Sekolah akan mengadakan exhibition tahunan. Masing-masing ekstrakurikuler diminta menyiapkan sesuatu untuk memperkenalkan kegiatan mereka. Kali ini, Klub Jepang berencana membuat stan makanan dengan konsep mini café khas Jepang.
Sepulang sekolah, Sophia membantu menyiapkan dekorasi acara di ruang kelas XI IPA 4—markas Klub Jepang sementara. Tangannya sibuk menggunting kertas warna-warni ketika ponsel di saku roknya bergetar pelan.
Satu pesan masuk.
Kamu msh lama? Plng jam brp? —dari Bumi.
Sophia menghela napas kecil. Ia membalas, Masih... kamu pulang dluan aja gapapa.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Belakangan ini, Bumi jadi lebih… posesif. Sejak Sophia terpilih sebagai mayoret, sikap Bumi mulai berubah. Ia bisa mendadak diam seperti sedang ngambek kalau Sophia terlalu lama bicara dengan cowok lain. Ia akan mengikutinya ke mana pun, dan begitu tidak melihat keberadaan Sophia, pasti langsung mengirim pesan.
Sophia tidak menyangka, cowok yang dulu ia kenal dingin seperti gunung es itu… kini bisa seperti gunung berapi.
Ponselnya kembali bergetar.
Enggak. aku tunggu kamu. kalau udh selesai bilang. aku di rooftop.
Sophia menarik napas panjang, lalu memasukkan ponselnya kembali ke saku. Saat hendak melanjutkan pekerjaannya, pintu kelas terbuka dan Ryan, ketua Klub Jepang, masuk dengan langkah santai.
“Eh, Sop. Tadi lo dicariin,” katanya.
Sophia mengernyit. “Sama siapa, Kak?”
“Katanya lo disuruh ke kelas XII IPS 3. Anak marching band mau ngukur buat baju mayoret lo nanti.”
“Oh.” Sophia menaruh guntingnya. “Kalau gitu saya izin ke sana dulu, ya, Kak.”
Ryan hanya mengangguk, lalu sibuk memilah bahan dekorasi di meja belakang.
Sophia melangkah keluar kelas. Koridor sekolah mulai lengang karena hampir semua murid dan guru sudah pulang. Hanya ada beberapa siswa yang masih bertahan di satu-dua kelas, sibuk mempersiapkan stan ekskul mereka dari jauh-jauh hari.
Ia menuruni tangga ke lantai satu. Kelas XII IPS 3 berada di ujung koridor, tepat di samping Laboratorium IPA.
Langkahnya melambat.
Entah kenapa… perasaannya tak enak.
Terlalu sepi.
Tak biasanya area itu terasa sesenyap ini.
Sophia mencoba menepis kegelisahan yang menjalari dadanya. Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada orang mencurigakan. Lalu melangkah ke depan pintu kelas.
Tangannya terulur, hendak mendorong daun pintu kayu itu.
Tapi sebelum sempat menyentuhnya—pintu terbuka lebih dulu dari dalam.
Seketika jantung Sophia mencelos.
Seseorang berdiri di ambang pintu. Senyuman lebar terpatri di wajahnya, penuh kepalsuan dan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan… semacam racun manis yang menyusup pelan.
“Hai, cantik…” sapa Karla dengan nada lembut—terlalu lembut.
Namun matanya tidak menyapa. Matanya menerkam.
Dan mata Sophia melebar dalam kengerian.
***
Bumi duduk bersandar santai di kursi, satu tangan memegang botol berembun berisi minuman dingin. Angin sore berembus sejuk di rooftop, menyapu rambutnya pelan dan membuat matanya terasa berat. Kantuk mulai merayap, tapi ia menepisnya.
Ia sedang menunggu Sophia. Dan ia tidak ingin ketiduran.
Bumi menarik napas panjang.
Entah sejak kapan perasaan itu muncul. Yang jelas, sekarang ia merasa… tidak bisa terlalu lama jauh dari gadis itu. Ada sesuatu di dadanya yang terasa tak nyaman setiap kali Sophia tak berada dalam jangkauan pandangnya.
Bukan karena ia tidak percaya padanya. Tapi karena kekhawatiran yang terus mengusik.
Bagaimana kalau sesuatu terjadi padanya?
Bumi mengernyit pelan.
Atau… mungkinkah karena kehadiran Sophia perlahan berubah menjadi candu? Rasa nyaman yang mengendap tiap kali gadis itu ada di dekatnya membuatnya ketagihan. Tenang. Damai. Seolah dunia berjalan lebih lambat, lebih indah, ketika ia bersamanya.
Dan jika suatu hari… Sophia menghilang—atau seseorang menyakitinya—
Tangan Bumi mengepal erat.
Ia tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Tapi satu hal pasti: ia bisa menggila. Membakar dunia, jika perlu.
Pandangan matanya beralih ke layar ponsel.
16.30.
Baru dua jam sejak mereka berpisah. Dan itu sudah cukup untuk membuatnya gelisah.
***
Tubuh Sophia membeku. Tapi sebelum sempat berpikir, tangan kanannya ditarik paksa oleh Karla, sementara tangan kirinya dicengkeram oleh seseorang yang lain.
Seketika, ia diseret masuk ke dalam kelas.
Bruk!
Tubuhnya dihantam ke lantai. Pipi kanannya membentur ubin dingin. Sophia meringis, memegangi wajahnya yang terasa perih. Saat ia mendongak dengan napas tercekat, pandangannya membentur pemandangan yang membuat jantungnya mengecil.
Semua meja dan kursi telah didorong ke belakang, menyisakan ruang kosong luas di tengah kelas. Seperti arena.
Dan di sekelilingnya, berdiri Gina, Karla, Nora, Raka, dan lima cowok lain yang belum sempat dikenalnya dengan baik. Mereka mengelilingi Sophia, seperti sekawanan hyena yang baru saja menjatuhkan mangsanya.
“Halo, Sopp… kita mau ajak lo main nih,” ucap Gina santai, suaranya ringan seperti sedang menyapa teman lama.
Karla terkekeh pelan, berjalan ke papan tulis dan mulai menulis nama mereka satu per satu.
“Nama permainannya… Hit Sophia,” katanya riang. “Jadi gini, kalau bola basket ini kena perut lo: dua puluh poin. Kena dada: tiga puluh. Selain itu, sepuluh. O ya…”
Gina menunduk, mengambil bola basket, lalu menyeringai.
“Kalau kena muka… lima puluh.”
Napas Sophia tercekat. Ia mencoba bangkit, hendak berlari ke arah pintu. Tapi baru saja berdiri setengah, sebuah bola menghantam punggungnya dengan keras, membuat tubuhnya terhuyung jatuh ke depan.
Dan saat itulah, neraka dimulai.
Mereka menjadikan Sophia target lempar bola. Dengan tawa kejam dan tanpa rasa bersalah, mereka menulis skor di papan tulis setiap kali bola itu mengenai targetnya. Bagian tubuh Sophia.
Mereka tidak melihat gadis itu sebagai manusia.
Hanya alat untuk memuaskan hasrat mereka untuk menguasai.
Sophia menggigit bibir dan hanya mampu menahan rasa sakit setiap kali lemparan mereka mengenainya.
Lalu tiba-tiba, terdengar suara ponsel berdering. Ponsel di saku rok Sophia bergetar.
“Pegangin dia,” perintah Gina ke Karla dan Nora. Karla dan Nora langsung menarik Sophia yang lemah untuk berdiri dan memegangi kedua tangannya. Sementara Gina mengambil ponsel dari saku roknya.
“Ohhh.. Ommanya nelepon,” kata Gina menyeringai. Karla dan Nora mengikik.
“Tutup mulutnya,” kata Gina.
Karla langsung menekap mulut Sophia. Sophia berusaha menolak, tapi kini salah satu anak buah Raka maju dan bantu memeganginya juga.
Gina menyuruh mereka diam. Lalu dia menjawab panggilan itu.
“Halo? Oh iya, Bu… HP Sophia ketinggalan…. Iya, dia lagi main basket di lapangan,” kata Gina dengan suara manis.
Mata Sophia melebar dalam kengerian.
Mereka semua mendengus, berusaha keras menahan tawa.
“Iyaa Bu… oke.. nanti saya kasih tahu Sophia. Tapi kayanya dia pulang malem Bu. Okeee.. Iya Bu, sama-sama.”
Gina menutup panggilan itu, lalu mereka semua pun tertawa terbahak-bahak.
“Bentar-bentar… gue SMS neneknya dulu biar dia ga ganggu lagi.”
Gina bersiap mengetik, “Aku pulang malem ya. Lagi main sama temen-temen aku dulu. Sent.”
Gina terkekeh. Lalu dengan santai menjatuhkan HP itu hingga membentur lantai dan pecah.
Sophia membeku, menatap HP-nya yang pecah. Seolah kini tidak ada lagi jalan keluar.
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama