“Panggil aku Je aja ya biar gampang? Temen-temenku juga manggilnya gitu ke aku. Ami mau nggak main di sini bareng aku? Aku juga sendirian soalnya. Ami mau kemana? Naik wahana? Kalau mau, nanti aku temenin, tapi nanti kalau aku teriaknya kekencengan, harap maklum, ya? Aku tuh sebenernya penakut. Hehehe,” kata Je seraya tersenyum senang karena bonekanya diterima oleh Ami.
Pada akhirnya, mereka berkeliling berdua seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan. Mereka bahkan beli bando kembar lalu membeli permen kapas yang dimakan sambil jalan. Meskipun Je sudah mengakui kalau dirinya penakut, Ami justru dengan jahil mengajaknya ke wahana rumah hantu. Je bersedia. Katanya, dia mau pergi kemana saja asal bersama Ami.
Selama menjelajah rumah hantu, Je sering berteriak dan berlindung di balik punggung Ami. Je ternyata tidak bercanda saat memberitahu dirinya penakut. Setiap hantu muncul, Je akan langsung berteriak bahkan sampai melompat panik dan bersembunyi di belakang Ami. Ami justru tertawa melihat reaksi itu. Ami sendiri sama sekali tidak takut dengan setiap hantu yang berdatangan–tentu saja karena semuanya adalah Pak Guska. Alih-alih takut, Ami justru tertawa saat kostum hantu yang dipakai Pak Guska tampak lucu.
Setelah berhasil lolos dari rumah hantu, Ami memberi Je giliran untuk memilih wahana. Namun, Je lebih memilih untuk menonton pertunjukkan tari. Katanya, dia sangat menyukai tari dan ingin menghilangkan rasa takutnya lewat hal itu. Ami menghargai pilihan Je seperti Je yang menghargai setiap pilihannya–meskipun sebenarnya Ami tidak begitu tertarik karena setiap penari di panggung juga pasti Pak Guska semua.
Setibanya di tempat pertunjukkan tari, mereka melihat beragam tarian yang ditampilkan mulai dari tarian daerah sampai tari balet. Ami tidak habis pikir saat melihat setiap tarian yang ditarikan Pak Guska, tapi itulah yang ia saksikan sekarang. Ami sesekali tertawa geli atau menutup matanya sedikit.
Je sangat antusias saat giliran tarian hip-hop yang ditampilkan. Di samping Ami, Je ikut menari sampai mencuri perhatian penonton–sampai para Pak Guska di atas panggung memanggilnya dan mengajaknya menari bersama. Je dengan senang hati naik ke panggung lalu menari bersama. Para penari latar pun tiba-tiba keluar dari belakang panggung dan membuat formasi mengelilingi dua penari utama, ketua Pak Guska dan Je. Sorakan dari penonton semakin riuh saat confetti dilepaskan ke udara.
Malam itu, Ami pulang dengan memeluk boneka beruang pemberian Je. Dia di antar oleh Je, dengan mobil klasik yang unik, sampai ke depan gang. Di sana, Ami melambaikan tangan kepada Je yang hendak pergi dengan mobilnya. Ami senang luar biasa saat bersama Je, dan kini, setelah Je pergi, dia merasa hampa. Setibanya di rumah, dia lekas bersih-bersih lalu buru-buru tidur dengan memeluk boneka pemberian mimpi.
Saat pagi menjelang, dia dibangunkan oleh sebuah aroma masakan. Ternyata semalam ayahnya pulang dan pagi ini sedang membuat sarapan. Ami menyapa seraya pergi ke kamar mandi.
“Kenapa nggak ngabarin?”
Sang ayah menjawab, “Nggak sempat. Ayah ngerasa harus pulang karena sudah beberapa hari nggak pulang.”
Meskipun usia ayah Ami hampir setengah abad, tapi dia masih terlihat muda dan bertubuh tegap karena sangat peduli dengan kesehatan–suka berolah raga dan selalu mengonsumsi makanan sehat. Kekurangannya hanya satu: selalu sibuk–dan ini dijadikan alasan oleh ibunya saat berpaling dulu.
Kebersamaan Ami dan ayahnya pun hanya berlangsung singkat karena Ami harus kuliah dan ayahnya pergi bekerja. Namun, Ami dengan ceroboh meninggalkan kunci rumah miliknya yang seharusnya di bawa. Ami yang sebenarnya sudah tiba di kampus pun ditelepon oleh ayahnya dan diminta menuju gerbang–ayahnya menunggu di sana dengan mobil untuk menyusulkan kunci. Namun, saat Ami hampir sampai dan sosok ayahnya terlah terlihat, Ami melihat ayahnya berada di luar mobil dan tampak mengobrol dengan seseorang. Setelah itu, ayahnya masuk ke mobil lalu mobil itu melaju tanpa menunggu Ami.
Ami heran. Langkahnya tanpa sadar semakin cepat saat mobil ayahnya tiba-tiba pergi begitu saja–sampai Ami tidak menyadari bahwa seseorang yang tadi mengobrol dengan ayahnya adalah Aidan.
“Ami,” panggil Aidan yang mendapati Ami mendekati gerbang.
Ami menoleh dan tidak menduga bahwa dia akan bertemu mimpi. “Eh? Kak Ai–” kalimat Ami terpotong saat Aidan menyodorkannya kunci.
“Dari ayah kamu,” kata Aidan.
Ami menerima kunci itu dengan perasaan heran. “Kak Ai kenal ayah aku?” tanyanya kemudian.
Aidan mengangguk. “Ayah kamu dokter, kan? Aku sempet ketemu beberapa kali di rumah sakit.”
“Kak Ai … sakit?” tanya Ami berhati-hati.
Aidan menggeleng. “Bukan aku, tapi ibu aku. Sekarang udah sembuh kok berkat ayah kamu. Ngomong-ngomong, balik ke gedung seninya mau bareng nggak?”
Ami mengangguk. “Boleh.”
Bersama Aidan, Ami menuju gedung fakultasnya. Ami tidak peduli saat banyak orang memperhatikannya–toh ini hanya mimpi. Sialnya, setelah kelas berakhir, Rini dan teman-temannya membuat ulah lagi. Ami merasa dirampok. Ponselnya diambil agar mereka bisa mencuri nomor Aidan–Rini merampas ponsel sedangkan Dira dan Widi memegangi Ami agar tidak melawan. Untungnya, perlu scan wajah agar ponselnya dapat terbuka. Saat Rini memaksa untuk men-scan wajah Ami, Ami akan mati-matian memejamkan mata atau membuat ekspresi jelek agar tidak terbaca.
Karena makian tidak mempan untuk menghentikan mereka, Ami menggigit tangan Widi sebagai upaya untuk melarikan diri. Berhasil. Setelah Widi memekik dan melepas pegangannya, Ami mendorong Dira kemudian merampas kembali ponselnya dari tangan Rini lalu segera berlari kabur.
Ami keluar gedung seraya bersungut-sungut kesal. Bahkan setelah terpengaruh mimpi pun, mereka masih saja menyebalkan. Anehnya, setibanya di halaman depan, emosi Ami surut seketika–lalu dia merasa bahagia tanpa sebab. Ami menghela napas dalam-dalam seraya menyentuh dadanya. Apa ini? Dia bahagia karena apa? Kemudian Ami mendengar seseorang memanggilnya.
“Ami!”
Ami menoleh ke sumber suara lalu mendapati Je yang duduk di bawah pohon. Mungkinkah perasaannya berubah gara-gara Je berada dalam radarnya? Tampaknya Je adalah virus bahagia yang Ami minta dari Mimpi & Co. Pria itu kemudian beranjak lalu berlari kecil menghampiri Ami.
“Kak Je kenapa di sini?” tanya Ami.
“Nungguin kamu. Mau ngajak jalan sih kalau kamu mau.”
“Kemana?”
“Gimana kalau ngopi?” usul Je.
Ami mengangguk. “Boleh.”
“Deket sini ada Kafe Dandelion. Mau kesana?”
Mendengar nama Kafe Dandelion, Ami jadi teringat janji kencannya dengan Axel. Nyaris saja dia pergi bersama Je. Dengan penuh rasa bersalah, Ami meminta maaf kepada Je dan memberitahu kalau dia ada janji. Untungnya, Je memaklumi itu dan tidak menunjukkan rasa kecewa sama sekali.
Ami terpaksa meninggalkan Je dan beralih menuju Kafe Dandelion demi menepati janjinya kepada Axel. Axel ternyata telah siap dengan outfit-nya yang keren–balutan pakaian yang sangat serasi dengan visualnya yang tampan. Senyumnya merekah menyambut Ami lalu dengan santai dia memberitahu Ami bahwa hari ini dia akan mengajak Ami ke bioskop.
Trust issue melanda. Pengalaman Ami pergi ke bioskop bersama Pasha ternyata meninggalkan bekas yang cukup pekat. Hari yang aneh itu masih tergambar jelas di ingatannya. Dan saat ini, Ami sangat berharap bahwa hari ini akan menjadi kencan yang lebih normal–meskipun masih dalam mimpi yang dikendalikan Mimpi & Co.
Ami menarik napas dalam-dalam begitu duduk di studio yang gelap. Seraya memangku popcorn erat-erat saat film sudah mau mulai, Ami menoleh sebentar ke arah Axel–kemudian … Ami bak membeku. Mimpi yang aneh ternyata tetap aneh. Ami mendesah putus asa melihat wajah Axel yang bercahaya seperti lampu pijar di tengah gelapnya studio. Ami diam, tapi batinnya berteriak:
GANTENGNYA BENERAN MENYINARI DUNIA … !
[]