Pagi itu, Bumi bersiap kembali ke sekolah. Masa skorsingnya telah selesai.
Ia tidak banyak bicara. Sejak bangun tidur, gerak-geriknya tenang, nyaris tanpa suara. Hanya suara ritsleting tas dan gesekan buku yang menemani pagi itu.
Dirga memperhatikannya dari sudut kamar. Tampak ingin bicara, tapi urung. Seolah ada sesuatu yang menahan lidahnya. Mungkin canggung. Mungkin takut menambah beban.
Mereka berdua keluar dari kamar bersamaan, melangkah ke ruang makan.
Namun langkah mereka terhenti.
Di dekat meja, Indira terlihat panik. Ia mondar-mandir menyiapkan perlengkapan Agni—popok, susu, baju ganti—semua masuk ke dalam tas kecil warna biru. Agni masih digendong di lengannya, tertidur dengan pipi menempel di bahunya.
“Bumi,” ucap Indira cepat, tanpa menoleh, “sekolah tadi nelepon Mama. Katanya ibunya Raka minta diadain pertemuan lagi siang ini.”
Bumi menoleh cepat. Jantungnya seolah dicekik.
Apa lagi sekarang? pikirnya. Ia sungguh mengira semuanya sudah selesai.
Indira terus mengemas barang sambil bicara, napasnya terburu. “Mama mau nitipin Agni dulu ke rumah Bu Risma. Nanti Mama nyusul ke sekolah kalian.”
“Papa enggak ikut?” tanya Bumi pelan. Ada nada ragu di suaranya. Bukan karena ingin ditemani—tapi karena tak tega membayangkan ibunya harus menghadapi semuanya sendirian.
Indira menggeleng, memasukkan popok terakhir ke dalam tas. “Papa nggak bisa izin. Masih harus ngajar di sekolah.”
Ia lalu berdiri, membenarkan posisi Agni di gendongannya.
“Kalian makan dulu. Mama mau antar Agni.”
Tanpa menunggu balasan, Indira menyambar tas dan berjalan cepat ke luar rumah. Tidak menoleh lagi.
Suasana jadi hening. Hanya terdengar suara langkahnya menjauh di teras.
Dirga menggeser kursi, lalu menoleh ke kakaknya. Wajah Bumi tampak berat, seperti sedang memikul sesuatu yang tak terlihat.
Dirga menepuk pelan punggung Bumi. “Makan dulu, Bum.”
Bumi hanya menarik napas pelan. Kemudian, tanpa berkata apa-apa, ia ikut duduk di meja makan. Tangannya meraih sendok, tapi gerakannya lambat.
Nafsu makannya hilang. Tapi ia tahu, tubuhnya harus tetap berjalan. Karena hari ini… belum tentu akan berakhir ringan.
***
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, jantung Bumi terus berdetak tak beraturan.
Bukan karena takut—tapi karena satu nama.
Sophia.
Bagaimana nanti ia harus menatap mata gadis itu?
Bagaimana jika Sophia membencinya sekarang?
Setiap langkah menuju kelas terasa seperti menapaki ranjau. Murid-murid yang berpapasan menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Sebagian langsung menyingkir dari jalurnya. Ada yang hanya menunduk. Ada pula yang terang-terangan memperhatikannya dari ujung lorong.
Bumi tahu alasannya.
Berita tentang dirinya—yang menghajar Raka dan lima temannya sampai babak belur dan masuk rumah sakit—nampaknya sudah menyebar ke seluruh sekolah. Mungkin versi ceritanya telah dibesar-besarkan. Mungkin ditambahi. Tapi intinya sama:
Bumi. Sendirian. Enam orang. Hancur.
Dan kini, tatapan-tatapan itu bukan hanya menyoroti. Tapi juga menilai. Mencap.
Mungkin mereka menganggapnya monster.
Tapi Bumi tidak peduli.
Ia tidak pernah peduli pada apa yang orang lain pikirkan tentangnya.
Yang ia pedulikan hanyalah satu hal—bagaimana pendapat orang-orang itu bisa memengaruhi orang-orang yang ia pedulikan.
Saat sampai di lantai tiga, perutnya kembali bergejolak. Tegang.
Ia berdiri di depan ambang pintu kelas.
Suara riuh di dalam mendadak meredup.
Semua mata tertuju padanya.
Beberapa wajah menunjukkan keterkejutan. Ada yang menyembunyikan kekaguman. Ada juga yang menunduk cepat-cepat—seperti takut bertatapan.
Ekspresi mereka campur aduk.
Antara kagum. Kasihan. Tapi juga… ngeri.
Bumi memindai ruangan.
Matanya langsung tertuju ke arah kursinya.
Kosong.
Sophia…
Dia tidak ada di sana.
Apa dia masih dirawat? pikirnya. Apa lukanya memburuk?
Pikiran itu membuat dadanya sesak.
Tanpa berkata apa pun, Bumi berjalan menuju tempat duduknya. Langkahnya tenang, tapi hatinya tidak.
Ia duduk. Membuka tas. Mengeluarkan buku. Gerakannya otomatis.
Kemudian tangannya berhenti di atas meja.
Ia menatap layar ponselnya.
Jempolnya melayang, ragu.
Apa gue SMS dia?
Tapi…
Sesuatu dalam dirinya menahan.
Rasa bersalah itu masih ada.
Masih menempel di dadanya seperti beban yang belum bisa dilepas.
Ia belum siap.
Belum layak.
Bumi menatap kursi kosong di sebelahnya.
Dan untuk pertama kalinya pagi itu, ia merasa… benar-benar sendiri.
***
Bumi duduk di dalam ruang kepala sekolah dengan tangan terlipat di pangkuan. Wajahnya datar, tanpa ekspresi.
Di sebelahnya, Indira duduk dengan gelisah. Wajahnya tegang, tapi berusaha tetap tenang.
Di seberang meja, duduk orang tua Raka. Ayahnya, Pak Rajasa, tampak tidak nyaman di kursinya. Sesekali ia melirik ke arah istrinya, Bu Ratna, yang duduk dengan dagu terangkat dan sorot mata tajam tertuju pada Bumi dan Indira.
Di antara mereka, Kepala Sekolah, Pak Jafar, duduk sebagai penengah. Wajahnya tampak gugup, seolah tahu bahwa apa pun yang akan ia katakan hari ini takkan cukup memuaskan semua pihak.
“Jadi begini, Pak Jafar,” Ratna membuka pembicaraan dengan nada terkontrol, “waktu itu suami saya mungkin sudah sempat membicarakan ini dengan orang tua pihak pelaku…”
Pelaku? Bumi mendengus pendek. Sekarang Bumi paham kenapa Raka sangat tolol. Genetik memang tidak bisa bohong.
“…tapi saya merasa, keputusan waktu itu belum cukup berpihak pada korban. Anak saya—Raka—babak belur, Pak Jafar. Sampai sekarang masih di rumah sakit. Kok bisa sekolah hanya kasih hukuman skorsing ke anak ini?”
Sorot matanya mengarah langsung ke Bumi saat mengucapkan “anak ini”, seolah menyebut benda.
Indira akhirnya angkat bicara. Suaranya tenang, tapi tegas. “Mohon maaf, Bu Ratna. Seingat saya, waktu itu kita sudah sepakat untuk tidak memperpanjang masalah ini. Suami Ibu dan suami saya sudah bicara baik-baik, kan?”
Ratna mendengus kecil.
Indira tersenyum tipis. Tapi matanya menusuk. “Lagipula, mungkin Ibu lupa. Satu-satunya yang benar-benar bisa disebut korban dalam kasus ini… adalah gadis bernama Sophia. Yang dipukulin beramai-ramai di dalam kelas… oleh anak Ibu dan teman-temannya.”
Kata-katanya terucap pelan, tapi tajam.
Bumi melirik ibunya. Tanpa sadar, ujung bibirnya sedikit terangkat. Rasa bangga meluap di dadanya. Mama emang luar biasa, pikirnya.
Wajah Ratna menegang, ia mendengus keras tampak tak percaya Indira berani membalas seperti itu.
“‘Dipukulin’?” Ratna tertawa sinis. “Ibu ini terlalu berlebihan. Itu cuma kenakalan anak-anak biasa. Mereka cuma main-main. Tapi anak Ibu? Dia mukulin 6 anak sampai semuanya masuk rumah sakit… Itu tindakan kriminal, Bu.”
Ia menoleh ke suaminya yang berseragam polisi dinas itu, meminta dukungan. “Iya, kan Yah?”
Pak Rajasa hanya mengangguk pelan, enggan menambahkan apa pun.
Ratna menyeringai kecil ke Indira. “Dan saya dengar, ini bukan pertama kalinya, kan? Anak Ibu juga pernah dikeluarkan dari SMP karena kasus yang sama?”
Lalu matanya beralih ke Pak Jafar, sorot matanya berusaha mengintimidasi. “Saya jadi bertanya-tanya, kenapa sekolah ini bisa menerima murid dengan riwayat seperti itu? Saya rasa hal ini bisa jadi bahan untuk evaluasi akreditasi sekolah tahun depan, Pak Jafar,” kata Ratna yang merasa percaya diri dengan jabatannya di Dinas Pendidikan.
Pak Jafar membuka mulut, tapi belum sempat bicara, Indira memotong cepat.
“Bumi memang pernah terlibat perkelahian,” katanya, nada suaranya mulai naik, “tapi waktu itu dia diajak ikut tawuran. Anak-anak itu maksa dia, bahkan ngancam akan ngeroyok dia dan adiknya kalau nolak. Dia cuma melindungi diri. Dan melindungi adiknya.”
Ratna mencibir. “Tetap aja, Bu… Apa yang anak Ibu itu lakukan… kriminal.”
Indira menarik napas panjang. Dalam.
Tapi Bumi tahu—di balik napas itu, ada bara yang nyaris meledak.
Ia sendiri hanya mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Lidahnya gatal ingin melawan. Tapi ia menahan diri.
Ratna kembali menoleh pada Pak Jafar. “Jadi begini saja, Pak. Saya hanya minta satu hal. Anak ini harus dikeluarkan dari sekolah.”
Suara ruang rapat terasa menegang.
“Anak saya—Raka—sudah hampir sembuh. Tapi saya tidak akan biarkan dia kembali ke sekolah ini… selama anak ini masih ada di sini.”
Indira menunduk. Tangannya meremas rok di pangkuan. Napasnya mulai terdengar berat. Tak ada pilihan. Tak ada celah.
Bumi melirik ibunya. Dadanya terasa sesak. Ia bisa melihat bahu ibunya bergetar halus. Tapi Indira tetap menahan semuanya sendiri.
Ratna menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyeringai tipis.
“…atau,” lanjutnya pelan, “kalau sekolah tetap membela anak ini, saya akan bawa kasus ini ke ranah hukum. Dan saya yakin Pak Jafar, itu bisa berpengaruh ke reputasi sekolah ini.”
Pak Jafar menunduk. Tak menjawab.
Indira menunduk lebih dalam. Seolah tak lagi punya ruang untuk bicara.
Dan Bumi… merasa seperti dicekik. Tangan yang terkepal di lututnya mulai gemetar.
Ia membuka mulut. Ingin berbicara. Ingin membela. Apa pun.
Namun sebelum satu kata keluar, terdengar ketukan di pintu.
Tok. Tok.
Semua kepala menoleh.
Pak Jafar cepat berdiri. “Ya?”
Pintu itu berderit terbuka.
Dan seorang gadis berdiri di ambang pintu. Wajahnya masih penuh memar, sebagian telah menguning. Tubuhnya terlihat lelah, ringkih. Tapi sorot matanya tajam, tak bergeming.
Jantung Bumi seolah berhenti berdetak.
Sophia.
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama