Ternyata, Rian dan yang lainnya menyusul dengan mobil Axel. Ami melihat Oliver dan Je yang melambaikan tangan padanya dengan senyum cerah. Mereka menyalip saat melewati jalan raya besar di antara padang salju yang luas. Ami tidak bisa berhenti tersenyum melihat dunianya diselimuti salju.
“Ami lihat ke kanan,” seru Ron tiba-tiba.
Jauh di depan sana, di sebelah kanan jembatan yang akan mereka lewati, ada pelangi besar yang melengkung indah yang ujungnya berakhir di permukaan sungai yang membeku. Mobil Axel sudah lebih dulu berbelok ke kanan menuju ujung pelangi itu–rupanya mereka sudah tahu lebih dulu. Pasha pun segera menyusul.
Dua mobil berhenti di tepi sungai yang beku. Karena terlalu bersemangat ingin menuju ujung pelangi, Oliver tergelincir saat melewati permukaan sungai–tingkahnya itu seketika ditertawai oleh Ami dan yang lainnya. Meskipun setelah itu, semuanya tergelincir saat turut melewati permukaan sungai yang ternyata licin. Giliran Oliver yang tertawa puas.
Ada satu hal tak terhindari sehingga mengundang patah hati. Aidan mengulurkan tangan untuk membantu Ami berjalan di atas es. Yang lain ingin mencoba menerima dengan lapang dada. Mereka mengendalikan hati mereka masing-masing dengan mengalihkan pandangan dan menikmati mimpi. Oliver dan Rian saling merangkul untuk saling menguatkan, Je meluncur di atas es dengan lincah seperti sedang menari, sedangkan sisanya hanya berjalan apa adanya–dengan sangat hati-hati karena licin.
“Kak Je pinter banget nari,” kata Ami yang melihat Je berputar-putar di atas es.
Seraya menggenggam tangan Ami, Aidan berkata, “Kamu nggak tahu ya kalau Bang Jefa itu mahasiswa seni tari?”
Sepasang mata Ami membulat. “Aku baru tahu. Pantesan dia jago.”
Mereka beramai-ramai menuju ujung pelangi di tengah permukaan es. Cahaya matahari masih bersinar dan cahayanya membuat permukaan es berkilauan seperti kristal. Pelangi melengkung lembut di langit cerah berwarna periwinkle. Ujung pelangi yang menyentuh bumi membentuk kolam kecil bening dimana warna-warna pelanginya memantul di permukaan air, seperti pintu menuju dunia lain. Udara segar yang mereka hirup saat ini seperti perpaduan antara aroma salju dan hangatnya matahari.
Pelangi ternyata bisa didaki. Hal itu diketahui saat Rian menyentuh pelangi. Bukan hanya pembiasan cahaya, tapi pelangi yang mereka temui adalah benda padat yang bisa disentuh–seperti es warna-warni yang tembus pandang dengan permukaan kasar. Karena kemiringannya terlalu curam, Aidan dan Oliver iseng membentuk ujung pelangi menjadi seperti tangga. Dengan sepatunya, mereka mengikis pelangi sedikit demi sedikit.
Oliver berkata dengan bangga, “Nothing is impossible, you know?”
Semuanya mendaki pelangi. Oliver dan Aidan memimpin di depan, Ami di belakang mereka, dan sisanya menyusul di belakangnya. Di puncak pelangi yang tinggi, mereka duduk memandang dunia yang diselimuti salju.
Suara Axel mengisi sunyi, “Hei, kalian semua! Saatnya berterima kasih pada Ami yang udah bikin kita semua ngerasain ini!”
Kemudian semuanya berucap serentak, “Makasih, Ami!”
Rian mengulang lebih lantang, “MAKASIH, KAK AMI … !”
Lalu Pasha melontarkan pertanyaan realistis, “Gimana perasaan kalian sekarang? Menurut kalian, ini mimpi buruk atau mimpi indah?”
“Indah,” jawab Axel.
“Buruk,” celetuk Oliver.
“Buruk,” kata Ron.
Rian punya jawaban berbeda, “Kalau Bang Aidan disingkirin bakal jadi mimpi indah sih.”
Seketika Je menyemburkan tawa seraya bertepuk tangan. “Seenggaknya kita nggak patah hati sendirian, guys. Nangis ya nangis bareng. Eh, harusnya Pak Guska diajak nggak sih? Kan dia juga punya kontribusi?”
“Habis ini, yuk, kita samperin?” ajak Axel. “Kita ambil cake di kafe gue dulu. Kita bawain oleh-oleh buat dia.”
Semuanya setuju lalu mereka bersiap menuruni pelangi. Saat turun, mereka meluncur lewat ujung pelangi yang lain. Bahkan saat ada beberapa yang jatuh, permukaan salju akan memantul layaknya bantalan empuk. Seperti kata Pak Guska, Mimpi & Co. akan melindungi sang pemimpi.
Para mimpi termasuk Aidan, semakin akrab dengan Pak Guska. Pak Guska juga tampak bahagia setiap kali mereka datang membawakan makanan untuk disantap bersama. Katanya, jarang sekali ada pengunjung yang sampai membawakan sesuatu dari dunia nyata. Aidan dan para mimpi pun jadi sering mampir. Kadang untuk makan bersama, kadang sekadar berkumpul untuk berdiskusi sesuatu, kadang bermain monopoli dan kadang mereka menginap beramai-ramai. Mereka berisik, tapi Pak guska senang. Hal ini juga Ami ceritakan di buku diarinya. Buku diari yang awalnya bukan apa-apa, tiba-tiba terasa sangat penting karena menyimpan banyak kenangan tentang Mimpi & Co. Ami tiba-tiba terdiam sejenak karena di benaknya terbesit sesuatu: bisakah dia membayar mimpi dengan buku diarinya yang sempat ditolak? Ami merasa perlu membicarakannya dengan Pak Guska.
Malam minggu, Ami datang ke Mimpi & Co. Di sana, Aidan dan para mimpi sedang bermain kartu. Mereka membuat aturan bahwa yang kalah akan mendapat coretan di wajah pakai spidol hitam. Saat tiba di sana, Ami terkejut karena wajah mereka sudah penuh coretan–termasuk Pak Guska.
Kedatangan Ami disambut dengan ramai sapa, tapi Pak Guska menyambut Ami dengan beranjak dari kursi karena bergegas ingin membuatkan cokelat panas. Katanya, dia merasa harus memperlakukan Ami dengan baik karena Ami adalah pengunjung yang harus dilayani.
“Ami nggak mau ikut main? Kirain kamu datang kesini buat ketemu aku,” kata Aidan setengah kecewa.
Ami membalas, “Nanti, ya? Aku mau ngobrol sama Pak Guska dulu.”
“Oke. Nanti kamu duduk samping aku, ya?”
Rian tiba-tiba mengomel, “Stop! Kita udah bikin perjanjian ya, Dan! Lo sama Kak Ami nggak boleh mesra-mesraan di depan kita!”
Pasha menegur, “Bang Aidan. Rian kebiasaan banget kalau kesel langsung hilang hormat.”
“Males soalnya sekarang dia rival gue.”
“Bukannya kita semua rival, ya?” tanya Je.
Pak Guska datang membawakan cokelat panas kepada Ami yang duduk di kursi depan counter yang berhadapan dengan Pak Guska. Mumpung Aidan dan teman-temannya sedang ribut soal permainan, Ami menggunakan kesempatan itu untuk mendiskusikan barang bayaran untuk mimpi. Dengan suara lirih, Ami memberitahu Pak Guska kalau buku diarinya sudah terasa lebih berarti. Lalu Pak Guska memberitahu kalau hanya timbangan ajaib Mimpi & Co. yang bisa menentukan.
“Timbangnya nanti dulu deh, Pak. Kayaknya saya perlu bikin buku diari saya lebih berarti lagi. Saat jalan kesini tadi, tiba-tiba saya mikir gini: bayaran mimpi itu hampir sama kayak kebahagiaan. Kalau nggak bisa dicari, kita bisa buat sendiri. Makanya, saya mau buat buku diari saya lebih berarti lagi. Saya sudah ada rencana, sekaligus saya perlu waktu buat lepasin semuanya lagi.”
Pak Guska mengangguk dengan senyum hangat di wajah yang penuh coretan spidol. “Pasti berat karena harus mempersiapkan perpisahan dua kali. Kamu tahu? Saat menyadari kalau pengunjung ke-777 akan segera datang, saya sudah menduga kalau mimpi kali ini nggak akan sama kayak biasanya. Entah kenapa, angka tujuh selalu berarti sesuatu. Saya jadi ingat pengunjung ketujuh dan ke-77. Pengunjung ketujuh adalah seorang pemimpi yang membuat saya datang kesini–dia mengambil paket setahun. Sedangkan pengunjung ke-77 adalah seorang pemimpi tua yang ingin kembali ke masa lalu dan bertemu teman-teman masa kecilnya. Mimpi & Co. datang saat dia mengalami terminal lucidity–dia tiba-tiba merasa sehat di hari-hari terakhirnya. Dia mengambil paket seminggu, tapi sebelum mimpi berakhir … dia meninggal dengan senyum di wajahnya.”
Ami tertegun. Itu adalah cerita yang mengharukan. Dunia yang dilihat Pak Guska ternyata lebih luas dari yang Ami duga.
[]