2020
Untuk Gilbert,
Wah, buku yang dikategorikan klasik, ya. Aku pengen baca buku-buku itu (kecuali Pet Sematary, soalnya setelah kucari tahu, itu buku horror). Ini tiga teratas buku favoritku:
1) Anne of Green Gables
2) Will You Be There?
3) Twilight (ya, aku tahu. Kontroversial)
- Anne
———
2025
Aruna tidak mengira bahwa Dea, sahabatnya, memiliki tenaga untuk mengomelinya habis-habisan di jam delapan pagi. Padahal, katanya sahabatnya itu belum sempat sarapan.
"Duh, udah, deh. Berisik banget," gerutu Aruna.
Dea memelototi Aruna. "Heh, kalau kamu nggak se-absurd ini, aku juga pasti nggak ngomel-ngomel, tahu!"
Aruna meringis pelan. Dea menambahkan, "Bisa-bisanya kamu nolak Kak Evan."
Aruna baru cerita pagi ini soal keputusannya menolak Evan semalam. Aruna malas untuk mengirim pesan tentang hal ini pada Dea, karena Dea pasti akan mengirim rentetan pesan yang panjangnya melebihi jalan tol, dan memutuskan memberitahu sahabatnya itu keesokan harinya, di hari Jum’at pagi. Tapi, Aruna menyesali keputusannya yang tidak memberitahu Dea melalui handphone, karena sahabatnya itu sekarang mengomel panjang-pendek seperti mamanya.
"Aku nolak Kak Evan karena aku ngerasa nggak siap untuk jadi pacar Kak Evan. Dia... terlalu sempurna untukku."
"Na, kalau ditanya siap atau nggak, apakah kamu cukup baik untuknya atau nggak, nggak akan ada yang siap. Terus nanti, tahu-tahu aja Kak Evan bakal pacaran sama cewek lain. Dan kamu bakal nyesel," sahut Dea pelan.
Aruna terdiam sebentar. Tapi, gadis itu mengenal dirinya sendiri. Ia tahu apa yang ia inginkan. Sekali Aruna membuat keputusan, itu adalah hasil dari hal yang telah ia pikirkan matang-matang. Aruna menggeleng. "Nggak. Aku tahu apa yang aku lakuin, De. Dan nggak adil rasanya untuk Kak Evan kalau aku nerima dia sementara perasaanku ke Kak Evan ternyata nggak sedalam itu."
Dea menghela nafas. "Kamu masih kepikiran sahabat penamu itu? Kamu masih suka sama Gilbert?"
Aruna kembali terdiam. "Aku... nggak tahu gimana cara jelasin ke kamu, De. Mungkin aku ini bodoh. Tapi, ya, aku memang suka sama Gilbert. Nggak adil untuk Kak Evan kalau aku nerima dia, tapi hati aku masih di Gilbert. Dan aku udah ngajak Gilbert ketemuan." Aruna menjadi gugup sendiri. Ia belum sempat mengecek apakah Gilbert sudah membalas surat terakhir darinya. Dan itu juga kalau Gilbert membalas.
"Gimana kalau ternyata Gilbert nggak sesuai dengan eskpektasi kamu?" tanya Dea, menunjukkan realita ke hadapan muka Aruna. Aruna tidak menjawab, karena itu juga yang gadis itu takutkan. Namun, hatinya berkata bahwa Aruna sudah berada di jalan yang benar.
***
Di sore harinya, Aruna bekerja paruh waktu di Perpustakaan Lentera karena hari ini ada kiriman buku yang masuk, jadi perpustakaan membutuhkan tenaga ekstra. Dan karena itu juga Aruna jadi bisa mengelak (setidaknya untuk beberapa jam ke depan) ajakan Evan untuk mengobrol santai. Aruna ragu apakah obrolan mereka akan sesantai itu terutama setelah Aruna menolak cowok itu semalam.
Namun, malang tidak dapat ditolak. Evan mengirimkan pesan bahwa ia menunggu Aruna sampai gadis itu selesai bekerja.
Sebelum Aruna pulang, ia melangkahkan kakinya ke rak fiksi. Telapak tangannya berkeringat karena gugup; apakah Gilbert sudah membalas suratnya atau belum. Ketika membuka halaman 212 buku Anne of Green Gables, Aruna terpaksa menelan rasa kecewa. Tidak ada surat baru yang diselipkan di sana. Tetapi, surat Aruna kemarin sudah tidak ada lagi di sana. Setidaknya, kemungkinan Gilbert sudah membaca surat dari Aruna dan mengambil surat tersebut. Aruna mengembalikan buku tersebut ke tempatnya dan berjalan lesu ke arah ruangan karyawan untuk mengambil barang-barangnya.
Ruangan staff dan karyawan sudah sepi karena sebagian besar staff Perpustakaan Lentera sudah pulang. Beberapa masih duduk di meja mereka mengerjakan sesuatu terkait server aplikasi perpustakaan yang harus segera diperbaharui. Meja Aruna berada di pojok kanan ruangan, di dekat AC dan sedikit tertutup oleh file yang ada di meja sebelahnya.
Meja Aruna relatif lebih kecil tapi ia tidak mempermasalahkannya. Ia hanya staff paruh waktu dan tidak banyak menghabiskan waktu di meja kerjanya tersebut. Spot mejanya sendiri nyaman dan bersih. Di atas mejanya, ada buku catatan yang biasa Aruna pakai untuk mencatat to-do list atau hal-hal yang harus ia selesaikan pada hari itu, serta kaleng yang ia hias sendiri untuk menaruh pena dan alat tulis lainnya. Saat hendak memasukkan buku catatan ke tote bag-nya, Aruna melihat seperti ada kertas yang terselip di balik buku catatannya tersebut. Merasa penasaran, Aruna membuka cover buku catatannya dan ia merasa darah langsung tersedot dari wajahnya. Ada sebuah kertas yang bertuliskan sesuatu dengan tinta merah. Hanya tinta, tapi guratan tulisan itu mengisyaratkan betapa kerasnya si penulis menekan pena yang digunakan, karena beberapa bagian kertas tampak bolong. Tulisan itu berkata: Selidiki lagi, dan kau akan mati!
Aruna menutup buku catatannya dengan cepat. Ia tidak mau melihat tulisan itu lebih lama lagi. Prasangkanya dan Adam benar. Seseorang sengaja mengunci mereka di gudang beberapa minggu yang lalu. Orang yang tahu bahwa diam-diam Aruna dan Adam menyelidiki kasus Tante Sandrina dan tidak senang akan hal tersebut. Cepat-cepat Aruna memasukkan buku catatan ke dalam tasnya. Dan, kalau ditelaah lagi, barang-barang Aruna memang tidak terletak seperti biasa beberapa hari belakangan ini; seperti ada seseorang yang menyentuh atau memindahkan letak barangnya.
"Mas, tadi ada yang ke meja Aruna nggak?"
Mas Nanda yang merupakan karyawan bagian IT menatap Aruna dengan wajah kusut. "Wah, nggak tau, Na. Kami dari tadi sibuk rapat dengan tim untuk server aplikasi dan belum lama masuk ke ruangan ini lagi. Tapi sejauh aku duduk di sini, nggak ada yang dekat-dekat meja kamu. Emangnya kenapa?"
"Oh, gitu. Nggak ada, Mas. Nanya aja. Kalau gitu aku duluan." Aruna pamit dan meninggalkan ruangan. Hampir semua staff sibuk di depan karena kedatangan buku baru. Dan seseorang meninggalkan surat kaleng di mejanya–di buku catatannya!
Sesampainya di luar perpustakaan, Evan melihat Aruna yang masih terlihat pucat dan memanggil gadis itu. Aruna terkejut karena Evan masih menunggunya.
"Kenapa, Na?" tanya Evan khawatir. Aruna menjelaskan semuanya secara singkat. Mau tidak mau, Aruna juga menjelaskan dugaannya terkait Tante Sandrina yang menjalin hubungan dengan suami seseorang. Evan terlihat sangat terkejut dan tidak percaya.
"Itu udah jadi tindak kejahatan, Na. Orang yang mengancam kamu mungkin serius atas perkataannya. Kamu udah lapor ke Bu Fitri?" tanya Evan gusar.
Aruna menggeleng. Walaupun takut setengah mati, rencana gila muncul di kepala gadis itu. "Aku pengen mancing orang itu, Kak. Gimana kalau kecurigaan aku selama ini benar dan orang ini ada hubungannya atau tahu tentang kasus Tante Sandrina?"
"Itu bahaya, Na. Nggak. Aku nggak akan biarin kamu lakuin rencana itu," tentang Evan. Aruna sedikit kecewa mendengar pendapat Evan.
"Biar aku laporkan ini ke polisi. Dan aku bakal jelasin penyelidikan kecil kamu. Kita serahkan ini pada mereka. Mereka profesional, Na. Kalau kita yang turun tangan, aku takut kamu bakal celaka," kata Evan lembut sambil menyentuh lengan Aruna pelan.
Aruna mengangguk pelan. Tapi tekad hatinya sudah bulat. Ia akan menemukan orang yang mengirimkan surat kaleng tersebut.
***
Di rumah, Aruna masuk dan mengucapkan salam. Tapi, mamanya tidak terlihat di ruang tamu mau pun ruang keluarga mereka. Aruna mencari ke kamar orang tuanya dan ke dapur, tetapi tidak ada tanda-tanda akan kehadiran mamanya. Papanya sudah keluar kota pagi ini untuk bekerja.
Aneh, batin Aruna. Hari ini bukanlah hari di mana mamanya harus kontrol ke rumah sakit. Dan mamanya juga tidak mengirimkan pesan apakah beliau akan keluar hari ini. Kalau tidak ada di mana-mana, hanya satu tempat di mana mamanya bisa berada... kamar Aruna!
Nafas Aruna tercekat. Mamanya selalu mengecek kamar Aruna agar gadis itu tidak membeli barang yang tidak berguna, atau mengecek apakah Aruna memiliki hal yang mengindikasikan bahwa gadis itu memiliki pacar atau hal lain yang dianggap 'negatif' oleh mamanya. Dan, kalau beliau sudah berada di kamar Aruna dalam waktu yang lama, selalu ada sesuatu yang buruk. Aruna dapat merasakan hal itu. Aruna setengah berlari menuju kamarnya di lantai dua, melangkahi dua anak tangga sekaligus, dan ketika mencapai lantai atas, benar saja. Pintu kamarnya terbuka lebar; berbeda dengan saat Aruna meninggalkannya.
Mamanya berdiri di tengah-tengah kamar, bersedekap dan membelakangi Aruna. "Ma?" tegur Aruna takut-takut.
Mamanya tidak menjawab, hanya membalikkan badan menatap putri bungsunya.
"Kenapa, Ma?"
Alih-alih menjawab, mamanya berjalan ke meja belajar Aruna, mengambil tablet yang ada di sana. Tablet itu Aruna tinggalkan dalam keadaan di-charge.
"Lama Mama memperhatikan kamu sering berkutat dengan tablet kamu ini," tunjuk mamanya dengan tablet di tangan kiri beliau.
"Pas sekali kamu meninggalkan tablet hari ini." Benar. Biasanya, Aruna selalu membawa tabletnya ke mana-mana, seolah tablet tersebut adalah nyawanya. Tapi, sore ini sepulang dari kampus, Aruna meng-charge tablet dan tidak membawanya ke Perpustakaan Lentera dengannya.
Mamanya berjalan mendekati Aruna. "Pas sekali teman mama yang bisa hacking datang berkunjung hari ini." Aruna tahu hal itu tidak pernah merupakan kebetulan. Mamanya adalah seorang perencana andal, seperti Aruna sendiri. "Dia bisa buka kunci tablet kamu, dan Mama menemukan ini."
Untuk kedua kalinya, Aruna pucat, seolah darah menghilang dari wajahnya. Mamanya menunjukkan laman buku yang tengah ia kerjakan.
"Bagus-bagus disekolahkan tinggi-tinggi malah ngerjain ini kamu, ya?" Suara mamanya meninggi, membuat Aruna terlonjak. Tapi hal itu belum ada apa-apanya karena setelah itu mamanya membanting tablet Aruna dan menginjak layarnya. Aruna menangis dan memohon pada mamanya agar menghentikan hal itu. Ia memohon-mohon di kaki wanita itu. Tapi, terlambat. Tabletnya mati. Rusak.
Yang membuat Aruna semakin merana, mamanya mengangkat bahu gadis itu dan menampar wajah Aruna.
"Semua file buku yang kamu kerjain udah mama hapus. Fokus ke kuliah kamu. Awas aja kalau kamu kedapatan ngerjain hal nggak berguna kayak gitu lagi. Mulai malam ini, handphone kamu juga Mama cek," kata sang mama sambil berjalan pergi. Meninggalkan Aruna yang hatinya terasa hancur.
Gilbert tak lagi membalas suratnya. Hal yang dicintainya yakni menggambar dan menulis tidak lagi bisa ia lakukan. Hal itu membuat Aruna merasa tenggelam di lubang hitam yang dalam, tanpa secercah cahaya. Seakan belum cukup, sebuah email masuk di handphone-nya, dari penerbit yang waktu itu Aruna kirim bukunya. Bukunya telah ditolak. Aruna menutup wajahnya dengan telapak tangan dan memerosot ke lantai kamarnya yang dingin. Ia menyalahkan semesta yang tidak pernah berpihak padanya.
Similar Tags

