Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi & Co.
MENU
About Us  

Keesokkan paginya, warna langit berubah. Langit yang seharusnya berwarna biru, berubah menjadi biru keunguan. Sebagai mahasiswi seni rupa yang mempelajari tentang teori warna, Ami tahu bahwa warna biru keunguan di langit itu bernama periwinkle atau dalam bahasa lokal disebut dengan warna biru gandaria. Ami sangat yakin bahwa warna periwinkle itu merupakan selimut mimpi yang disebarkan oleh Mimpi & Co.

Seraya berangkat kuliah, Ami menyempatkan diri mampir ke Mimpi & Co. dan dengan semringah memberitahu Pak Guska tentang warna langit hari ini. Di sana, Pak Guska ternyata tidak sendirian. Ami melihat kasur sederhana yang terbentang di lantai dengan bantal dan selimut yang belum dirapikan. Ada pintu di ujung ruang di dekat tulisan besar Mimpi & Co. yang Ami bahkan baru sadar kalau pintu itu ada di sana–mungkin karena warnanya senada dengan dinding. Pintu itu terbuka lalu Aidan keluar dari ruang di baliknya–sambil sikat gigi dan tampak baru mandi. Ruang di balik pintu itu ternyata kamar mandi.

“Kok Kak Ai di sini?” tanya Ami.

Karena sedang menyikat gigi, Aidan hanya tesenyum getir. Pak Guska yang memberitahu Ami kalau ternyata Aidan menginap di Mimpi & Co. gara-gara diusir Oliver dan Rian yang tidak suka Aidan berpacaran dengan Ami. Aidan kembali masuk ke kamar mandi sekadar untuk berkumur.

“Bukan salah kamu kok, Ami. Seru aja rasanya ngejahilin mereka,” kata Aidan saat melangkah keluar. “Semalam aku ngobrol banyak sama Pak Guska.”

“Kita juga adu panco,” sambung Pak Guska yang berdiri di balik counter seraya merapikan barang-barang di rak belakang.

Ami memberitahu, “Udah lihat langit? Langitnya berwarna periwinkle.”

“Sumpah?” Aidan buru-buru keluar untuk membuktikan dengan matanya sendiri.

Setelah melewati pintu, Aidan terpana menatap langit. Ami menyusulnya dan memandang langit yang sama.

Dengan senyum tersungging di wajah, Aidan berkata, “Buat aku, periwinkle itu warna tercantik di luar warna dasar. Memang agak pucat, tapi aku suka.” Dia menoleh ke arah Ami yang mengangguk setuju.

Ami menoleh ke arah Pak Guska untuk bertanya, “Mimpi & Co. yang ngewarnain ya, Pak?”

Pak Guska mengangguk, “Silakan jalani hari ini dan mari kita lihat akan sepenuh warna apa.”

Ami mengangguk.

Ami menuju kampus bersama Aidan. Setelah keluar gang dan melewati trotoar, mereka lagi-lagi berpapasan dengan Axel di halaman Kafe Dandelion. Axel berdiri menatap langit yang hari ini berwarna unik, periwinkle.

“Kak Axel,” panggil Ami. “Ini bukan fenomena langka. Fenomena ini Mimpi & Co. yang bikin,” katanya setelah Axel menoleh.

Axel bertanya dengan ekspresi kebingungan. “Ini … mimpi?”

“Iya mimpi, tapi di dunia nyata.”

“Pantas aja yang bisa lihat cuma aku. Kirain aku yang gila soalnya karyawanku nggak percaya. Pantas aja tadi kerasa sakit pas nampar diri sendiri.”

“Butuh tamparan tambahan nggak, Bang?” tanya Aidan seraya berpura-pura mempersiapkan tangannya.

“Enyah lo!” ketus Axel tiba-tiba kepada Aidan. Aidan sampai terkejut.

“Gila. Sentimen amat sama gue?”

Axel mengabaikannya dengan berjalan memasuki kafe. Ami menatap Aidan dengan penuh belas kasihan, tapi Aidan justru tersenyum padanya.

“Aku nggak apa-apa. Aku sama temen-temen udah biasa berantem kok. Lagian ini cuma mimpi. Iya, kan?”

Ami hanya mengangguk pelan. Mereka pun melanjutkan perjalanan ke kampus. Saat melewati taman, mereka dikejutkan dengan bunga-bunga yang tiba-tiba tumbuh dan mekar sangat cepat seperti melihat video timelapse. Ami dan Aidan berhenti melangkah sekadar untuk terpana bersama. Taman universitas pun menjadi lebat seketika.

Mereka terpaksa berpisah karena harus memasuki kelas masing-masing. Di tengah jam kuliah, Ami sering menatap keluar jendela untuk melihat langit. Namun, fenomena lain kembali terjadi. Pada cuaca cerah, ada sesuatu yang turun dari langit semacam hujan–tapi itu bukan hujan. Ami terus mengamati sampai dia akhirnya yakin bahwa itu memang bukan hujan, tapi salju. Ami terperangah di tempat. Dia ingin buru-buru keluar, tapi dia harus menyelesaikan mata kuliah terlebih dahulu.

Setelah kuliah hari ini selesai, Ami berlari keluar fakultas dan menatap sekeliling dengan mata berbinar. Seluruh universitas telah diselimuti salju. Anehnya, salju ada dimana-mana, tapi udara tidak dingin. Langit masih periwinkle dan matahari pun masih bersinar cerah. Rasanya seperti salju yang turun di musim panas. Seraya merentangkan tangan, Ami berlari melewati salju yang masih turun. Tiba-tiba–bugh! Ada yang melemparinya dengan bola salju. Ami menoleh dan mendapati Rian tengah tertawa sambil memegang bola salju lain di tangannya.

“Rasain!” kata Rian seraya melempari Ami dengan bola salju yang tersisa.

Selain Rian, Ami juga menemukan Je yang tertawa–sembunyi di balik pohon, tapi segera ketahuan gara-gara tertawa.

“Kalian semua datang kesini buat nyerang aku?” tanya Ami.

“Suka-suka kita lah,” celetuk Rian yang tengah membuat bola salju yang baru.

“Enggak kok, Ami,” kata Je. “Kita cuma kaget tiba-tiba langit jadi ungu terus turun salju. Terus aku dikasih tahu kalau Mimpi & Co. bakal ngasih mimpi juga ke kita.”

Oliver tiba-tiba berseru entah darimana, “Ami, lo gue maafin asal lo mau gue timpuk!”

Oliver melempari Ami dengan bola salju yang lebih besar, tapi Ami buru-buru dilindungi Je–Je melompat menuju Ami dan menjadi perisai Ami dari lemparan salju.

“Liv, jatuhnya lo sama Rian malah kayak nge-bully Ami,” kata Je.

Rian menimpali, “Lah, emang! Anggap aja ini pelatihan kayak di barak biar Kak Ami berani ngelawan kalau ada yang bully.”

Je melihat Rian yang ternyata sudah menyiapkan banyak bola salju sebagai senjata. “Gawat, Ami. Kita nggak boleh diem aja.”

Maka, dengan setengah kesal, Ami turut membuat bola salju untuk menyerang balik Rian dan Oliver. Tim terbagi secara otomatis: Ami bersama Je dan Rian bersama Oliver. Melalui jendela kelas, Aidan menonton permainan mereka. Karena Ami tampak bahagia, dia pun turut tersenyum. Dia ingin segera bergabung setelah kelas selesai. Begitu kelas selesai, dia datang bertepatan dengan sebuah mobil yang dikendarai Pasha.

Pasha menurunkan kaca mobil sebelum bicara kepada mereka. “Hei, gue sama Ron ada rencana jalan-jalan. Pada penasaran nggak sih saljunya turun sampai mana? Kalau sampai luar kota juga bakal kita gas. Ami, ikut, yuk? Mimpi indah kayak gini, sayang banget nggak sih kalau nggak kita explore?”

Ami ingin mengangguk, tapi nyalinya mendadak ciut lagi setelah melihat Ron yang duduk di kursi depan di samping Pasha. Tatapan Ron kepadanya masih terasa tidak menyenangkan–meskipun memang begitulah cara Ron menatap. Ron tiba-tiba mencairkan suasana meskipun ketus seperti biasa.

“Buruan masuk! Gue udah maafin lo. Gue janji nggak akan ngomel lagi.”

Ami tersenyum lega–termasuk Aidan di belakangnya. Aidan meraih tangan Ami lalu menariknya, mengajaknya masuk ke mobil yang dikendarai Pasha.

“Eh, curut! Lo ngapain ikut masuk sih?” protes Ron.

Aidan menjawab, “Biar bisa maki-maki lo balik lah.”

Sebelum mobil melaju, Pasha pamit kepada teman-teman yang tersisa. “Kita duluan, ya? Lo semua buruan nyusul.”

“Oke. Gue mau ambil motor dulu di parkiran,” kata Rian.

[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
VampArtis United
1764      1035     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
Sahara
23240      3512     6     
Romance
Bagi Yura, mimpi adalah angan yang cuman buang-buang waktu. Untuk apa punya mimpi kalau yang menang cuman orang-orang yang berbakat? Bagi Hara, mimpi adalah sesuatu yang membuatnya semangat tiap hari. Nggak peduli sebanyak apapun dia kalah, yang penting dia harus terus berlatih dan semangat. Dia percaya, bahwa usaha gak pernah menghianati hasil. Buktinya, meski tubuh dia pendek, dia dapat menja...
Ujian Hari Kedua
627      366     2     
Short Story
Hei, kurasa kau terlalu sibuk menguras uang-uang kami. Jika iya, apakah kami mempunyai ruang untuk berkreasi disini? Aku terlalu muak dengan penjara yang kalian ciptakan. Aku tak mau menjadi seorang pengecut yang tunduk kepada orang yang bodoh. Aku pemberontak. Itu sebab aku lebih pintar dari kalian semua! -Kahar
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
508      352     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
The Red Eyes
24393      3804     5     
Fantasy
Nicholas Lincoln adalah anak yang lari dari kenyataan. Dia merasa dirinya cacat, dia gagal melindungi orang tuanya, dan dia takut mati. Suatu hari, ia ditugaskan oleh organisasinya, Konfederasi Mata Merah, untuk menyelidiki kasus sebuah perkumpulan misterius yang berkaitan dengan keterlibatan Jessica Raymond sebagai gadis yang harus disadarkan pola pikirnya oleh Nick. Nick dan Ferus Jones, sau...
The Black Envelope
2912      1043     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Viva La Diva
620      402     0     
Short Story
Bayang mega dalam hujan
Cinta Pertama Bikin Dilema
5378      1469     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...
IMAGINE
390      279     1     
Short Story
Aku benci mama. Aku benci tante nyebelin. Bawa aku bersamamu. Kamu yang terakhir kulihat sedang memelukku. Aku ingin ikut.
Andai Kita Bicara
928      647     3     
Romance
Revan selalu terlihat tenang, padahal ia tak pernah benar-benar tahu siapa dirinya. Alea selalu terlihat ceria, padahal ia terus melawan luka yang tak kasat mata. Dua jiwa yang sama-sama hilang arah, bertemu dalam keheningan yang tak banyak bicaratetapi cukup untuk saling menyentuh. Ketika luka mulai terbuka dan kenyataan tak bisa lagi disembunyikan, mereka dihadapkan pada satu pilihan: tetap ...