Sejak insiden dengan Pak Erhan, suasana di kelas X-E berubah total. Bukan jadi lebih santai—justru sebaliknya.
Guru-guru kini melangkah hati-hati ke dalam kelas itu, seolah mereka melintasi lantai kaca. Tatapan mereka selalu, sadar atau tidak, akan berakhir ke pojok belakang—tempat Bumi duduk.
Anak itu tak pernah ribut. Hanya duduk diam, tangan terlipat, wajah datar. Tapi kehadirannya cukup membuat para guru menahan napas. Jika ia terlihat tenang, pelajaran berjalan lancar. Tapi jika matanya tajam, kepala sedikit condong, alisnya naik setengah milimeter—itu cukup membuat guru paling percaya diri pun menjadi tergagap.
Tak ada yang berani datang terlambat.
Dan ketika jam pelajaran berakhir, bahkan guru paling idealis pun langsung menutup buku begitu bel berbunyi.
Satu lirikan Bumi ke jam dinding saja cukup jadi isyarat—waktu kalian habis.
Semuanya harus berjalan efisien, tepat waktu.
Pagi itu, Pak Reza hampir terlambat. Ia masuk kelas dengan napas lega dan langsung melirik ke bangku Bumi. Dia kelihatan tenang, oke, pikir Pak Reza lega.
Pelajaran dimulai. Sophia aktif bertanya seperti biasa, sementara Geri dan Nino cekikikan di belakang setiap kali ia angkat tangan. Pak Reza nampak tidak terlalu peduli. Ia hanya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan Sophia dengan baik agar jangan sampai Bumi menganggap ia malas mengajar.
Menjelang akhir pelajaran, Pak Reza membagikan hasil ulangan.
“Sophia. 100. Hebat, pertahankan ya.”
Sophia tersenyum dan kembali ke tempat duduk. Teman-temannya? Biasa saja. Nilai sempurna seolah sudah hal lumrah baginya.
“Geri. 55. Mentok banget, belajar lagi ya.”
Geri nyengir, “Dapet segini aja udah syukur, Pak.”
Kelas tertawa.
Lalu…
“Bumi.”
Suasana langsung membeku.
Bumi berdiri dan melangkah ke depan. Wajahnya datar.
Pak Reza menelan ludah. Tangannya sedikit gemetar saat menyerahkan kertas itu.
Nilainya: 20.
Bumi menatap angka itu lama. Jari-jarinya mencengkram kertas hingga berkerut.
“Enggak apa-apa, Bumi… nanti bisa belajar lagi—”
Tatapan tajam Bumi menghentikan kalimat itu. Pak Reza langsung pura-pura sibuk melihat daftar absen.
Tanpa berkata apa-apa, Bumi kembali duduk. Kursinya ditarik dengan suara berderit tajam. Tak ada yang berani bergerak.
Bel pelajaran berbunyi.
Pak Reza buru-buru mengemasi barang. “Tolong bagikan sendiri sisanya, ya.” Dan ia nyaris kabur keluar kelas.
Di kursinya, Bumi masih menatap kertas ulangannya. Ia melirik kertas Sophia.
100.
Sophia sadar dan segera memalingkan wajah dengan takut.
Bumi menggertakkan gigi.
Dia benci kalah.
***
Bumi menghela napas panjang. Wajahnya datar seperti biasa. Ia berharap bisa mampir ke perpustakaan sepulang sekolah. Nilai-nilai IPA-nya—Kimia, Biologi, Fisika—semua di bawah garis aman. Meski ia sudah mantap ingin pindah ke jurusan IPS, tetap saja ada batas nilai untuk naik kelas.
Tapi rencananya harus tertunda. Siang itu, kelas mereka kedatangan parade ekskul dari kakak-kakak kelas XI dan XII.
Satu per satu masuk ke kelas.
Paskibra datang pertama, lengkap dengan komando keras. Lalu PMR dengan boneka manekin “Si Joni” dan demonstrasi CPR yang berlebihan. Ekskul karate memecahkan papan sambil berteriak. Modern dance masuk dengan musik keras. Tari tradisional tampil dengan tari saman yang ritmenya cepat. Basket melempar bola ke belakang kelas dan hampir kena kepala orang. Teater tampil lebay. Klub Jepang datang sambil berteriak “Konnichiwa!” disambut dua anak otaku.
Bumi tak tertawa, tak tersenyum, hanya menghela napas berkali-kali, seolah bertanya dalam hati—Kapan ini selesai?
Sophia yang duduk di sebelahnya, melirik ragu. “Lo tertarik ikut ekskul apa?” tanyanya pelan.
Bumi menoleh sebentar. “Gue enggak mau buang waktu buat kegiatan enggak jelas,” katanya dengan eskpresi datar.
Sophia tersenyum kecut dan menunduk. Tapi Bumi mendadak bertanya balik, “Lo mau ikut apa?”
Sophia tampak kaget. “Klub Jepang, kayaknya,” katanya sambil tersenyum kecil.
Bumi melirik ke bukunya yang penuh stiker berwarna pastel—Sailor Moon dan karakter-karakter imut lainnya. Ia mendengus kecil dalam hati.
Bocah, pikirnya.
Pintu terbuka lagi. Kali ini OSIS masuk. Tanpa atraksi. Mereka memperkenalkan program baru: Career Support. Semua siswa diminta mengisi formulir tentang impian dan rencana masa depan mereka.
Bumi menerima formulir itu.
Aspirasi masa depan: _______
Ia menatap kosong. Otaknya hampa. Tak tahu harus menulis apa. Bahkan membayangkannya saja sulit.
Yang ia tahu, nilai IPA-nya jeblok. Itu pun belum bisa ia atasi. Soal masa depan? Terlalu jauh.
Ia mengira semua sudah berakhir. Tapi belum.
Marching band masuk. Lagu pembuka mereka bergema keras, mengguncang meja-meja.
Lalu, seseorang masuk.
Seorang cewek.
Begitu ia muncul, suara di kelas meredup.
Rambut hitam lurus, kulit cerah, seragam mayoret putih-biru. Ia berjalan anggun ke depan, tapi sempat menoleh—menatap langsung ke arah Bumi.
Bumi, yang sedang menatap keluar jendela, perlahan balik menoleh.
Mata mereka bertemu. Tatapan jernih dari si gadis bertemu dengan pandangannya yang tenang dan tak terbaca, seperti seseorang yang baru saja menerima tantangan.
Cewek itu buru-buru mengalihkan pandangan dan memperkenalkan diri.
“Halo teman-teman. Nama saya Rika.”
suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.
Comment on chapter Pandangan Pertama