Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mimpi & Co.
MENU
About Us  

Yang Berharga---

Karena merasa butuh teman bercerita, Ami menelepon ayahnya. Dia senang karena dijawab cepat.

“Ayah?”

“Ada apa? Butuh uang? Ayah ada jadwal operasi setelah ini.”

“Ah, kalau begitu nanti saja.”

Panggilan berakhir dengan sangat singkat. Beberapa saat kemudian, ponsel Ami mendapat notifikasi pemberitahuan dari bank digital–ayahnya baru mentransfer uang. Jika ayahnya sudah mengirim uang, tandanya dia tidak akan pulang. Ami paham karena sudah terbiasa. Jadi, Ami memutuskan mengambil jaket lalu pergi keluar.

Ami membeli jajan di toserba lalu ingin menghabiskannya dengan duduk di kursi yang tersedia di teras. Dia membeli yogurt, cokelat, beberapa sosis dan makanan ringan yang lain. Setelah membayar, dia duduk di luar. Sambil mengunyah makanannya, Ami melihat sekitar dan menikmati malam. Dingin, tapi tenang. Malam itu sangat sedikit kendaraan yang melintas. Sepi? Atau karena memang bukan jalan utama.

Di tepi jalan itu Ami bisa melihat gedung kampusnya dan Kafe Dandelion yang masih buka–Ami penasaran apakah Axel masih berada di sana. Sesaat Ami merasa ingin berkunjung, tapi khawatir jika dia tidak bisa menghadapi tingkah orang itu. Mungkin besok saja, pikirnya. Ami kemudian dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba datang menyapanya.

“Ami?” sapa Aidan yang keluar dari toserba sambil menenteng tas belanja.

Ami bahkan tidak tahu kapan Aidan datang. Apakah mungkin Aidan datang ke toserba sebelum dirinya? Mana mungkin. Ami sudah cukup lama duduk sehingga telah menghabiskan tiga sosis dan sebungkus wafer. Ami buru-buru menelan setiap makanan yang masih tersisa di mulutnya sebelum balas menyapa.

“Hai, Kak Ai,” sapa Ami sambil memperbaiki duduknya yang terlalu santai. Setelah mengakkan punggung, Ami bertanya, “Kok Kak Ai di sini?”

Aidan menjawab, “Kost-an aku deket sini kok. Kamu?”

“Rumah aku masuk ke gang itu.” Ami menunjuk gang tepat di samping minimarket.

Tatapan Aidan mengikuti arah yang Ami tunjuk lalu kembali menatap Ami seraya mengangguk mengerti. “Pantesan aku nggak pernah lihat kamu berangkat sekolah pakai kendaraan. Ternyata sedekat itu rumah kamu?”

Ami mengangguk.

“Aku boleh duduk?” Aidan meminta izin seraya menunjuk salah satu kursi kosong yang hanya berjarak satu meja dengan kursi Ami.

Ami mengangguk cepat. “Duduk aja, Kak,” sahutnya seraya memunguti sampahnya yang ia letakkan sembarangan di atas meja lalu memindahkannya ke tong sampah di dekatnya.

Aidan duduk di hadapan Ami kemudian memulai percakapan berikutnya. “Aku tadi lihat kamu masuk ke toko. Aku masuk duluan, tapi kamu yang ke kasir duluan. Aku dari tadi merhatiin kamu, lho–tapi kamu nggak lihat aku.”

Ami tidak terkejut saat Aidan memerhatikannya. Dia sudah tidak heran karena setiap mimpinya menyukainya. Mimpi & Co. memang ajaib. Ami jadi bisa merasakan rasanya dicintai dan mulai terbiasa akan itu.

“Kamu beli apa aja, Ami?” tanya Aidan kemudian.

“Makanan kecil aja kok,” jawab Ami.

“Sudah makan malam?”

Ami menggeleng.

“Aku kesini niatnya buat beli makan malam. Ami mau ini? Aku beli banyak buat stok besok. Maklum anak kost,” Aidan mengeluarkan mie cup dari dalam kantung belanjanya. “Kalau mau nanti aku isiin air panas di dalem. Mau, ya? Terus kita makan bareng di sini.”

Karena Aidan tampak memohon, Ami pun mengiyakan. Aidan pun membuka dua bungkus cup mie untuk dirinya dan Ami. Sebelum masuk ke toserba untuk mengambil air panas, Aidan menawari Ami untuk menambahkan keju–Ami menolak dengan memberitahu kalau dia lebih suka ditambah sosis. Aidan pun menuruti. Malam itu, Ami akhirnya mendapat teman makan malam.

Keduanya menyantap mie-nya dengan garpu plastik. Milik Ami adalah mie dengan tambahan sosis, sedangkan milik Aidan ditambah keju. Setiap percakapan yang terjadi di antara mereka selalu Aidan yang memulai. Namun, Ami menanggapinya dengan cukup santai dan tidak terlihat canggung sama sekali. Ami yang awalnya pemalu, tampaknya sudah mulai terbiasa–dia tidak malu karena menyadari bahwa semuanya hanya mimpi.

“Aku kira kamu pemalu lho, Ami?” kata Aidan.

“Aku? Tergantung sama siapa dulu.”

“Di kampus, kamu bukannya jarang ngomong? Kemana-mana sendiri, jarang ngumpul, acara jurusan juga kamu nggak pernah ikut.”

“Acara jurusan?”

Aidan mengangguk. “Jurusan kita sering ngadain acara bareng. Acara santai sih kayak sekadar makan bareng, diskusi bareng, tapi kamu masuk grup chat aja enggak–makanya aku jadi nggak tahu nomor kamu.”

“Kak Aidan nyariin aku?”

“Iya! Kenapa? Nggak boleh? Aku sering ngelihat kamu, tapi kok kita jarang banget ketemu yang sampai hadap-hadapan gitu–kayak sekarang ini. Aku juga jarang ngelihat kamu jalan sama temen-temen kamu.”

“Ya aku emang nggak punya temen,” kata Ami.

“Kok ngomongnya gitu?”

“Ya emang gitu kok.”

“Aku nggak dianggap?” tanya Aidan. “Tapi kayaknya aku mau ngelunjak sih. Nggak mau cuma temen–maunya lebih,” ungkapnya seraya memandang Ami yang dengan santainya makan mie. Melihat Ami yang sesantai itu, Aidan bertanya, “Kamu kok nggak kaget? Kamu nggak mau nanya sesuatu, gitu?”

“Kak Ai suka aku, kan? Mau nembak sekarang?” tanya Ami lalu menatap Aidan di hadapannya. “Tahu nggak, Kak? Dulu, aku kira disukai banyak orang tuh bakal seru–ternyata bikin pusing. Aku jadi mikir kayak: kalau aku nolak, aku jahat nggak ya? Tapi mimpi yang lagi aku jalani ini–yang bikin aku pusing–ternyata nyimpan banyak banget pelajaran. Contohnya sekarang ini: aku sama Kak Ai. Aku bisa leluasa ngomong ke Kak Ai tanpa khawatir di-judge soalnya aku udah ngerasa dicintai–soalnya Kak Ai naksir aku.”

Aidan memiringkan kepala karena heran, “Tadi kamu bilang apa? Mimpi?”

Ami mengulum senyum. Pikirnya: Tentu saja Aidan tidak sadar karena berada dalam pengaruh Mimpi & Co. Setelah terpikirkan tentang Mimpi & Co., dia jadi ingat kalau dirinya belum membayar. Pikirnya, mungkin keberadaan Aidan saat ini bisa membantunya untuk menemukan jalan pintas. Tidak ada salahnya kan meminta saran dari mimpi itu sendiri?

“Kak, boleh tahu nggak? Apa barang paling penting buat Kak Ai saat ini?”

“Barang paling penting?” Aidan pun berpikir. “Handphone?”

“Bukan dari segi fungsi,” celetuk Ami segera. “Siapapun tahu kalau zaman sekarang handphone itu primer, tapi bukan itu maksud aku. Maksud aku tuh barang berharga yang kayak … itu sepele, tapi buat Kak Ai tuh penting banget.”

“Oh,” Aidan tampaknya mengerti. “Ada. Bukan barang sih.”

“Terus?”

“Aku punya sesuatu yang dari dulu pengen banget punya. Pas udah punya, ya jadi kayak satu-satunya yang berharga, gitu. Nggak ada yang ngalahin lah pokoknya.”

“Boleh tahu itu apa?”

“Nomor HP Ami,” jawab Aidan.

Ami diam. Dia ingin kesal karena bosan disanjung. Namun, jawaban Aidan ternyata memberinya sesuatu. Tiba-tiba Ami jadi tahu apa yang harus dia berikan sebagai bayaran kepada Mimpi & Co.

“Kak Ai, thank you!” seru Ami tiba-tiba lalu buru-buru menghabiskan mie-nya. Setelah mie-nya habis, dia pamit pergi. “Kak Ai, maaf ya? Aku mau pulang duluan.”

Baru beberapa langkah Ami berlari, Aidan memanggilnya.

“Ami! Aku boleh chat kamu, kan?”

“Boleh!” seru Ami kemudian melanjutkan berlari.

Malam itu juga, Ami membawakan barang baru ke Mimpi & Co. Kepada Pak Guska, Ami menyerahkan vas bunga yang berisi dua tangkai mawar merah–bunga pemberian dari Axel. Tanpa pikir panjang, Pak Guska segera menerimanya lalu menimbangnya di timbangan Mimpi & Co. yang masih berada di atas meja pengunjung. Ami sangat antusias saat vas bunganya ditimbang. Hasilnya … vas berisi sepasang bunga mawar itu ternyata lebih berat. Ami dan Pak Guska kemudian saling pandang. Pak Guska semringah lalu mengajak bersalaman.

“Terima kasih. Mimpi & Co. sangat suka bayarannya. Dengan begini, kamu bisa melanjutkan mimpi kamu sampai akhir,” ucap Pak Guska.

Senyum Ami turut merekah. “Hutang saya lunas kan, Pak?”

“Lunas!”

Sekali lagi, Ami merasa bersalah karena memanfaatkan pemberian Axel untuk membayar mimpi. Maka, untuk menebus kesalahannya, Ami berencana menemui Axel besok setelah jam kuliah. Ami senang karena Axel selalu excited setiap dia datang. Axel bahkan membuatkan makanan yang tidak ada di menu. Kalau Ami suka, katanya aka dimasukkan ke menu.

“Gimana, Ami? Suka nggak? Kalau nggak suka nanti aku bikinin yang lain–tapi ada syaratnya. Jawab tebak-tebakan aku dulu. Ikan ikan apa yang penulis? Yak—betul! Ika Natassa. Hahahaha …”

Ami nyaris menyemburkan makanan di mulutnya. Dia memutuskan untuk meneguk air putih sebelum tersedak gara-gara tebak-tebakan spontan itu.

“Enak kok, Kak. Nggak perlu bikin yang lain. Ini udah cukup,” kata Ami.

“Yah … Padahal aku mau ngasih tebak-tebakan lagi, lho. Coba tebak yang ini! Tauge tauge apa yang romantis? Tauge—ther with you. Hahahaha … ,” Axel tertawa sambil menepuk-nepuk meja. “Satu lagi, satu lagi! Serangga serangga apa yang halus? Smooth. Hahahaha …”

Ami menatap diam Axel yang duduk sambil tertawa terbahak-bahak di hadapannya. Untuk menghargai tebak-tebakkan Axel, Ami tertawa seadanya.

"Kak Axel bukannya owner kafe, ya? Kok kadang ikut jadi pelayan?" tanya Ami.

"Kok Ami tahu sih kalau aku owner-nya?" tanya Axel sambil menatap penuh selidik. "Ami, aku nggak suka lho kalau kamu menerima cintaku gara-gara aku owner kafe. Aku kan maunya dicintai apa adanya, tapi kalau kamu mencintai aku karena ganteng sih masih bisa diterima–soalnya nggak ada yang gantengnya ngalahin aku–karena gantengku ini menyinari dunia. Tebak-tebakan lagi aja, yuk?"

"Kak Axel, nanti sarapannya aku bayar, ya? Nggak enak kalau di sini aku gratis terus," mohon Ami.

Axel menggeleng. "Nggak boleh. Kamu di sini bukan pengunjung, Ami–tapi calon pacar aku. Eh, tapi boleh-boleh aja sih kalau kamu mau bayar–tapi ada syaratnya."

"Apa? Tebak-tebakan lagi?" tanya Ami.

Axel menggeleng lagi. "Bukan. Kamu harus mau nge-date sama aku."

Well, Ami rasa memberi Axel waktu untuk kencan adalah bayaran yang cukup atas eksploitasinya terhadap bunga mawar pemberian Axel. Jadi, Ami menyetujui.

"Oke," sahut Ami seraya mengangguk.

"Eh, serius?" Axel tampak tak percaya.

"Iya," Ami mengangguk lagi. "Aku bisa kapan aja asal nggak kuliah. Kak Axel bisanya kapan?" tanyanya.

"Aku kayaknya bisa besok lusa sih."

"Oke."

[]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sendiri diantara kita
923      568     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Maju Terus Pantang Kurus
884      581     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
INTERTWINE (Voglio Conoscerti) PART 2
3511      1085     2     
Romance
Vella Amerta—masih terperangkap dengan teka-teki surat tanpa nama yang selalu dikirim padanya. Sementara itu sebuah event antar sekolah membuatnya harus beradu akting dengan Yoshinaga Febriyan. Tanpa diduga, kehadiran sosok Irene seolah menjadi titik terang kesalahpahaman satu tahun lalu. Siapa sangka, sebuah pesta yang diadakan di Cherry&Bakery, justru telah mempertemukan Vella dengan so...
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
740      454     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
Memento Merapi
21249      2184     1     
Mystery
Siapa bilang kawanan remaja alim itu nggak seru? Jangan salah, Pandu dan gengnya pecinta jejepangan punya agenda asyik buat liburan pasca Ujian Nasional 2013: uji nyali di lereng Merapi, salah satu gunung terangker se-Jawa Tengah! Misteri akan dikuak ala detektif oleh geng remaja alim-rajin-kuper-koplak, AGRIPA: Angga, Gita, Reni, dan Pandu, yang tanpa sadar mengulik sejarah kelam Indonesia denga...
Survive in another city
124      103     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Dalam Satu Ruang
137      91     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
The Black Hummingbird [PUBLISHING IN PROCESS]
21822      2432     10     
Mystery
Rhea tidal tahu siapa orang yang menerornya. Tapi semakin lama orang itu semakin berani. Satu persatu teman Rhea berjatuhan. Siapa dia sebenarnya? Apa yang mereka inginkan darinya?
The Maiden from Doomsday
10671      2383     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Trying Other People's World
134      118     0     
Romance
Lara punya dendam kesumat sama kakak kelas yang melarangnya gabung OSIS. Ia iri dan ingin merasakan serunya pakai ID card, dapat dispensasi, dan sibuk di luar kelas. Demi membalas semuanya, ia mencoba berbagai hidup milik orang lain—pura-pura ikut ekskul jurnalistik, latihan teater, bahkan sampai gabung jam tambahan olimpiade MIPA. Kebiasan mencoba hidup-hidup orang lain mempertemukannya Ric...