Bumi duduk santai di bangku kayu panjang, ujung lengan kemejanya sedikit tergulung. Matahari sore masih membakar ubun-ubun, tapi di bawah naungan langit lantai empat rooftop sekolah itu, ia tampak seperti raja di singgasananya.
Di lapangan bawah, ia melihat anak-anak marching band sedang latihan sepulang sekolah. Dan mata Bumi tanpa sadar melihat ke arah gadis mayoret yang berdiri paling depan, memutar dan melempar tongkat di tangannya dengan senyum penuh percaya diri.
Tak lama kemudian, Dirga muncul dari pintu tangga. Nafasnya ngos-ngosan, tangan kanan menggenggam botol minuman dingin, tangan kiri menopang lutut.
“Kenapa lo harus nyuruh gue bawain minuman ke sini sih…” gumamnya kesal. “Jauh Bumm…”
Bumi tidak menoleh, matanya masih menatap ke gadis itu. Ia hanya mengangkat tangannya. “Botolnya.”
Dirga mendekat, masih menggerutu pelan. Tapi saat ia hendak menyerahkan botol itu, tangan Bumi mencengkeram bahunya.
“Lu mau protes?” suaranya rendah, dingin, terlalu tenang untuk suasana yang panas. “Gue pernah kena masalah gara-gara ngebelain lu… dan sekarang, gue suruh beliin minuman aja lu protes?”
Tatapannya menyempit. “Kayak gini cara lu berterima kasih, hah?”
Dirga menelan ludah. “E-enggak, Bum…”
Senyum Bumi muncul, tipis, mengerikan.
“Gue enggak bisa mukulin orang di sekolah… tapi lo inget kan, kita serumah?”
Dengan tangan berkeringat, Dirga buru-buru menyodorkan botol itu. “E-enggak Bum… Lo butuh apalagi? Nanti gue bawain…”
Bumi mengambil botol itu dan akhirnya bersandar malas di bangku.
“Enggak ada. Sana, pergi.”
Dirga masih berdiri, matanya menatap sekeliling rooftop.
“Eh... lo beneran boleh nongkrong di sini?”
Kali ini, Bumi menghela napas kasar dan menoleh dengan tak sabar. Tatapannya tajam.
“Dirga... gue enggak ngulang perintah dua kali.”
Dirga langsung putar balik. “Oke. Oke. Gue pergi.”
Tapi sebelum Dirga sempat membuka pintu rooftop, tiba-tiba Bumi menghentikannya.
“Bentar. Sini.”
Dirga berbalik lagi, kemudian mengernyit. Ia berjalan menghampiri Bumi.
“Apaan?”
Bumi mengangguk ke lapangan, ke arah cewek mayorett di bawah.
“Lo tau dia?” tanya Bumi.
Dirga menyipitkan mata, melihat ke bawah. “Rika? Anak kelas XII IPS3, kan? Kenapa?”
Bumi tidak menjawab. Dia meneguk minumannya.
“Jangan-jangan…. Lo naksir?” Dirga terkekeh. “Lo mau macarin dia?” tanya Dirga.
Bumi mendengus, “Hmp… pacaran… gue enggak akan buang waktu buat hal remeh kaya gitu.”
“Terus.. kalau gitu kenapa lo nanyain dia?” tanya Dirga bingung.
“Cara dia ngeliat gue aneh. Dan gue enggak tahu niat dia apa. Itu ganggu,” kata Bumi. Matanya masih tajam mengawasi cewek itu.
Dirga mendengus, “Pede banget lu ngerasa diliatin sama Kembang Sekolah.”
Bumi mengangkat alis, “Kembang sekolah?”
“Iya… Banyak yang naksir sama dia. Waktu dia masuk kelas buat promosi ekskul aja cowok-cowok di kelas gue langsung melongo kaya orang bego. Dia cewek paling cantik di sekolah, masa lo ga ngerasa?”
Bumi mengangkat bahu santai, “Menurut gue biasa aja.”
Dirga mencibir dan bergumam pelan, “Kayaknya mah emang elunya aja yang enggak suka sama cewek…”
Bumi melirik sekilas, “Lo beneran mau gue hajar di sini? Mumpung enggak ada yang liat,” kata Bumi datar.
Dirga menggeleng cepat, “Enggak, Bum… iya, iya maap.”
Latihan marching band di bawah nampaknya sudah selesai. Rika terlihat berjalan ke pinggir lapangan, mengambil botol minum dan handuk kecilnya. Lalu, tiba-tiba Raka datang menghampirinya.
Raka terlihat mengajaknya bicara, tapi Rika nampak tak tertarik, berusaha mengacuhkannya. Alis Bumi terangkat.
“Oo.. iya.. kata Bagas, mereka pernah pacaran,” kata Dirga sambil mengangguk ke arah dua sejoli yang nampak tak akur itu.
“Pernah pacaran?” ulang Bumi.
“Iya, mereka kayanya putus pas akhir kelas XI, tapi Raka masih ngejar-ngejar minta balikan. Kayanya itu udah jadi rahasia satu sekolah deh.”
Bumi melipat lengan di depan dada. Wajahnya terlihat seperti sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu tiba-tiba ia tersenyum tipis. “Menarik.”
Dirga bergidik. Ia sudah kenal Bumi cukup baik untuk tahu senyum itu menyimpan sesuatu yang gelap.
“Lo ngerencanain apa?” tanya Dirga takut-takut.
Bumi hanya terkekeh. Tidak menjawab. Ia hanya meneguk minumannya lagi. Tapi Dirga tahu, tawa itu tidak menjanjikan kebaikan.
***
Kantin siang itu seperti biasa dipenuhi suara obrolan dan denting sendok. Di salah satu meja tengah, Rika duduk bersama Gina, Karla, dan Nora. Sejumlah anak cewek dari kelas lain sesekali melirik ke arah mereka, sebagian dengan tatapan ingin bergabung, sebagian lagi dengan raut iri yang tak disembunyikan.
Hari itu, Rika mengenakan bandana berwarna pastel yang melingkar manis di kepalanya, selaras dengan warna kulitnya yang cerah. Sejak pertama kali ia memakai bandana itu beberapa hari lalu, beberapa siswi lain mulai meniru gayanya. Tak ada yang mengatakannya secara langsung, tapi semua tahu, jika Rika memakainya, berarti itu keren.
Karla menyenggol pelan lengan Rika, memberi isyarat ke arah seorang siswi kelas XI yang baru saja lewat. Anak itu mengenakan bandana berwarna-warni cerah seperti pelangi.
Gina langsung terkikik, dan Karla menutup mulutnya sambil menahan tawa.
Rika langsung mengerti maksud mereka.
“Hei,” sapa Rika dengan senyum manis. “Lucu banget bandananya. Beli di mana?”
Anak itu—yang jelas tidak menyangka akan disapa—membelalak sebentar sebelum tersenyum gugup. “Eh… iya… makasih, Kak. Ini… dikasih Mama saya…”
Rika mengangguk kecil, senyum tak bergeser dari wajahnya. “So sweet. Tapi kamu keren lho. Enggak semua orang berani pakai bandana kayak gitu ke sekolah.”
Karla dan Gina mendengus keras. Mereka terlihat semakin kesulitan untuk menahan tawa.
Anak itu tersenyum canggung. Tatapannya seolah bertanya-tanya, itu barusan pujian, atau…?
“Pe-permisi, Kak…” bisiknya lalu cepat-cepat melangkah menjauh.
Begitu anak itu hilang dari pandangan, Gina langsung membungkuk, tertawa hingga air mata muncul di sudut matanya.
“Gila, lu Rik… mulut lu bener-bener deh…”
Karla masih tergelak. “Dia pasti enggak bakal pake barang norak itu lagi ke sekolah.”
Rika hanya tersenyum kecil sambil menyeruput minumannya. Tenang. Seolah tadi bukan dia yang baru saja membongkar harga diri orang dengan nada manis.
Hanya Nora yang tidak tertawa. Wajahnya terlihat bingung. “Emang tadi bagus ya? Perasaan norak deh.”
Karla mendesah. “Ya emang itu maksudnya, Nor. Ya ampun, lemot banget sih.”
Nora mengernyit. Ia menyeruput es tehnya tanpa komentar lagi.
“Eh, kalian mau nitip nggak?” tanya Rika sambil berdiri. “Gue mau pesen soto.”
“Gue mau, Rik,” sahut Gina.
Rika mengangguk lalu melangkah ke arah kios.
“Eh, Neng Rika,” sapa Mang Unang, penjual soto langganan. “Pesen apa, Neng?”
“Soto ayam dua ya, Mang. Kayak biasa, dicatet aja. Nanti bayarnya sama Nora,” jawab Rika sambil tersenyum.
“Siap, Neng.”
Rika berdiri menunggu pesanannya. Angin siang bertiup pelan, membuat rambut hitam lurusnya sedikit berkibar. Saat itu, seseorang mendekat dan berdiri di sebelahnya. Ia menoleh cepat.
Bumi.
Cowok itu berjalan tenang mendekat tanpa suara, wajahnya tetap datar dan dingin seperti biasanya. Ia menunduk sedikit, mengulurkan tangan mengambil sendok dari wadah yang ada tepat di samping Rika. Hanya sepersekian detik, jarak mereka sangat dekat. Cukup dekat hingga Rika bisa mencium aroma cologne-nya yang maskulin, segar, tapi tajam.
Lalu tiba-tiba, Bumi menoleh sedikit ke arahnya.
Tatapan mereka bertemu.
Rika menahan napas.
Beberapa detik.
Hening.
Tegang.
Kemudian, tanpa sepatah kata pun, Bumi menegakkan tubuh, berbalik, dan berjalan pergi.
Rika masih berdiri di tempatnya. Bibirnya sedikit terbuka, tapi otaknya terasa kosong.
Ia menoleh, menatap punggung Bumi yang menjauh, masih bingung dengan degup jantungnya sendiri.
Ia tak tahu, saat itu juga, Bumi berjalan menjauh dengan senyum licik di wajahnya.
***
Rika kembali ke meja kantin dengan langkah pelan. Ia duduk di antara Karla, Gina, dan Nora, tapi wajahnya kosong. Seperti seseorang yang baru saja mendengar suara, tapi belum sempat memahami artinya.
Masih ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Seseorang.
“Kenapa lo, Rik?” tanya Gina sambil menyodorkan sedotan es teh ke arah mulutnya.
Rika mengerjap. “Hah? Enggak apa-apa,” sahutnya cepat.
Jarinya mengetuk-ngetuk pelan tumpukan buku Agatha Christie yang baru ia pinjam dari perpustakaan, irama tak beraturan, tanda pikirannya sedang kacau.
Lalu ia menoleh. Mencari.
Dan ia melihatnya.
Cowok itu duduk sendiri di pojok kantin. Wajahnya datar, makan dengan tenang seolah dunia ini tidak cukup penting untuk diperhatikan. Tidak ada yang berani duduk di dekatnya. Bahkan suara di sekitarnya terasa seperti tak menyentuhnya sama sekali.
Sunyi yang menciptakan pusat gravitasi sendiri.
“Lo beneran enggak apa-apa?” Karla kini bersuara, sedikit khawatir.
Rika buru-buru menggeleng. Ia memaksa senyum dan kembali menoleh ke arah teman-temannya. “Enggak apa-apa… tadi kita lagi ngobrolin apa?”
Karla dan Gina mulai tertawa lagi, membahas kejadian tadi soal bandana pelangi dan wajah gugup siswi kelas XI.
Tapi Rika sudah tidak benar-benar mendengarkan.
Pikirannya masih tertinggal di sudut kantin.
Sementara itu, dari tempat duduknya, Bumi mengangkat pandangannya.
Ia melihatnya.
Rika. Menoleh. Mencari. Matanya menyapu ruangan, dan berhenti di arahnya.
Pandangan mereka tidak bertemu kali ini, tapi itu tidak perlu. Cukup dengan cara gadis itu menoleh, cepat, cemas, penasaran. Ia bisa membacanya.
Ujung bibir Bumi terangkat sedikit. Bukan senyum ramah. Bukan senyum kagum. Tapi senyum yang menyimpan analisis… dan kesimpulan.
Dia tertarik.
Bumi melihatnya jelas saat mendekatinya tadi, nafas yang tertahan, pipi yang sedikit memerah, mata yang membulat. Tubuh yang kaku karena syok, lalu membeku oleh sesuatu yang bahkan belum ia pahami.
Umpan telah ditelan.
Dan bagi Bumi, itu membuat segalanya jadi lebih mudah.
Ia menyipitkan mata. Di atas meja Rika, ada buku, tumpukan tipis dengan desain klasik. Dari sini ia bisa membaca nama di sampulnya.
Agatha Christie.
Bumi meneguk minumannya. Hmm… Agatha Christie, ya, pikirnya.
Ia menyuap makanannya lagi, dan sekali lagi, senyum itu muncul.
Perlahan. Penuh rencana.
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama