Hari itu adalah hari biasa. Matahari tidak terlalu terik, langit tidak terlalu mendung. Aruna berjalan menyusuri koridor kampus dengan langkah santai bersama Adam. Hari ini hari Kamis. Ini adalah hari di mana ia tidak bekerja paruh waktu di Perpustakaan Lentera. Ia berencana menghabiskan waktu siangnya dengan membaca di taman kampus dan membahas tugas writing bersama Adam, hingga suara langkah cepat membuatnya menoleh.
"Aruna! Adam!" Evan memanggil, nafasnya memburu.
Adam yang sedang berjalan menoleh, begitu pula Aruna. "Kenapa, Kak?"
Evan berhenti tepat di depan mereka. "Aku dapat kabar dari Pak Syafrizal kalau Mbak Tantri nggak masuk. Udah dua hari ini. Polisi tanya ke Ibu-nya, katanya dia juga nggak bisa dihubungi. Adiknya juga nggak tahu dia ke mana."
Aruna langsung merasa ada yang janggal. Ia dan Adam saling pandang.
"Ini... kejadian lagi," gumam Adam. "Seperti Tante Sandrina."
Tanpa banyak bicara, mereka bertiga sepakat untuk pergi ke Perpustakaan Lentera. Setiba di sana, suasana tampak berbeda. Tak ada tawa khas Mbak Tantri yang biasanya menyambut pengunjung dari balik meja resepsionis. Staff terlihat gelisah. Bisik-bisik mulai terdengar, membentuk kepanikan yang nyaris tidak terucapkan.
Mas Arga tampak tetap tenang. Ia berdiri di sisi rak, membantu Mas Rudi menyusun beberapa buku dengan ekspresi netral. Tapi justru ketenangan itulah yang membuat Aruna waspada. Dalam situasi seperti ini, siapa pun pasti menunjukkan sedikit kecemasan. Tapi tidak dengan Mas Arga. Tenangnya terlihat.... tidak natural.
Tidak lama kemudian, polisi datang. Mereka mulai mewawancarai para staff, satu per satu. Fokus utama kali ini bukan hanya tentang hilangnya Mbak Tantri, tapi juga tentang dugaan penggelapan dana yang sebelumnya telah mengguncang institusi ini.
"Kami ingin mewawancarai bagian IT lebih dalam," kata salah satu petugas.
Mas Nanda, Mas Hilman, dan Mas Arga dipanggil satu per satu. Mereka duduk di ruang baca yang dikosongkan untuk interogasi.
Aruna, Adam, dan Evan duduk tak jauh dari sana, mengamati dari kejauhan. Mata Aruna tidak bisa lepas dari Mas Arga. Pria itu menjawab semua pertanyaan dengan tenang, bahkan sesekali tersenyum tipis. Seolah semuanya hanya formalitas belaka. Aruna yakin Mas Arga terlibat dengan kasus ini. Entah itu penggelapan dana, atau pun kasus Tante Sandrina. Pria di CCTV itu... pasti Mas Arga. Aruna yakin.
Sore itu, hasil wawancara awal mengarah pada satu fakta mengejutkan. Server yang diretas ternyata tidak berada di kawasan perpustakaan. Lokasinya berada cukup jauh, di kota Duri. Tentu saja pelaku merupakan orang yang cerdas. Ia tidak akan meretas melalui server perpustakaan, karena di Perpustakaan Lentera sendiri jumlah komputernya tidak banyak, dan pasti akan langsung ketahuan siapa saja yang bisa mengakses komputer tersebut.
"Kami akan melakukan penyelidikan lanjutan di Duri. Ada alamat yang terhubung dengan aktivitas server itu," jelas seorang penyidik.
Keesokan harinya, kabar dari penyelidikan tiba. Di kota Duri, polisi menemukan sebuah kontrakan kecil yang terdaftar atas nama seorang pria bernama Azka, yang mengaku sebagai teman lama Mbak Tantri. Mereka dulunya satu sekolah di Kabupaten Bengkalis, sebelum Mbak Tantri dan ibu serta adiknya pindah ke Pekanbaru dan Azka pindah ke kota Duri untuk bekerja. Ia tampak kebingungan saat ditanya soal server dan penggelapan.
"Saya nggak ngerti sama sekali. Itu laptop saya, iya. Tapi yang pakai terakhir ya Tantri. Dia minjam katanya mau ngerjain sesuatu buat kerjaan." Azka menjelaskan bahwa Mbak Tantri pernah beberapa kali berkunjung ke kosnya dan meminjam laptop pria itu. Azka tidak meneliti apa sebenarnya yang dikerjakan Mbak Tantri karena menurutnya kalau soal pekerjaan, itu bukanlah hal yang menarik.
Keterangan itu mengarah pada dugaan baru. Bahwa pelaku peretasan adalah Mbak Tantri sendiri. Dan itu mengguncang banyak pihak.
"Tapi... kenapa Mbak Tantri?" tanya Evan lirih.
Aruna tak menjawab. Ia menggigit bibir bawahnya, pikirannya melayang pada beberapa percakapan terakhirnya dengan Tantri. Tentang sosok pria misterius. Tentang hoodie hitam. Tentang cara Tantri terlihat gugup saat topik tertentu muncul.
"Aku yakin... dia nggak kerja sendiri," kata Aruna pelan. "Dia disuruh seseorang."
Adam menatap Aruna. "Siapa?"
Aruna menggeleng. Tapi dalam hatinya, ia mulai menyusun kepingan puzzle. Sosok pria ber-hoodie. Tatapan Tantri yang berubah setiap kali bicara tentangnya. Sesuatu yang menakutkan, tapi juga membuatnya tidak berdaya.
***
Hari itu berakhir dengan perasaan yang tak tuntas. Kabar bahwa Mbak Tantri terlibat dalam kasus itu belum bisa diterima sepenuhnya. Aruna yakin, ada sesuatu yang lebih besar di balik ini semua.
Di rumah, suasana telah sedikit berubah. Mama Aruna mulai membuka diri, meski masih dalam batas-batas yang hati-hati. Di meja makan malam itu, Mama bertanya, "Tugas kuliahmu minggu ini gimana, Na?"
Aruna sedikit terkejut, tapi menjawab dengan senyum kecil. "Lancar, Ma."
Mama mengangguk pelan. Itu saja. Tapi itu cukup. Setidaknya, ada ruang yang mulai dibuka.
Malamnya, Aruna termenung di kamarnya. Ia membuka catatan kecil yang berisi nama-nama dan peristiwa penting. Ia menuliskan satu baris baru: "Tantri – Duri – Laptop – Pria ber-hoodie - Mas Arga."
Dan saat pagi menjelang, kabar terbaru mengejutkan semua pihak. Polisi datang kembali ke Perpustakaan Lentera. Tapi kali ini, mereka membawa surat penangkapan.
"Kami mencari Arga Pramana."
Semua mata tertuju pada Mas Arga. Pria itu menatap mereka dengan tenang, nyaris terlalu tenang.
"Atas tuduhan apa?" tanyanya.
"Keterlibatan dalam penggelapan dana dan kemungkinan pengaruh terhadap hilangnya salah satu staff."
Mas Arga berdiri, merapikan kemejanya, dan berjalan mengikuti polisi tanpa berkata sepatah kata pun. Tidak ada penolakan. Tidak ada pembelaan. Hanya diam yang terasa seperti kesaksian paling keras dari semuanya.
Aruna berdiri membeku. Di dalam hatinya, ia tahu ini belum akhir. Tapi setidaknya, satu langkah kecil menuju kebenaran telah dimulai.
Similar Tags

