Pagi itu, matahari menembus jendela ruang makan keluarga Aruna dengan lembut. Dinding-dinding yang dulu seolah membisu kini mulai mencair, pelan-pelan, dengan suara sendok bertemu piring dan langkah kaki di lantai kayu. Tidak ada pembicaraan besar. Tidak ada pelukan dramatis. Tapi untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, Mama duduk di meja makan. Bersama Papa dan Aruna.
Aruna duduk agak kaku, menahan nafas. Ia tidak tahu harus berkata apa. Mama hanya memandang piringnya, sesekali menyeruput teh. Papa memecah kesunyian dengan sapaan ringan, menanyakan apakah mereka ingin menonton film bersama nanti malam, dan akan mengajak kakak Aruna juga. Tidak ada jawaban langsung. Tapi saat Mama menjawab, "Lihat nanti," dengan nada netral, Aruna tahu: itu kemajuan.
Hari-hari berikutnya, suasana mulai melunak. Makan malam jadi rutinitas baru yang... belum sepenuhnya nyaman, tapi juga tidak menyakitkan. Mama tak lagi membuang muka setiap kali Aruna masuk ruangan. Bahkan, pernah sekali, ia menambahkan lauk ke piring Aruna. Hening, tanpa kata. Tapi tindakan kecil itu cukup untuk membuat hati Aruna panas dingin.
***
Sementara itu, di Perpustakaan Lentera, penyelidikan terus berlanjut. Polisi bolak-balik datang, mewawancarai staff satu per satu. Alibi empat tahun lalu–siapa bisa mengingatnya dengan jelas? Seringkali pikiran manusia mengabur seiring berjalannya waktu. Tapi tetap, investigasi harus berjalan.
Dua staff pria dan satu wanita jadi sorotan. Alibi mereka kabur, tidak bisa dibuktikan dengan kuat. Mas Arga? Aman. Istrinya memberi kesaksian yang solid bahwa ia berada di rumah selama rentang waktu hilangnya Tante Sandrina. Bahkan tetangga depan rumah sempat melihatnya sedang mencuci mobil pagi-pagi.
Namun begitu, satu per satu nama yang tadinya sempat dicurigai, perlahan tereliminasi. Polisi menyatakan tidak ada cukup bukti untuk mengaitkan mereka dengan hilangnya Tante Sandrina maupun penggelapan dana.
***
Di tengah semua itu, satu hal mulai menarik perhatian Aruna. Mbak Tantri.
Wanita muda itu tidak lagi setenang biasanya. Tangannya gemetar saat menyalin data, matanya kerap menoleh ke belakang seolah-olah sedang diawasi, ia tidak seceria dulu saat menyambut pengunjung. Sekali waktu, saat Aruna membuka pintu ruang staff, Mbak Tantri tersentak dan hampir menjatuhkan map berisi laporan harian pengunjung.
"Maaf, Na! Aku kira... bukan kamu," katanya sambil tersenyum gugup.
Aruna diam-diam menceritakan kekhawatirannya pada Bu Fitri, kepala Perpustakaan Lentera yang dikenal bijak dan perhatian. Namun, Bu Fitri tidak bisa berkomentar banyak karena beliau juga sama tidak tahunya seperti Aruna.
Sementara itu, di jam makan siang, Aruna melihat Bu Fakhira yang makan sendirian di kantin. Iseng, Aruna membawa tas bekalnya dan duduk di seberang Bu Fakhira.
"Saya ikut duduk sama Ibu. Nggak apa-apa kan Bu?" tanya Aruna sopan.
Wajah Bu Fakhira semringah dan ia mengangguk. Dari dulu, setahu Aruna, para staff akan berusaha untuk memimimalisir interaksi mereka dengan Bu Fakhira karena reputasi wanita lima puluh tahunan tersebut yang suka bergosip. Tidak ada yang mau menjadi bahan gosip Bu Fakhira, atau mendengar beliau yang menceritakan orang lain dengan heboh. Tapi, hari ini, Aruna ingin dengar gosip apa saja. Barangkali bisa menjadi informasi yang Aruna, Adam, dan Evan lewatkan. Dan dari beliaulah Aruna mendengar kabar mengejutkan.
"Tantri sudah putus dari pacarnya, lho," ujar Bu Fakhira sambil menyuap nasi uduk ke mulutnya yang dipoles lipstik berwarna merah menyala.
"Putus?" Aruna menoleh cepat. "Pacarnya yang pernah jemput Mbak Tantri dulu, Bu?" Aruna dan staff lain pernah melihat Mbak Tantri dijemput beberapa kali.
Bu Fakhira mengangguk pelan. "Iya, yang itu. Kalau kata anak muda sekarang, yang toxic itu, lho."
Beliau menambahkan. "Baru beberapa minggu lalu. Tapi dia nggak cerita ke siapa-siapa. Ibu rasa, dia masih takut."
Aruna tercekat. Ia merasa bersalah karena selama ini tidak peka. Ia dan Mbak Tantri cukup dekat. Sangat dekat, malah. Aruna bisa cerita apa saja ke Mbak Tantri, soal mimpinya bahkan Adam yang mengganggunya di kampus. Mereka sering makan siang bersama, saling curhat soal atasan yang menyebalkan atau bercanda soal pengunjung perpustakaan yang aneh-aneh. Tapi rupanya, di balik senyuman Mbak Tantri, ada beban berat yang tidak pernah ia bagi. Aruna sedikit sedih. Ternyata, hubungan persahabatan yang ia anggap, tidak sedekat itu. Masih ada jurang pembatas di antara Aruna dan Mbak Tantri.
***
Masalah keuangan di perpustakaan semakin runyam. Dana yang hilang bukan jumlah kecil. Bahkan operasional harian mulai terganggu. Bu Fitri, kepala perpustakaan, sudah meminta Mbak Tantri menjelaskan soal laporan keuangan yang ia bocorkan. Tapi Mbak Tantri selalu mengelak.
"Saya... masih coba kumpulkan data lama, Bu," katanya waktu itu. Tapi sorot matanya menunjukkan lebih dari sekadar kesulitan administratif. Ia tampak... ketakutan.
Bu Fitri mendesak agar Mbak Tantri segera memberitahukan staff Perpustakaan Lentera yang berkhianat dan merugikan perpustakaan. Namun, Mbak Tantri menolak.
"Saya mohon, Bu. Orang itu mengancam akan membunuh Ibu saya." Mbak Tantri memohon sambil menangis. Aruna yang memang sengaja menguping, merasa lemas mendengar hal itu. Ibu dari Mbak Tantri sudah tua dan tinggal berdua saja dengan adiknya yang paling kecil. Dan orang itu, pria itu, mengancam Mbak Tantri? Aruna sangat geram.
"Kalau begitu, bukannya lebih baik kalau kamu beritahu saja siapa orang itu ke polisi? Mereka bisa melindungi kamu."
Mbak Tantri cepat-cepat menggeleng. "Saya udah bicara sama dia. Sebentar lagi, Bu. Sebentar lagi, dan akan saya beritahu siapa orangnya."
Tapi, apakah pria itu bisa dipercaya? Apa benar Mbak Tantri dan keluarganya bisa aman?
***
Dalam segala kepenatan dan kekacauan itu, Aruna menerima pesan dari Adam: 'Minggu sore, kamu kosong? Aku mau cerita soal hari terakhirku di Pekanbaru empat tahun lalu.'
Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil di pinggir kota. Tempatnya hangat dan sepi. Hanya ada suara musik akustik dan aroma kayu manis.
Adam datang lebih dulu. Ia tampak tenang, tapi dari cara ia menggenggam gelas kopinya, Aruna tahu ia sedang menahan sesuatu.
"Aku masih ingat hari itu," Adam memulai pelan. "Papa tiba-tiba kena serangan jantung. Kami harus segera ke luar kota buat pengobatan. Aku... panik. Semua terasa kabur."
Aruna mendengarkan dengan saksama. Adam jarang bercerita soal keluarganya. Memang ia pernah bercerita tentang hal ini beberapa bulan yang lalu. Tapi, kali ini sepertinya Adam lebih berat untuk menceritakan segalanya.
"Waktu itu, aku sempat turun di rest area, mau beli air. Nggak jauh dari sana ada toko kelontong. Tokonya kecil. Di situlah aku lihat Tante Sandrina. Dia berjalan dari toko kelontong di dekat sana. Bersama seorang pria. Tapi... aku nggak yakin siapa. Pria itu pakai topi, masker, dan jaket kebesaran. Tapi... entah kenapa, aku merasa aku pernah lihat postur itu sebelumnya."
"Mas Arga?" tanya Aruna.
Adam menggeleng. "Aku nggak yakin. Mungkin iya, mungkin bukan. Aku juga nggak sempat lihat lama. Aku sibuk banget waktu itu, nyari dokter, bantu Mama... Papa meninggal beberapa hari kemudian."
Aruna menggenggam tangan Adam di atas meja. Ia bisa merasakan luka lama yang masih hidup di balik nada tenang Adam.
"Tapi surat-surat dari kamu... itu yang bikin aku bertahan. Aku bawa semuanya ke rumah sakit. Kadang aku baca pas Mama tidur di kursi sebelah. Rasanya kayak ada kamu di sana."
Air mata Aruna menetes diam-diam. Bukan karena kesedihan, tapi karena pengertian. Karena cinta yang diam-diam bertahan di balik jarak dan waktu.
"Aku juga baca ulang surat-surat kita," bisik Aruna. "Rasanya... kayak ngobrol sama dirimu yang dulu. Tapi yang sekarang juga masih kamu. Dan aku masih suka, sekarang maupun dulu."
Mereka tersenyum. Diam-diam, mereka saling tahu: hari-hari ke depan masih panjang, masih banyak yang belum terjawab. Tapi mereka punya satu sama lain.
***
Saat Aruna pulang malam itu, Mama menyapanya dari ruang tamu. "Udah makan?"
Aruna mengangguk. "Udah, Ma. Tadi sama Adam."
Mama tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. Tapi kemudian ia berkata, "Besok Papa mau masak sop iga. Kamu bantu belanja, ya?"
Aruna tersenyum. "Iya, Ma."
Dalam hati, ia tahu: perlahan, segalanya mulai pulih. Tidak seketika. Tidak sempurna. Tapi seperti lagu yang kembali diputar setelah lama terdiam—dengan nada pelan, namun penuh makna.
Dan besok, mereka akan menyambut pagi lagi. Dengan harapan baru.
Similar Tags

