Lima Belas Tahun Kemudian
Seorang pria berjaket kulit hitam turun dari motornya.
Ia membuka helm. Rambut hitam ikalnya tampak sedikit berantakan, sementara brewok kasar menghiasi rahangnya yang tajam. Bulu-bulu halus di tangannya menciptakan kesan maskulin yang tajam. Tubuhnya tinggi dan tegap, lengan berotot tersembunyi di balik jaket gelap yang sudah sering ikut turun ke lapangan.
Ia melangkah masuk ke kantor Polda Metro Jaya.
Dua polisi yang berjaga di lobi spontan menegakkan tubuh dan memberi hormat.
“Pagi, Ndan.”
Ia hanya mengangguk kecil.
Di koridor, seorang polisi muda buru-buru menghampiri dengan map di tangan.
“Ini laporan kasus dari Unit II, Ndan.”
“Nanti.”
Satu kata cukup untuk membuat polisi itu membeku, lalu mundur pelan.
Pria itu berjalan lurus menyusuri lorong hingga tiba di depan ruang briefing. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu.
Ruangan yang tadinya riuh mendadak sunyi. Suara obrolan terpotong. Kursi-kursi bergeser cepat, dan beberapa orang buru-buru memperbaiki posisi duduknya.
Seorang anggota bersandar santai disikut oleh rekan di sebelahnya.
“Sst... AKP Bumi.”
Orang itu langsung duduk tegak.
Sosok yang disebut AKP Bumi melangkah masuk. Tangan bersilang di dada. Wajah datarnya keras dan tak terbaca.
Ia duduk di kursi ujung meja, pandangannya menyapu seluruh ruangan yang kini hening dan tegang.
Lalu, dengan suara rendah dan berat, ia berkata, “Mulai.”
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama