Aruna berjalan menyusuri gedung FKIP dengan lesu. Matanya sembap, akibat menangis sampai jam tiga pagi semalam. Saat ia berkaca pagi ini, tampilannya tampak mengerikan. Syukurlah mamanya pergi ke pasar dengan tetangga sebelah. Jika tidak, Aruna pasti akan dimarahi lagi setelah kejadian semalam.
Semalam, setelah puas merusak tablet Aruna, mamanya meninggalkan gadis itu. Di jam makan malam, sang mama memaksa Aruna makan. Di situ juga beliau memaksa Aruna untuk menyerahkan handphone agar bisa dicek.
"Hmm, bagus. Udah nggak ada lagi akses untuk menulis cerita. Handphone kamu akan Mama cek secara berkala. Jangan sampai ada file atau aplikasi yang bisa kamu pakai untuk menulis," ancam sang mama.
Aruna menunduk, menatap piring di hadapannya dengan tatapan kosong. "Memangnya segitu salahnya kalau Aruna mau jadi penulis, Ma?" tanyanya pelan, nyaris berbisik.
"Penulis itu nggak punya masa depan, Aruna. Kamu boleh baca buku sebanyak-banyaknya, tapi menjadi penulis? Itu nggak bisa menjamin hidup kamu. Kamu tahu kan berapa royalti penulis?
Tentu saja Aruna tahu. Tapi, apakah semuanya harus dikaitkan dengan uang? Bagaimana dengan rasa bahagia yang ia dapatkan setelah menyelesaikan ilustrasi bukunya? Itu tidak bisa dibeli dengan uang. Dan Aruna tahu bahwa mungkin menjadi penulis tidak bisa menghidupinya, tapi dia juga tidak menjadikan penulis sebagai mata pencaharian utamanya. Aruna mencoba menjelaskan pada mamanya, tapi seperti biasa, selalu dibantah.
"Kamu nggak mau jadi dokter kayak kakak kamu. Lalu mama bolehkan kamu mengambil jurusan lain. Jurusan pendidikan. Supaya kamu bisa jadi PNS dan hidup kamu sejahtera. Kurang baik apa Mama, Na?" Suara mamanya meninggi.
Hati Aruna terasa perih, seperti diiris. Semua selalu dibandingkan dengan kakaknya. Jika tidak, Aruna harus menjadi PNS seperti sang papa, agar tidak mempermalukan keluarga. Aruna menuruti, dengan harapan bahwa jika ia menuruti mamanya, hati mamanya lama kelamaan bisa luluh dan memperbolehkan Aruna untuk menulis di sela-sela dirinya belajar menjadi guru yang baik. Tapi, sepertinya harapan itu hanya sekedar harapan. Mamanya tidak akan pernah puas. Tidak akan pernah membiarkan Aruna memilih. Aruna bertanya-tanya tentang kehidupannya ini. Bagaimana dengan kebahagiaan gadis itu sendiri? Ini hidupnya, kenapa ia tidak bisa memilih jalan hidupnya?
Bulir bening jatuh ke pipi Aruna. Kesadaran menampar pipinya. Aruna tidak akan pernah bisa memiliki hidupnya sendiri. Seumur hidup, ia akan selalu dibayang-bayangi oleh mamanya dan beliau yang membanding-bandingkan Aruna dengan si kakak.
Mimpinya akan diatur. Teman-temannya diseleksi. Pacar yang akan menjadi suaminya akan dipilihkan. Seumur hidup Aruna akan menjadi boneka mamanya; yang dikendalikan menggunakan tali tak kasatmata dengan dalih 'orang tua selalu benar'. Aruna bergidik ngeri.
Walaupun tak sanggup menelan makan malamnya, mamanya akan tetap memaksa. Jadi, Aruna tetap berusaha menelan ayam goreng, nasi, dan sayur asem yang dimasak mamanya. Rasanya seperti menelan gumpalan batu yang menyakiti tenggorokannya. Di seberangnya, mama Aruna menikmati makan malamnya dengan tenang, tanpa rasa bersalah karena telah menghancurkan hidup putri bungsunya. Aruna bertanya di dalam hati bagaimana bisa seorang ibu bersikap dingin seperti itu.
Aruna harap, semua hal yang menyakitinya selama ini tidak menjadikan gadis itu manusia cyborg seperti mamanya.
***
Sebenarnya tidak ada kelas setiap hari Sabtu, dan biasanya Aruna akan segera bekerja di Perpustakaan Lentera mulai jam delapan pagi. Tapi, ada rapat organisasi hari ini, dan Aruna sudah absen terlalu lama dari kegiatan organisasi. Jadi, Aruna izin pada pihak perpustakaan dan ke kampus.
"Datang ya, Na. Kamu udah lama banget absen. Aku takut kamu dihapus dari sistem organisasi," kata Dea via pesan WhatsApp semalam yang tidak dibalas oleh Aruna. Melihat penampilan Aruna pagi ini, Dea langsung tahu bahwa ada yang salah. Aruna menceritakan semuanya secara singkat: mamanya dan larangan agar tidak lagi menulis, tabletnya yang rusak, Gilbert yang tak lagi membalas suratnya, dan bukunya yang ditolak oleh penerbit.
Dea langsung bersimpati dan memeluk sahabatnya itu. "Kamu udah bilang ke papa kamu, Na? Mama kamu keterlaluan. Masa gara-gara itu aja beliau tega sampai menampar kamu," ujar Dea sedih.
"Aku nggak bisa ngasih tau Papa, De. Kalau aku lakuin itu, Mama bakal marah besar," jawab Aruna sambil sesenggukan. Padahal, air matanya terus mengalir semalam. Ternyata masih ada sisa untuk ditumpahkan hari ini.
Dea tidak menjawab, hanya menatap Aruna dengan iba. Hubungan Aruna dan mamanya dari dulu memang buruk, tapi Dea tidak menyangka kalau mama Aruna bisa sampai main tangan. Dan Aruna baru bisa terbuka pada sahabatnya itu belum lama ini. Dea tidak bisa membayangkan derita yang Aruna alami selama ini. Akhirnya, Dea tetap menyarankan agar Aruna bisa memikirkan ulang sarannya untuk melaporkan hal ini pada papanya. Papa Aruna adalah Pegawai Negeri Sipil yang sering melakukan sidak ke luar kota, makanya beliau jarang berada di rumah dan tidak mengetahui bahwa selama ini putri bungsunya merana dengan istrinya sendiri. Aruna mengangguk, berjanji akan mempertimbangkan saran dari Dea.
Tidak lama, rapat akan segera dimulai. Aruna cepat-cepat menghapus air matanya dan ke toilet untuk mencuci muka dan memoles wajahnya dengan cushion agar tampak lebih presentable, sebelum memasuki kelas yang digunakan sebagai ruangan rapat organisasi.
Sialnya, organisasi juga diikuti oleh Adam. Aruna memasuki ruangan rapat dan memilih kursi yang jauh dari cowok tersebut. Beberapa hari ini gadis itu dan Adam merasa hubungan mereka sedikit canggung. Well, sebenarnya, Aruna-lah yang merasa canggung akan kehadiran Adam.
Tidak hanya dessert buatan Adam yang berbekas di hati Aruna, tapi sikap cowok itu juga. Selama ini Aruna hanya menganggap Adam sebagai cowok konyol yang selalu bersikap kompetitif dengannya, dan juga berisik. Tapi ternyata, Adam lebih dari itu. Ia pengertian, lembut, dan dewasa. Dan, Aruna merasa... alasannya menolak Evan bukan hanya sekedar tentang perasaannya pada Gilbert. Tetapi, ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara Aruna dan Adam.
Namun, anehnya, Aruna menganggap sikap Adam sedikit aneh belakangan ini. Dua hari yang lalu Adam bilang Bu Desi, teman Tante Sandrina akan melakukan video call hari ini. Tetapi, Adam terkesan pendiam soal itu, padahal biasanya Adam akan menyebut hal itu dan mencari bahan untuk mengganggu Aruna.
Aruna mengajak Dea untuk duduk di pojok sebelah kanan supaya tidak berdekatan plus tidak berhadapan dengan Adam. Tatapan Aruna dan Adam bertemu. Aruna segera menunduk sementara Adam tetap mempertahankan tatapannya kepada Aruna selama beberapa saat.
"Adam ngelihatin kamu, Na," bisik Dea di tengah-tengah rapat. Aruna sedikit mendongak dan mendapati manik cokelat Adam tengah menatapnya dalam-dalam, membuat Aruna bersemu. Aruna segera membuang pandangan ke papan tulis yang ada di ruang kelas.
Selepas rapat, Adam menyentuh bahu Aruna saat Aruna, Dea, dan Adam sudah berada di lorong. "Na, soal video call sama Bu Desi," Adam memulai, "Maaf banget tapi hari ini aku nggak bisa lama-lama keluar. Ada pesanan di bakery mamaku. Jadi mungkin aku baru bisa video call sore ini."
"Oh. Nggak apa-apa, Dam. Tapi, aku nggak bisa sore ini," kata Aruna kecewa, karena mamanya mulai membatasi gerak-gerik gadis itu. "Kalau kamu aja yang video call sama Bu Desi gimana? Nanti kasih tau aku aja kalian bicarain apa aja."
Adam tampak tak yakin tapi tetap mengangguk. "Boleh. Ada hal spesifik yang pengen kamu tanyain, Na?"
Aruna berpikir sebentar. "Nanti aku kirimin list pertanyaannya gimana?"
"Boleh," jawab Adam singkat. "Yaudah, aku duluan ya, Na, De," kata Adam pamit pada Aruna dan Dea.
"Aneh," komentar Dea setelah Adam berlalu. "Dia ngelihatin kamu tadi, Na, kayak ada yang mau dia sampaikan sama kamu. Eh, malah cepat-cepat pamit." Dea memiringkan kepalanya.
"Dia mau nyampaikan soal video call itu, kali," ujar Aruna datar.
Dea menggelengkan kepala. "Nggak. Kayak cowok yang mau ngasih tau sesuatu ke pacarnya, tapi takut pacarnya marah."
Aruna memutar bola mata. "Pacar apaan." Dea hanya terkekeh pelan. Padahal sahabat Aruna itu yakin Adam memiliki perasaan suka pada Aruna.
***
Aruna diminta oleh mamanya untuk langsung pulang ke rumah setelah rapat organisasi.
Setelah mengucapkan salam, Aruna masuk ke rumah dan menemukan mamanya tengah duduk di ruang keluarga, menonton siaran infotainment terbaru, tapi tampak tidak fokus. Mamanya tetap menjawab salam, tapi tidak benar-benar menonton siaran TV di hadapannya.
"Duduk, Na," perintah mamanya. Suaranya pelan, tetapi mengandung nada yang tidak dapat dibantah.
Aruna duduk di sofa yang berhadapan dengan mamanya. "Kenapa, Ma? Habis ini Aruna mau langsung siap-siap. Mau kerja di Perpustakaan Lentera."
"Mulai hari ini kamu nggak usah kerja paruh waktu lagi di Perpustakaan Lentera," putus sang mama.
Mata Aruna melebar. Keputusan mamanya jelas mengejutkannya. "Lho, memangnya kenapa, Ma?" tanya Aruna, masih berusaha mengatur nada suaranya agar tetap tenang.
"Kamu mama daftarkan ke pelatihan mengajar. Pelatihannya tiap weekend. Pelatihan ini lebih berguna buat kamu ketimbang kerja paruh waktu di perpustakaan," jelas mamanya datar.
"Tapi, Ma..."
"Udah, nggak ada tapi-tapi. Pelatihan ini selaras sama kuliah kamu. Segera kasih tau Bu Fitri kalau kamu mau mengundurkan diri dari sana," sahut sang Mama.
"Aruna baru aja dua bulan ini kerja di sana, Ma. Nggak bisa langsung resign gitu aja." Aruna membuat alasan.
"Bisa, kalau perlu nanti Mama yang ngabarin Bu Fitri," kata mamanya acuh tak acuh.
Tiba-tiba, seakan ada sesuatu di dalam diri Aruna yang sudah tidak bisa ditahan. Seperti bom waktu yang ingin meledak. "Aku nggak mau berhenti dari Perpustakaan Lentera," kata Aruna tegas.
"Udah berani kamu?" Mamanya melotot, dan sekarang sudah berdiri di dekat Aruna. Beliau mengangkat tangan–hendak memukul gadis itu saat tiba-tiba ada tangan yang menahan tangan mamanya.
"Hentikan, Ma," kata papa Aruna tegas.
Similar Tags

