan umum, hanya karena ada beberapa toko yang tidak Phiko datangi untuk ditagih, salah satunya toko Bapak dan toko-toko di sekitar lokasi Bapak. 

“Hari pertama sudah membuatku rugi, gimana besok-besok?” 

Ayah tiri Phiko melangkah mendekat. Tanpa diduga, dirinya mendorong Phiko cukup kuat hingga tersungkur ke belakang. Menampar saja tidak cukup untuknya. Beberapa orang pasar berteriak panik, takut ada keributan yang menyebabkan kekacauan. 

“Phiko!” 
Pandangan Phiko tertarik ke arah teriakan yang melengking itu. Tak lama seseorang menyambar tangannya, membantunya supaya duduk, membersihkan tubuhnya dari pasir dan kotoran pasar. Finna sangat memastikan adiknya baik-baik saja. 

“Jangan kasari adik saya!” Vino juga ternyata ada di sini. Ia berdiri di hadapan Phiko yang masih bersimpuh di atas tanah pasar. Sebelah tangannya menenteng sekantong plastik hitam, sementara tangannya yang lain mengepal seolah bersiap untuk menjadi tameng dua adiknya 

Ayah tiri mereka mengangkat bahu, memajukan bibir bawah. “Ternyata triplets ada di sini.” 

Pria itu tertawa pelan. Menoleh ke lain arah yang rupanya menyadari kehadiran Bapak di sana. Bapak diam terpaku menatap pria yang telah berhasil merebut istrinya. 

“Kenapa? Apa kalian juga ingin ikut denganku? Lelah mengurus pria tua yang penyakitan itu?” 

Vino menjatuhkan kantong plastiknya sembarangan. Ia melipat lengan seragamnya hingga menunjukkan lengannya yang cukup berotot. Ini sudah keterlaluan menurut Vino. Pria tak tahu diri di hadapannya ini harus diberi pelajaran. 

“Vino.” Langkah Vino langsung berhenti saat Bapak memanggilnya. Vino menolehkan kepala. Bapak menggeleng lemah dengan tatapan sendunya, membuat Vino seketika melupakan egonya.  

“Kita pulang. Kita masak malam ini,” ujar Bapak dengan suara yang kecil. 

Vino mengembuskan napas gusar. Mengambil kembali kantong plastik yang sepat dijatuhkannya, lalu memaksa Finna supaya berdiri. 

“Tunggu, tunggu.” Finna menghempaskan tangan kakaknya dengan pelan. Ia berbalik. “Phiko, ayo pulang. Bapak beliin kita ayam hari ini.” 

“Fin.” 

“Phiko, aku janji, aku sama Vino gak akan pulang malem lagi. Kita juga bakal urus Bapak bareng-bareng, asalkan kamu pulang. Kita tinggal sama Bapak lagi.” Finna terdiam, menunggu respons adiknya. Namun, Phiko tak kunjung berbicara, bahkan menoleh ke arahnya juga tidak. Phiko justru berdiri, lantas mendekati ayah tirinya. Hal ini membuat Finna tidak terima. 

“Phi, Bapak beliin kita kentang juga. Kita masak perkedel kentang, kesukaan kamu, Phi. Kita masak bareng-bareng. Aku, aku bakal bantu kamu ngerjain tugas juga. Phi, ayo kita pulang bareng-bareng.”

“Udah, Fin! Dia udah milih jalannya sendiri. Kita gak bisa ngatur dia.” 

Vino dan Finna saling melempar tatap. Kelopak mata Finna tampak berlinang air. Sementara Vino, matanya hanya memerah padam, tidak dapat diartikan marah atau sedih. Tak lama, Vino, Finna dan Bapak meninggalkan kerumunan di pasar itu yang makin ramai, mereka ingin tahu apa yang diributkan oleh si kembar. Phiko hanya bisa merasakan langkah mereka yang semakin menjauh. Jauh, jauh sekali sampai ia tak bisa lagi mendengar suara ketiga orang yang dahulu begitu disayangi olehnya. 

Rasa sayang itu sudah pudar tiga tahun lalu. Ketika ibunya menikah lagi, ketika Vino jadi berandalan malam, ketika Finna menjadi pengunjung langganan hotel. Semua rasa sayang Phiko sudah pudar. Bahkan perasaannya sudah mati sekarang. Andaikan Bapak yang mengajaknya barusan, mungkin Phiko masih mau ikut bersama mereka. Namun, Bapak hanya diam saja. Phiko ... sedikit kecewa.

Jika kedua kakaknya menikmati ayam dan perkedel kentang malam ini, Phiko harus mendapat siksaan dari ibunya. Entah mengapa, rasanya dipermalukan di pasar tadi tidak cukup, ayah tirinya mengadukan tindakan Phiko kepada istrinya, membuat istrinya terpaksa harus memberi pelajaran kepada putranya. 

“Anak tidak tahu diuntung!” gertak Ibu. 

Phiko menundukkan kepalanya. Ia bersimpuh di hadapan Ibu, di dalam kamar sempit dan berdebu. Phiko mengepalkan kedua tangannya, diletakkan di atas pahanya. Air mata mulai merembes menetesi punggung tangan Phiko. Kedua telinganya seakan terbuka lebar untuk mendengarkan sumpah serapah Ibu, berkata bahwa Phiko tidak akan menjadi apa-apa jika bertindak selayaknya pecundang seperti itu. Phiko harus mengikuti jejak ayah tirinya jika tak mau bernasib seperti ayah kandungnya. 

Kurang lebih selama satu setengah jam Ibu bertahan di kamar sempit itu untuk menceramahi Phiko, Ibu meninggalkannya dengan pintu yang dibanting sebagai salam penutup. Phiko akhirnya bisa duduk di kasur. Ia memijit bagian tubuhnya yang terasa nyeri karena dipukuli Ibu. 

Ponsel di saku celana Phiko berdering. Ia mengambilnya. Tertera kontak Bapak yang memanggilnya. Beberapa menit sebelumnya juga Bapak sempat menelepon, tapi tidak Phiko angkat karena masih dalam masa sidak Ibu. 

Kira-kira untuk apa Bapak menelepon? Memamerkan apa yang mereka makan malam ini? Atau kedua kakaknya menyuruh Bapak agar melakukan ini?

“Ada apa, Pak?” 

“Phiko, kakak-kakakmu kecelakaan.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
399      289     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
Yu & Way
165      134     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1262      779     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Penantian Panjang Gadis Gila
325      245     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Monday vs Sunday
211      170     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Monologue
617      428     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
FaraDigma
1335      666     1     
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
Konfigurasi Hati
555      379     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Ameteur
91      81     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Wabi Sabi
142      103     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.