Pelan-pelan, hubungan Aruna dan Mamanya mulai mencair.
Awalnya, Aruna hanya duduk diam di ruang tunggu klinik saat Mama masuk ke ruangan psikiater. Tidak ada pembicaraan, hanya suara AC dan denting jam dinding yang menemani mereka berdua. Mama masih enggan mengajak Aruna berbicara, seolah dinding di antara mereka terlalu tinggi untuk diruntuhkan.
Tapi lama-kelamaan, kebekuan itu mulai mencair. Suatu siang setelah sesi konsultasi, Mama menghampiri Aruna di kantin rumah sakit. Ia memesan teh manis dan duduk tanpa banyak kata. Lalu, tiba-tiba saja ia berkata pelan, "Dulu Mama juga suka baca buku. Tapi waktu kamu masih kecil, semua waktu Mama habis untuk berobat."
Aruna hanya menatapnya.
"Maaf ya, Na," lanjut Mama, menunduk. "Mama bukan orang yang sabar."
Hati Aruna terasa sesak, tapi juga lega. Untuk pertama kalinya, ada pengakuan. Ia tahu proses memaafkan tidak mudah, tapi setidaknya, ini adalah langkah pertama. Mereka tidak lagi berhadapan sebagai musuh, tapi sebagai dua perempuan yang sama-sama lelah, sama-sama belajar. Aruna tahu pasti sangat sulit bagi Mama untuk berhadapan dengan penyakitnya.
***
Sementara itu, di kampus, Aruna beberapa kali bertemu Evan. Hubungan mereka sudah tidak serumit dulu. Ada jarak yang sehat, tapi tetap hangat. Evan tahu bahwa Aruna dan Adam kini semakin dekat. Ia tidak menanyakan secara langsung, tapi sorot matanya cukup berkata banyak.
"Aku senang kamu punya seseorang yang baik," kata Evan pada suatu sore saat mereka duduk di gazebo taman kampus. "Aku tahu kamu dan Adam nggak selalu sependapat, tapi dia peduli banget sama kamu, Na. Aku, dan semua orang bisa melihat itu."
Aruna tersenyum, sedikit kikuk. "Makasih ya, Kak."
Evan lalu membuka tasnya dan menyerahkan sebuah kardus kecil. "Ini... beberapa buku milik Tante Sandrina. Disimpan di rumahku. Aku pikir kamu mungkin mau punya."
Aruna membukanya. Beberapa judul sudah ia kenal–buku sastra, buku jurnal, dan satu buku yang pernah dibahas Tante Sandrina di sela-sela percakapannya dengan Aruna: Anne of Avonlea. Buku kedua dalam seri Anne of Green Gables. Buku favorit Aruna, yang juga merupakan favorit Tante Sandrina. Aruna mengelus sampul buku tersebut dengan sayang.
"Dan... soal kasus itu," lanjut Evan pelan, "Mas Hilman pernah cerita. Katanya Mbak Tantri juga bisa akses CCTV. Mereka sering bareng-bareng ngerjain sistem waktu awal-awal Lentera berdiri." Informasi ini Evan dapatkan dari Pak Syafrizal, salah satu polisi yang menyelidiki kasus Tante Sandrina.
Aruna mengangguk, menyimpan informasi itu baik-baik.
***
Di Perpustakaan Lentera, suasana mendadak berubah tegang ketika Bu Fitri mengumumkan akan mengadakan rapat internal bersama staff keuangan. Ada dugaan penggelapan dana yang akhirnya terbukti setelah seseorang mengirimkan bukti-bukti via email secara anonim.
Namun, yang mengejutkan, pengirim bukti itu adalah Mbak Tantri sendiri.
"Tantri yang mengaku sama Ibu kalau dialah si pengirim anonim itu," kata Bu Fitri yang waktu itu memanggil Aruna ke ruangannya. "Seperti yang kamu tahu, Aruna, staff keuangan memang melakukan pembukuan. Tapi, semua proses pembukuan itu terkait pada sistem yang. Tantri menyertakan bukti soal server dan lain-lain."
Aruna tidak menyangka. Mbak Tantri itu selalu ceria, selalu profesional. Tapi tampaknya, ada alasan kenapa ia memilih membuka semuanya–mungkin rasa bersalah, atau rasa ingin melindungi yang lebih besar. Identitasnya tetap dirahasiakan oleh Bu Fitri demi keselamatannya.
Tapi yang jelas, ini berarti ada satu simpul baru dalam benang kusut yang coba diurai Aruna.
"Tapi, kenapa Ibu ngasih tau Aruna informasi ini, Bu?" tanya Aruna pada Bu Fitri.
"Tantri sendiri yang minta. Katanya, karena kamu, ia ingin melakukan hal yang benar. Sekali saja," kata Bu Fitri sedih.
***
Sore itu, Aruna dan Evan kembali menyisir area perpustakaan. Kali ini, tanpa Adam. Adam sendiri tidak bisa ikut bersama mereka karena harus mengantar mamanya berbelanja bahan kue.
"Jangan genit-genit sama Kak Evan," kata Adam dengan wajah tertekuk di video call malam sebelumnya.
Aruna tertawa kecil. Lucu melihat Adam yang cemburu. "Apa aku genit aja, ya, ke Kak Evan?"
"Na," sahut Adam setengah merengek.
"Iya, ih. Lagian ini demi kepentingan bersama. Biar si pria hoodie bisa ditemukan lebih cepat."
"Iya, iya," kata Adam mengerti
Kembali ke Perpustakaan Lentera, Aruna dan Evan memperhatikan para staff. Evan yang merupakan pengunjung memperhatikan staff yang bisa ia lihat dari tempat ia duduk. Sedangkan Aruna sesekali ke ruangan staff untuk memperhatikan yang lain. Mereka memperhatikan cara berjalan tiap staff, mencoba mencocokkan dengan video CCTV si pria ber-hoodie.
"Menurutmu, Mas Nanda?" tanya Evan.
"Kekar sih iya. Tapi posturnya beda. Gerakannya lebih kaku dari yang di video."
Mereka mencoret satu per satu dari daftar yang mereka buat, sampai akhirnya Aruna masuk ke ruang karyawan dan bertemu dengan Mas Arga.
Selama ini, Mas Arga adalah sosok ramah yang jarang menonjol. Ia bertugas di bagian IT, sering terlihat di ruang server atau membantu saat sistem error. Seperti kebanyakan staff IT, Mas Arga lebih banyak berurusan dengan sistem aplikasi perpustakaan digital ketimbang terlihat di ruang baca. Aruna tak pernah curiga padanya.
"Aruna, ya? Nambah seru ya, kerja di Lentera belakangan ini," ujar Mas Arga sambil tertawa kecil. "Maaf ya, bukan nyinyir. Aku cuma... kasihan juga sama kalian yang harus terlibat."
"Nggak apa-apa, Mas," balas Aruna, lalu memperhatikan wajah Mas Arga dengan saksama.
Dagu itu. Ada garis yang familier. Ia teringat pada siluet pria hoodie dari video CCTV.
Tapi... cara jalannya berbeda.
"Dia bisa saja mengubah cara jalannya," batin Aruna.
Malamnya, Aruna membuka laptopnya dan mulai mencari informasi lebih lanjut. Lewat beberapa arsip internal yang bisa diakses, ia menemukan profil singkat Mas Arga: usia 38 tahun, sudah menikah, memiliki dua anak. Namun, satu detail membuatnya terdiam–empat tahun lalu, saat pria itu berusia 34, Mas Arga sudah memiliki satu anak. Tepat seperti deskripsi pacar Tante Sandrina yang pernah diceritakan Bu Desi.
Mas Arga adalah pria yang bisa Aruna kategorikan sebagai pria yang menarik. Tubuhnya tidak terlalu kekar, tapi atletis. Rambutnya dipangkas rapi dan wajahnya tampan. Bukan tampan seperti aktor Hollywood, tapi jelas para wanita akan menoleh untuk melihat Mas Arga.
Jantung Aruna berdetak lebih cepat.
Besoknya, Aruna menyampaikan temuannya pada Evan dan Adam di lantai dua perpustakaan.
"Jadi, kamu curiga Mas Arga?" tanya Evan, pelan.
"Masih dugaan. Tapi usianya pas. Dagu dan bentuk tubuh juga mirip. Dan... dia cukup dekat dengan sistem IT di sini."
Evan mengangguk, menatap jendela. "Kalau memang benar dia, kenapa harus sembunyi? Kenapa nggak langsung menghilang saja sejak kasus Tante Sandrina terungkap?"
"Mungkin... karena dia masih merasa punya kendali. Atau... masih punya sesuatu yang ingin disembunyikan," kata Adam.
Mereka terdiam. Dunia orang dewasa, seperti yang pernah dikatakan Mbak Tantri, memang tak pernah bersih sepenuhnya.
***
Sementara itu, Mama Aruna perlahan mulai menunjukkan kemajuan. Beliau tidak lagi mudah marah. Wajahnya masih sering kosong, tapi ada upaya untuk mendekat. Kadang-kadang, ia memanggil Aruna ke dapur hanya untuk bertanya, "Kamu suka masakan ini, nggak?"
Aruna mengangguk, mengunyah pelan, dan mencoba membalas, "Enak, Ma. Bisa ajarin aku masak kayak gini?" Bagi Aruna, Mama yang sering memasak saja sudah menjadi kemajuan, karena biasanya, Aruna yang sehari-hari ditugaskan untuk memasak.
Pertanyaan itu sederhana, tapi membuat Mama terdiam cukup lama sebelum akhirnya tersenyum tipis.
Di kamarnya malam itu, Aruna menatap langit-langit. Hubungan yang rusak bisa diperbaiki. Tapi hanya jika kedua pihak mau berjalan pelan-pelan, sambil saling menunggu.
Ia memegang handphone-nya. Sebuah pesan dari Adam masuk:
"Hari ini capek ya? Kalau butuh teman, aku bisa dengerin. Nggak harus cerita sekarang. Tapi aku di sini."
Aruna tersenyum. Dunia boleh penuh teka-teki, tapi ia tahu: gadis itu tidak lagi sendiri dalam menghadapinya.
Similar Tags

