Rika berdiri di balik jendela kelas XII IPS 3. Dari celah kecil di antara gorden yang tersingkap, ia mengintip ke dalam ruangan.
Di sana—Sophia.
Gadis yang selama ini berusaha mengikis semua yang pernah jadi milik Rika.
Sophia tampak terpojok di tengah kelas, dikelilingi oleh Raka dan teman-temannya. Mereka melemparkan bola satu per satu ke arahnya, seolah menjadikan tubuh lelah itu sasaran permainan.
Sophia meringkuk, mencoba melindungi diri sebisanya. Sekali-dua kali ia berusaha bangkit, tapi segera terhuyung dan jatuh kembali.
Rika menyaksikan semuanya dengan wajah tenang. Tapi di balik sorot matanya yang beku, ada kilatan puas yang sulit disembunyikan.
Setiap kali Sophia terjatuh lagi, sudut bibir Rika terangkat sedikit—nyaris tak terlihat, tapi cukup jelas.
Namun tiba-tiba, dari ujung lorong, dua siswi kelas X muncul. Mereka berjalan pelan, tampaknya hendak menuju masjid sekolah yang terletak tak jauh dari kelas itu.
Rika segera melangkah keluar dari bayangan jendela. Gerakannya tenang, senyumnya hangat, suaranya ramah.
“Mau ke masjid, ya?” tanyanya.
Kedua siswi itu mengangguk cepat. “I-iya, Kak.”
“Muter lewat lab aja, ya. Di kelas XII IPS 3 lagi ada anak-anak nyoba kostum buat exhibition. Takutnya kelihatan dari luar.”
“Oh, iya Kak…”
“Bilang juga ke yang lain, ya. Suruh lewat jalur belakang aja.”
“Siap, Kak…”
Setelah keduanya berbalik dan berjalan menjauh, Rika tetap berdiri sejenak.
Menatap punggung mereka yang perlahan menghilang di tikungan lorong.
Senyumnya kembali muncul.
Tapi kali ini, lebih dingin. Lebih tipis. Lebih tajam.
Rika mendengus. “Polos banget,” gumamnya pelan.
Ia lalu kembali ke balik gorden—diam-diam, seperti bayangan yang terus mengintai.
***
Bumi tersentak.
Ia hampir saja tertidur. Mengusap matanya yang berair sambil menguap lebar, ia melirik layar ponsel.
Pukul lima sore.
Lama juga… pikirnya.
Ia menggenggam ponselnya ragu. Apa gue turun aja ya?
Tapi seketika muncul keraguan. Bagaimana kalau Sophia menganggapnya terlalu posesif? Cowok yang harus selalu tahu dia di mana, ngapain, dan sama siapa?
Bumi menarik napas keras. Menyandarkan punggungnya kembali ke dinding rooftop, ia memutuskan menunggu sedikit lebih lama.
Lalu ponselnya bergetar.
Sophia? pikirnya cepat, berharap.
Tapi bukan.
Bukan namanya yang muncul. Hanya deretan angka asing—nomor tak dikenal.
Bumi mengernyit. Curiga. Tapi akhirnya menekan tombol hijau dan menjawab.
“Halo?” suaranya datar.
Dari seberang, terdengar suara yang familiar… tapi dengan nada panik.
“Bumi? Ini Bumi, ya? Ini Omma Maya.”
Bumi sontak menegakkan tubuh. “Omma Maya? Ada apa, Omma?”
“Maaf, Bumi. Saya sempat minta nomor kamu dari Pia, buat jaga-jaga kalau dia susah dihubungi. Saya mau nanya, kamu sekarang lagi sama Pia enggak?”
Perut Bumi terasa bergejolak. Instingnya menegang.
“Enggak, Omma. Saya lagi nungguin dia di rooftop. Tadi dia bilang masih ada kegiatan klub di kelas...”
“Bumi, kamu lihat langsung Pia tadi?”
Bumi mengerutkan kening. Napasnya mulai berubah. “Sebenernya… ada apa, Omma?”
Omma Maya terdengar menarik napas dalam. Suaranya bergetar.
“Saya tadi nelpon Pia. Tapi yang ngangkat temannya… perempuan. Katanya Pia lagi main basket di lapangan. Tapi saya dengar… di belakang sana itu terlalu sepi. Saya jadi curiga ada sesuatu...”
Bumi menggenggam ponselnya lebih erat. Dadanya mulai berdebar kencang.
“Terus nggak lama, Pia kirim SMS. Tapi… dari bahasanya beda.”
“Beda gimana?” tanya Bumi cepat.
“Pia nggak pernah nyebut dirinya ‘aku’ ke saya. Dia selalu bilang ‘Pia’. Tapi di SMS-nya dia nulis: ‘Aku pulang malem ya. Lagi main sama teman-teman aku dulu.’”
Deg.
Kalimat itu menghantam dada Bumi.
“Dan setelah itu Pia enggak bisa saya hubungin lagi.”
Jantungnya mulai menggedor rongga dada.
“Jadi… maksudnya…”
Namun otaknya lebih cepat dari mulutnya. Semua potongan mulai menyatu.
“Bumi,” suara Omma Maya mengeras, “Itu bukan Pia.”
Bumi membeku sejenak. Lalu tangannya mengepal. Rahangnya mengeras. Pandangannya menajam.
Bumi bangkit berdiri.
“Saya cari dia sekarang.”
Panggilan ia akhiri tanpa menunggu jawaban.
Dan tanpa pikir panjang, ia melesat turun dari rooftop—berlari secepat yang ia bisa.
***
Sophia berusaha menopang tubuhnya di lantai. Napasnya tersengal, dadanya naik turun tak teratur. Seluruh tubuhnya terasa nyeri. Pandangannya mulai buram—bola basket yang tadi beberapa kali menghantam kepalanya membuat dunia seperti berputar.
Di lantai yang dingin dan keras, ia melihat bayangan dirinya sendiri—wajah penuh luka dan memar.
Tiba-tiba, tangan Gina menariknya kasar. Sophia diseret berdiri, lalu dihempaskan ke papan tulis.
“Ayo berdiri lagi,” ujar Gina tajam. “Permainan kita belum selesai.”
Sophia menyandarkan tubuhnya lemah di papan tulis, berusaha menstabilkan napas. Matanya, meski mulai berair, menatap Gina—mencoba memahami.
“Kenapa kalian ngelakuin ini…?” tanyanya dengan suara bergetar. “Saya salah apa sama kalian… sampai kalian bisa sejahat ini ke saya…?”
Karla tertawa dingin. “Salah apa? Lo ada di dunia ini aja udah salah.”
Gina ikut tertawa, matanya menyipit kejam. “Iya. Kehadiran lo aja udah sebuah kesalahan…”
Sophia menatapnya, bingung—sampai kalimat berikutnya menghantam lebih kejam dari apa pun yang pernah dilemparkan padanya hari ini.
“… seharusnya lo tuh nggak usah lahir sekalian.”
Air mata menggenang di pelupuk mata Sophia yang memar. Tubuhnya berguncang pelan. Kata-kata itu… terlalu familiar.
Mereka benar…
Ayahnya tidak pernah menginginkannya.
Ibunya menganggapnya sebagai gangguan.
Mereka tidak pernah mengharapkan kelahirannya.
Kehadirannya di dunia ini… adalah sebuah kesalahan.
Sophia menggigit bibirnya kuat-kuat. Kakinya melemas. Kesadaran itu menghantamnya jauh lebih menyakitkan daripada bola-bola yang tadi menghujani tubuhnya.
Ia menunduk. Pasrah.
Namun… sebuah wajah melintas dalam benaknya.
Bumi.
Suara Bumi menggema dalam pikirannya.
“Lo selalu hidup buat orang lain, tapi apa yang benar-benar bisa bikin lo senang?”
Sophia belum tahu jawabannya. Tapi kemudian kalimat berikutnya terdengar lebih lantang.
“Pikirin. Diri lo juga penting, Sop.”
Ia mengerjap.
Dirinya juga penting.
Lalu bayangan wajah-wajah lain muncul.
Tatapan mata Bumi yang hangat dan lembut padanya—seolah ia adalah pusat semestanya mengorbit.
Senyum hangat Omma yang selalu menyambutnya pulang.
Wajah Bella yang antusias dan pelukan eratnya saat memberi dukungan.
Sorot mata teman-teman sekelas yang selalu menantinya menerjemahkan pelajaran—seolah ia adalah mata air di tengah kehausan mereka akan pemahaman.
Perlahan, Sophia mengangkat kepalanya.
Mereka salah.
Kehadirannya di dunia ini bermakna.
Ia penting.
Ia berharga.
“Kalian salah.”
Kata-kata itu meluncur dari bibir Sophia—lembut, tapi tegas.
Gina mengernyit. “Lo ngomong apa tadi?” suaranya mengeras.
Sophia menggertakkan giginya. Ia menegakkan kepala, lalu melangkah maju—meski tubuhnya masih gemetar.
“Kalian salah,” ulangnya, lebih lantang.
Mereka semua terdiam. Bingung. Heran.
Sophia terus melangkah.
“Kehadiran gue di dunia ini… BUKAN KESALAHAN!!!”
Teriakan itu menggema, memecah udara yang tadinya dipenuhi tawa kejam.
Gina maju selangkah, mungkin hendak membalas dengan cemoohan. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa—Sophia mendorongnya.
Gina terkejut. Tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh terduduk.
Karla menyusul, berusaha memegang lengan Sophia. Tapi Sophia menepisnya keras dan mendorongnya juga. Karla terhuyung dan jatuh ke samping.
Nora panik. Ia maju cepat dan mencoba menarik Sophia dari belakang. Tapi Sophia menyentak tubuhnya, membuat Nora terlepas dan jatuh mundur, menabrak kursi di belakang.
Beberapa cowok di sekitar mereka berseru kaget. Ada yang tertawa, ada yang justru melangkah mundur.
“Wah, bisa ngelawan juga dia,” komentar Theo setengah geli.
Raka menghela napas. Wajahnya terlihat bosan. Ia maju dan mencengkeram kedua tangan Sophia.
“Udah, cukup,” katanya dingin.
Dengan satu hentakan, Raka mendorong Sophia ke belakang. Tubuhnya terhempas ke lantai.
Sophia meringis. Tangannya menahan lantai dingin. Nafasnya berat.
Gina, yang masih berdiri sambil merapikan rambutnya, mengambil bola basket dari lantai. Tanpa pikir panjang, ia melemparkannya ke arah Sophia.
Duk!
Bola itu mengenai tubuh Sophia. Ia terdorong lagi ke belakang, terdiam.
“BERANI-BERANINYA LO DORONG GUE?!” teriak Gina, geram.
Tapi Sophia tak menjawab.
Napasnya pendek-pendek, matanya buram. Tapi dalam diamnya, masih ada sisa nyala. Ia belum selesai.
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama