Mas Arga kelihatan begitu tenang. Berbanding terbalik dengan itu, staff Perpustakaan Lentera terkejut bukan main.
Pak Syafrizal mengeluarkan surat tanda penangkapan dan menyerahkannya pada Bu Fitri selaku kepala Perpustakaan Lentera.
Bu Fitri menerima surat itu dengan wajah keruh. Beliau tampak lebih tua beberapa tahun dari umurnya yang sebenarnya dalam kurun waktu beberapa hari. Ia sudah tahu bahwa salah satu staff di bawah kepemimpinannya melakukan penyelewengan. Tapi, Mas Arga? Itu sama sekali tidak ada di dalam catatan orang yang dicurigai Bu Fitri.
Orang yang meretas server perpustakaan pastinya orang yang pintar dan paham soal komputer dan jaringan, oleh karena itu penyelidikan mengerucut pada staff IT perpustakaan. Walaupun Mbak Tantri juga terlibat, wanita muda itu masih ditetapkan sebagai saksi sebelum dalang sebenarnya ditemukan. Namun, Mbak Tantri menghilang sebelum fakta terlontar dari mulutnya. Lalu, siapa yang telah melaporkan Mas Arga?
***
Beberapa hari penangkapan...
Adam menemani mamanya mengantar kue ulang tahun untuk gadis manis bernama Zahra yang berulang tahun keenam. Kue itu diletakkan dengan hati-hati di kotak dengan atas yang bening, menampilkan kek cantik berhiaskan sesuatu dengan tema Frozen, dan miniatur Elsa yang berdiri di atasnya.
"Alamatnya di Jl. Kartama, Dam," kata Mama Adam. "Em... tepatnya di perumahan Magnolia, di samping Indomaret." Mama Adam membaca alamat yang dikirimkan melalui WhatsApp.
"Oke, Ma," kata Adam sambil mengikuti arahan Google Maps.
Sesampainya di depan gerbang perumahan, Adam dan Mama meminta izin pada Satpam dan pria itu menunjuk salah satu rumah yang berada di dekat pengkolan.
"Bu Asri, ya? Oh, istrinya Mas Arga ini," gumam si Satpam pelan dan menunjukkan rumahnya. Adam terkejut. Apakah ini Mas Arga yang sama dengan Mas Arga yang ia dan Aruna curigai?
"Maaf, Mas. Maksud Mas, ini Mas Arga yang kerja di Perpustakaan Lentera bukan, ya?" tanya Adam penasaran.
Si Satpam dengan nama Eko tersebut menjawab dengan ramah. "Iya, Mas. Mas Arga yang kerja di Perpustakaan Lentera. Mas nya kenal?"
Adam sontak terkejut, tapi cepat-cepat menutupinya. "Oh. Nggak, kok, Mas. Cuma pernah lihat di Perpustakaan Lentera."
"Anak saya ini betah di perpustakaan. Sering ngerjain tugas kuliah di sana juga," timpal Mama Adam.
Pak Eko mengangguk kecil. Adam dan mamanya pamit untuk segera mengantarkan kue ulang tahun tersebut.
Rumah Mas Arga sebenarnya rumah tipe 36 yang standar khas perumahan. Tapi, rumahnya bertingkat dan pagar rumahnya terlihat lebih mahal daripada rumah-rumah lain, dekorasinya juga terlalu ramai, membuat rumah Mas Arga kelihatan lebih mencolok. Namun, dalam artian yang kurang baik alias norak.
Pagar rumah Mas Arga tertutup. Ada satu tombol yang sepertinya adalah tombol bel dan Mama Adam menekan tombol tersebut. Agak lama mereka menunggu sampai seorang wanita membukakan pintu pagar.
"Maaf, tadi saya lagi di belakang," kata wanita itu. Rambutnya sebahu, tampak tidak terawat dan hanya diikat di bawah secara asal-asalan. Terlihat helai-helai rambut berwarna putih di bagian sebelah kanan kepala wanita itu. Usianya mungkin di atas empat puluh tahun. Atau mungkin awal empat puluhan tapi wajahnya terlihat lebih tua. Wajahnya mungkin tidak menarik perhatian, tapi matanya menggambarkan ketegaran dalam menghadapi kerasnya hidup. Mata wanita itu tampak ragu-ragu.
"Nggak apa-apa, Mbak," kata Mama Adam ramah. Adam ikut tersenyum.
Melihat Mama Adam yang memegang kotak kue, wanita itu bertanya, "Dari... Ethe.. aduh, gimana bacanya ya? Ethereal Bakery, ya?" tanya wanita itu masih dengan pengucapan yang salah.
"Iya, Mbak," Mama Adam tersenyum.
"Masuk, masuk," tawar wanita itu. "Maaf berantakan. Ada banyak anak dan ponakan di sini," kata wanita itu sambil menyingkirkan kuda-kudaan di depan teras rumah. Garasi mereka tampak kosong. Tidak ada mobil yang terparkir di sana.
Dekorasi di dalam rumah tampak lebih meriah lagi dengan banyaknya furnitur yang memakan tempat di rumah yang sempit. Anak-anak berlarian ke sana ke mari.
"Oh, saya belum memperkenalkan diri. Saya Asri." Bu Asri mengulurkan tangan. Mama Adam menjabat tangan wanita tersebut sementara Adam mencium tangan wanita itu dengan sopan.
"Wah, kuenya bagus banget," puji Bu Asri. "Pasti Zahra senang banget."
"Apa pesta ulang tahunnya udah selesai, Mbak?" tanya Mama Adam.
"Oh, belum. Nanti sore, Mbak. Ini saya sama adik-adik saya menyiapkan makanan dan minuman untuk sore nanti."
Setelah mengobrol selama beberapa saat, Bu Asri membayar kue ulang tahun Zahra, dan bahkan membungkus dua porsi bakso untuk Adam dan mamanya.
Adam yang sedari tadi lebih banyak diam, mencari-cari apakah ada tanda-tanda Mas Arga sedang berada di rumah. Atau, apakah ini memang benar rumah Mas Arga. Adam ingin memastikan. Melihat foto keluarga yang berada di ruang keluarga, Adam tahu bahwa ini benar rumah Mas Arga. Ia memang jarang melihat Mas Arga di Perpustakaan Lentera, tetapi pernah sesekali melihat pria itu di parkiran.
Melihat perawakan Mas Arga yang tampan, Adam sedikit terkejut karena istri pria itu adalah wanita yang berpenampilan sederhana.
Ponsel Bu Asri berdering, Adam bisa melihat sekilas nama 'Papa Zahra' di layar.
Bu Asri melipir sedikit ke sudut ruang makan. "Iya, Pa. Iya. Ini kuenya udah sampai, kok.'' Entah mengapa, Adam mendapatkan kesan kalau Bu Asri... tampak takut dengan suaminya sendiri. Bahkan raut wajah cemas terlukis jelas di wajah wanita itu.
Setelah pamit dari rumah Bu Asri, di dalam mobil, Adam menceritakan semuanya pada mamanya.
Mama Adam terkejut dan melirik ke arah rumah di sampingnya itu. "Kamu yakin suaminya yang ada di rekaman CCTV itu?" tanya Mama Adam.
Adam lalu menjelaskan bahwa pria itu entah kenapa cukup lalai dan membiarkan dagunya terlihat sedikit. Untuk cara berjalan yang sesuai di rekaman CCTV, Adam tidak sengaja melihat cara berjalan Mas Arga yang mirip sekali dengan pria ber-hoodie di rekaman CCTV itu. Hanya sebentar, mungkin sekian detik, tapi menunjukkan cara berjalan yang sama persis. Mungkin Mas Arga tiba-tiba sadar, dan pria itu kembali berjalan seperti biasa.
"Dari dagunya, mirip banget, Ma. Fitur wajah Mas Arga itu cukup unik dan sedikit berbeda dari kebanyakan pria Indonesia."
"Terus sekarang kamu mau apa, Dam? Jangan aneh-aneh. Mama hafal betul kalau kamu pasti pengen melakukan sesuatu," kata Mama Adam khawatir.
Adam mengangguk kecil. "Adam mau tanya ke istrinya, Ma. Bu Asri bersaksi kalau suaminya ada di rumah dalam rentang waktu Tante Sandrina meninggal. Tapi, kayak yang kita lihat tadi, Bu Asri kelihatan ketakutan bahkan itu cuma telepon dari Mas Arga."
Mama Adam berpikir sebentar. "Itu acara ulang tahun anaknya, Adam. Jangan pernah berpikir untuk membuat Bu Asri nggak menikmati hari lahir anaknya dengan kamu membeberkan apa pun itu."
Adam terdiam. Ia tidak mau menjadi perusak suasana. "Tapi, istrinya berhak tahu kalau suaminya bukanlah orang yang baik. Apalagi kali ini Mbak Tantri juga dilibatkan. Jangan sampai ada kasus Tante Sandrina yang terulang lagi, Ma. Cukup Adam aja yang merasa bersalah empat tahun yang lalu."
Mamanya setuju soal itu. Tapi, beliau menyarankan agar Adam menceritakan pada Bu Asri saat Mas Arga atau anak mereka sedang tidak berada di rumah. Keesokan harinya, Adam menelepon Bu Asri dan berkata ada sedikit hadiah untuk Zahra dan anak bungsunya. Adam membawakan cookies choco chip.
"Aduh, makasih banget," sahut Bu Asri.
Hari itu Selasa pagi. Anak-anak Bu Asri dan Mas Arga sedang bersekolah. Dan Mas Arga sudah berangkat ke Perpustakaan Lentera.
"Begini, Bu," Adam membuka cerita. Lalu, Adam pelan-pelan menceritakan semuanya. Rekaman CCTV, dirinya dan Aruna yang terkunci, surat ancaman, penggelapan dana, serta kasus Tante Sandrina empat tahun yang lalu. Kini, ada wanita muda lain yang terancam: Mbak Tantri.
Bu Asri menatap kosong ke arah foto keluarga mereka dan mulai terisak. "Ternyata, benar dugaan saya selama ini."
Wanita itu menangis tersedu-sedu. Ia mengatakan bahwa penggelapan dana itu juga mungkin ulah suaminya. Mas Arga mengikuti investasi saham dan merugi. Tetapi, tiba-tiba belakangan pria itu bisa membayar utangnya pada bank. Bu Asri heran, tapi tidak berani bertanya.
"Dan... saya takut setengah mati. Berita waktu sisa jasad wanita itu ditemukan. Ketika namanya disebut, saya langsung ingat. Itu wanita yang sempat menjalin hubungan mesra dengan suami saya." Bu Asri menangis sesenggukan.
"Saya tahu saya tidak cantik. Kami menikah juga karena dijodohkan. Tapi, saya berusaha keras agar Mas Arga mau menerima saya. Ternyata ia masih sering pacaran di luar," tangis Bu Asri, hati Adam seperti diiris. Bu Asri sepertinya adalah wanita baik yang mampu mengurus rumah tangga. Lalu, apa kurangnya? Kenapa Mas Arga masih juga mencari kenyamanan dari wanita lain? Apakah cinta hanya didasari dari fisik saja?
"Sandrina itu memang selingkuhan suami saya. Pernah saya pergoki saat mereka saling chat. Kami ribut tapi Mas Arga mengancam akan membunuh saya dan anak-anak. Saya takut. Jadinya saya diam aja. Saat polisi datang kemarin saya juga bersaksi bahwa Mas Arga ada di rumah. Tapi itu semua bohong. Tanggal 16 Januari tahun 2020, suami saya baru pulang di jam tiga pagi."
Bu Asri membeberkan semuanya. Mas Arga pulang jam tiga pagi. Bu Asri yang takut, pura-pura tidur. Paginya, Mas Arga mencuci mobil di depan rumah dan menyapa tetangga mereka. Namun, Bu Asri menemukan pakaian suaminya semalam sedang direndam menggunakan cairan pemutih yang sangat banyak–sampai menyengat baunya. Sepatu yang suaminya kenakan semalam, tidak ada di mana pun.
"Sepatunya," sahut Bu Asri. "Kalau sepatunya ada, mungkin bisa jadi barang bukti. Pasti ada apa-apanya."
Setelah itu, Adam pamit. Tapi, ia menyarankan agar Bu Asri dan anak-anak segera meminta pertolongan jika dirasa kalau Mas Arga mampu melakukan hal-hal yang keji.
"Menjauh sesegera mungkin, Bu. Utamakan keselamatan anak-anak Ibu dan Ibu sendiri," kata Adam. "Dan, saya harap Ibu mau lapor pada polisi tentang suami Ibu. Karena, ada sebuah keluarga yang sedang berduka dan menanti keadilan," ujar Adam pelan.
Perkataan Adam terus terngiang di pikiran Bu Asri. Wanita itu bangun di sebelah suaminya dan merasa kosong. Penyemangatnya, hanyalah kedua putrinya yang manis. Mas Arga selalu memperlakukan Bu Asri dengan dingin, terlebih jika di belakang hadapan anak-anak mereka. Sekitar jam sepuluh pagi di hari Sabtu, saat anak-anaknya tengah bermain di taman, Bu Asri ingat gudang penyimpanan perkakas. Pagi ketika Sandrina menghilang, suaminya berada cukup lama di dalam gudang kecil itu sebelum akhirnya mencuci mobil. Bu Asri masuk ke gudang itu dan menggeledah isinya. Tidak ada yang mencurigakan, sampai matanya yang kelihatan lelah menangkap retakan di keramik. Ia buka keramik itu. Ada kotak di dalamnya. Isinya, sepatu suaminya yang ia cari-cari selama ini.
Similar Tags

