Kamar yang menjadi tempat buangan ini berada di lantai 5 nomor 44. Kamar paling ujung dan terbelakang. Padahal di lantai lima ini kamar yang diisi siswa hanya sampai nomor 12. Hal ini membuat sekeliling mereka hanya dihadapkan pada kamar kosong dan mereka terisolasi paling ujung.
“Wah, kita bener-bener paling ujung, nih. Gila,” celetuk Cakra. Pagi ini, mereka bertiga secara tidak sengaja berangkat bersama, kecuali Dendra yang sudah keluar kamar pagi-pagi buta. Mereka berjalan bertiga menyusuri lorong yang sangat sepi, dengan kamar-kamar kosong yang berjejer sepanjang jalan.
“Ya. Namanya juga buangan. Padahal di satu lantai ini, yang diisi cuma sampe nomor 12. Kenapa kita nggak ditaro di nomor 15 gitulah. Atau kalo pengen agak jauh nomor 20. Ini malah nomor 44, kedua dari belakang,” jawab Taka mengiyakan dengan sedikit mengomel. Ia memang belum protes apa-apa sejak kemarin. Begitu terkena pancingan dari Cakra, Taka meluapkan semua yang ada di pikirannya begit saja. Sejujurnya, ia merasa agak merinding melihat ramainya eksistensi tak terlihat yang berada di asrama ini, apalagi kamar di sini memang paling sering kosong.
“Kira-kira banyak kosong ini karena emang dibangun lebihan buat ngisolasi anak-anak kaya kita, atau emang yang daftar nggak full?” Cakra mengetuk salah satu pintu kamar yang kosong, tepat di sebelahnya. Taka dan Elhan sontak menoleh, melihat arah ketukan itu.
Melihat bahwa penghuni di dalam bereaksi dengan ketukannya, Taka berdehem untuk menetralkan rasa takutnya, lalu melengos dan kembali melihat ke depan seolah tidak ada apa-apa. Padahal jantungnya berdetak cepat sampai nyaris keluar dari rongga dada saking terkejutnya. Yang ia lihat, sebuah wajah tiba-tiba menyembul dari kaca jendela di sebelah pintu. Padahal, secara logika, ia seharusnya tidak bisa melihat apa pun di dalam karena terhalang oleh kain gorden dan warna kacanya yang gelap. Taka hanya berusaha mengatur napasnya untuk menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang, sampai terasa mual.
Elhan melihat Taka tak bereaksi terhadap pertanyaan Cakra pun menjawab, “K-kayanya karena nggak penuh yang daftar. So-soalnya kan ini sekolah elit dan khusus laki-laki. Nggak semua orang punya duit buat masuk, dan nggak semua orang kaya itu laki-laki. Kalau aku, aku orang miskin yang beruntung masuk jalur undangan karena pernah menang lomba.” Elhan menunduk. Suaranya makin mengecil di ujung kalimatnya. “Kalo nggak gitu, mana bisa aku masuk sekolah elit ini.”
Cakra terdiam. Ia bingung harus bereaksi seperti apa untuk menjawab ucapan Elhan. Sebenarnya, bukan maksudnya berangkat bersama teman sekamarnya. Karena ia tidak ingin dekat dengan mereka. Salah satu cara untuk dekat adalah dengan berbagi cerita, seperti saat ini. Sayangnya, saat ia keluar kamar, juga bebarengan dengan Taka dan Elhan. Karena mengingat Taka yang memberinya obat kemaren, Cakra jadi mengurungkan niatnya untuk berlalu begitu saja.
Melihat Elhan yang semakin negatif energinya, juga karena jantungnya sudah mulai kembali berdetak normal, Taka memukul punggung Elhan. Tidak terlalu keras, tapi cukup untuk mengalihkan perhatian Elhan. Anak ini tidak bisa dibiarkan sendiri, begitulah pikir Taka. Karena, Taka yakin, kalau Elhan terus bergelung dengan keterpurukan dan hawa negatifnya, ia bisa dengan mudah kerasukan. Hal itu sangat merepotkan Taka.
Langkah mereka tanpa terasa sudah sampai di ujung lorong, dekat tangga. Bentuk asrama yang hampir menyerupai huruf U, dengan 15 ruangan di setiap sisinya, dan tangga yang berada di ujung cukup melelahkan mereka. Padahal, di lantai lain, di setiap sudutnya ada tangga, sehingga total ada tiga tangga menuju ke bawah. Khusus lantai lima, hal itu seolah kemewahan.
Berita tentang ‘anak yang dibuang’ seolah menempati headlines berita di mading dan koran-koran sekolah. Buktinya, sepanjang perjalanan, mereka diikuti dengan tatapan mata yang melihat dengan penilaian. Padahal mereka sudah turun lebih awal untuk menghindari menjadi pusat perhatian. Sayangnya, hal itu rupanya tidak berpengaruh banyak.
Langkah mereka menuju ke kantin sekolah untuk mengambil sarapan. Makanan disiapkan tiga kali sehari. Semuanya sudah masuk dalam uang bulanan yang harus mereka bayarkan. Tanpa banyak berpikir, Taka mengambil nampan makan yang terbuat dari logam dengan cekungan untuk nasi dan lauk, lalu mulai mengambil nasi dan makanan lain yang disediakan prasmanan.
“Untung aja kita masih boleh makan lengkap ya, Tak. Walaupun jadi murid terbuang,” bisik Elhan. Ia merasa kesulitan jika tidak boleh makan karena sudah ‘dibuang’. Alasannya, karena Elhan benar-benar tidak punya uang kalau harus beli makan sendiri. Apalagi makanan di kantin sekolah ini harganya benar-benar berbeda dengan yang ada di luar sekolah.
“Ya kalo nggak boleh, buat apa bayar bulanan? Lagian kita dibuang juga di asrama, bukan di sekolah. Untungnya makan ini urusannya sama sekolah, bukan asrama,” jawab Cakra yang mendengarkan bisik-bisik Elhan. Taka hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. Toh jawabannya sudah diwakilkan oleh Cakra.
Elhan mengangguk. Ia mengerti maksud dari ucapan Cakra. Karena memang pengurus asrama berbeda dengan pengurus sekolah meskipun mereka masih dalam satu yayasan.
***
Sebenarnya, dibuang atau tidak, tidak ada yang berbeda dengan kehidupan Taka. Karena ia tetap menjadi anak buangan. Pagi ini, setelah sarapan, ia berpisah dengan teman sekamarnya dan menuju kelas masing-masing. Taka duduk di pojok belakang, membuka buku sketsanya sembari menunggu guru masuk ke kelas.
Entah mengapa, sejak semalam, ia terngiang-ngiang dengan sosok remaja laki-laki yang seusia dengannya. Taka tak mengenal sosok itu. Ia hanya melihat sekilas saat remaja itu menatap gambarnya dan membuatnya terkejut. Lalu, pada malamnya, sosok itu kembali menemui Taka dalam mimpi. Hal itulah yang membuat Taka terus memikirkannya dan tanpa sadar mulai membuat sketsa wajahnya di atas kertas. Sayangnya, saat ia baru menyelesaikan sketsa dasarnya, bel berbunyi dan guru segera masuk ke dalam kelas. Taka mengeluarkan buku pelajarannya, dan sedikit berjingkat karena kaget. Sosok yang hendak ia gambar sudah berdiri di depannya, melihat gambar Taka yang belum terlalu terbentuk itu.
“Kamu gambar aku, ya?” tanyanya tiba-tiba. Taka yang tak siap menghadapi serangan dadakan itu berjengit kaget. Untung saja ia tidak bereaksi berlebihan, sehingga tidak menarik perhatian banyak orang.
“Kok kamu bisa di sini?” batin Taka. Ia kembali ke posisi duduknya dan berpura-pura memperhatikan guru di depan. Selama Taka berniat, ia bisa berbicara dengan sosok hantu lewat batinnya, tanpa harus mengeluarkan suara.
“Aslinya nggak bisa. Tapi, jadi bisa karena aku nempelin kamu. Aku tahu kamu bisa lihat aku. Aku bosen di dalam asrama terus. Ditambah udah lama nggak ada yang isi kamar buangan itu. Jadinya aku seneng, deh,” jawabnya sambil terkekeh. Ia terbang dari ujung ke ujung kelas. Seolah sedang menikmati kebebasannya itu. Ia bahkan meledek siswa lain yang serius mendengarkan guru di depan. Taka sendiri sudah tidak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran yang ada di depannya. Beruntungnya karena ini masih hari pertama semester baru, pelajaran yang dibawakan guru di depan masihlah pembukaan materi.
“Kembali ke tempatmu! Jangan ikuti aku! Kehadiranmu itu cuma bikin hantu lain tahu kalo aku bisa lihat kamu,” perintah Taka dengan nada tegas. Ia belum siap menjadi selebriti di kalangan makhluk astral. Pantas saja, sejak perjalanan mereka ke kelas tadi, banyak hantu yang curi pandang ke arahnya, seolah sedang melihat emas yang sedang berjalan.
“Tapi aku masih pengin ikut kamu. Aku kangen sama suasana sekolah. Aku cuma mau ikut keliling aja, kok. Nggak ganggu.” Sosok itu masih mencoba membujuk Taka.
Taka terdiam sebentar. Ia mencoba untuk mengatur pikirannya dan mengenyahkan pikiran negatifnya. Ia rasa, mungkin tidak ada salahnya membiarkan anak itu mengikutinya beberapa saat. Mengingat ia yang berada di dalam ruangan, sendirian, bertahun-tahun, pasti rasanya benar-benar kesepian.
“Oke. Asalkan jangan jauh-jauh, dan jangan memancing lebih banyak makhluk astral! Aku nggak mau makin banyak hantu yang tertarik ke sini, dan akhirnya ngerugiin aku!” Taka memberikan ultimatumnya. Sosok itu mengangguk antusias.
Ia tidak banyak bertingkah. Sosok itu hanya duduk di bangku kosong sebelah Taka, memperhatikan guru yang menjelaskan pelajaran. Berhubung hari ini pelajaran fisika, sosok itu dengan serius memperhatikan setiap rumus dan penjelasan yang diberikan guru di depan. Bahkan, ia sampai memaksa Taka untuk menuliskan rumus yang ditulis di papan tulis.
“Dulu, aku bukan orang yang pinter, tapi aku dipaksa buat jadi pinter. Aku udah belajar sebisaku, semampuku, cuma ya masih nggak pinter juga. Sekarang, aku jadi pengen belajar lagi. Padahal kan pepatahnya ‘menuntut ilmu dari buaian ke liang lahat’. Nah, aku udah mati, nggak wajib. Tapi tetep aja belajar itu seru kalo nggak dipaksa dan ditargetin harus juara. Hehehe.” Sosok itu terkekeh. Ia kembali fokus ke depan, mengabaikan Taka yang melirik ke arahnya.
Selesai juga pelajaran pertama. Pelajaran kedua adalah bahasa Indonesia. Taka memperhatikan guru yang akan mengajar sudah menunggu di depan kelas. Sehingga, setelah guru di dalam keluar, guru di luar segera masuk ke dalam. Tidak memberikan jeda sama sekali untuk mereka bermalas-malasan.
“Wah, pelajarannya apa hari ini?” tanya sosok laki-laki itu.
“Bahasa Indonesia,” jawab Taka singkat.
Sosok itu mengangguk. Ia terbang ke depan, mendekati guru bahasa Indonesia. Ia membaca nama di name tag di dadanya dengan suara yang hanya didengar Taka.
“Siswono. Ah, Pak Siswono, ya! Aku baru ingat dia! Dulu baik banget di zamanku. Hehe. Bapak sekarang udah lumayan tua, ya. Padahal belum lama aku matinya.”
Sosok itu terbang mendekati Taka. Ia kembali duduk di sebelah Taka. Sayangnya, tiba-tiba, Taka merasakan gelombang yang terasa panas dan tidak nyaman bergerak mendekat. Saat itu, rombongan kelas X MIPA 4 sedang melintas di depan kelas X MIPA 5, kelas milik Taka. Sepertinya mata pelajaran kedua mengharuskan mereka ke lab komputer, seperti yang Taka lihat di jadwal Elhan. Saat itu, Taka bisa melihat Elhan yang jalan di belakang rombongan dengan menundukkan kepala dan memegang buku dan kotak pensilnya di dada dengan erat. Tanpa Taka sadari, ia menghela napas melihat betapa penakutnya teman sekamarnya itu. Entah perundungan seperti apa yang ia terima sampai sebegitu traumanya pada banyak hal.
Sayangnya, fokus Taka mendadak berpindah pada aura negatif di sekitarnya. Saat itu, Taka menyadari kalau sosok remaja laki-laki yang belum ia ketahui namanya itu sedang dalam kondisi tidak baik. Ada kemarahan dan kebencian yang mendadak muncul dan membuat energi di sekitarnya bergerak dengan kacau. Bahkan, Taka sampai merasa tidak bisa napas saking sesaknya. Akibat dari energi negatif yang terlalu besar itu, banyak sosok dari luar kelas terpanggil ke dalam dan berkumpul di sekitarnya.
“Hei! Berhenti kamu! Jangan diterusin! Kamu bisa ngebunuh aku, bodoh!” Taka masih berusaha mengontrol suaranya dengan desisan pelan. Hanya anak di depannya yang mendengar suara Taka dan menoleh dengan tidak nyaman. Akan tetapi, Taka tak peduli.
Energi negatif semakin besar dan berputar di sekitar sosok itu. Napas Taka tersengal, pendek-pendek. Kepalanya berdenyut, pandangannya juga mulai buram. Rasanya, nyawanya seperti tertarik keluar. Ia berusaha menggali, siapa nama sosok ini untuk dipanggil namanya agar segera sadar. Saat itu, ia berusaha mencari satu nama. Mencari siapa nama sosok itu. Hingga sampailah ia pada satu nama.
“Rav! Sadar!” Taka masih berteriak dalam batin. Sayangnya, tidak ada respon seperti yang ia harapkan.
Dengan keringat yang membasahi dahinya, tangan yang ia genggam dengan kencang sampai buku-buku tangannya memerah, juga dengan napasnya yang terasa makin habis, Taka akhirnya mengeluarkan suaranya sambil menatap ke arah Rav. Persetan dengan dicap sebagai orang aneh.
“Berhenti atau saya suruh kamu balik ke tempatmu, Rav!”
Sontak dirinya menjadi pusat perhatian kelas. Pak Siswono yang mengajar di depan memandang Taka dengan wajah yang merah padam karena marah. Merasa Taka tidak menghormati dirinya.
“Taka! Kamu tidak suka saya ngajar di sini? Kamu menyuruh saya keluar atau bagaimana?”
Merasa napasnya sudah kembali, Taka menengok, menatap Pak Siswono. Ia membungkukkan tubuhnya meminta maaf. Sayangnya, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi karena terlanjur jatuh pingsan. Energinya sudah habis hanya untuk menahan energi negatif milik Rav yang terus mencekiknya.
Rav yang sadar pun menatap Taka dengan tatapan yang penuh penyesalan. Saat melihat Taka jatuh pingsan, ia sempat masuk sedikit untuk mencegah benturan keras Taka dengan lantai, lalu ia menghilang. Menyembunyikan diri dari Taka.