2020
Untuk Gilbert,
Berbagai buku bacaan, ya? Menarik. Boleh juga. Sekalian aku pamerkan buku-buku kebanggaanku. Oh, iya. Tadi aku bawa cokelat payung. Katanya, Tante Sandrina, dia udah lama nggak lihat cokelat itu. Aku tinggalkan bungkusnya untukmu.
-Anne
———
2025
Hari ini pasti hari keberuntungan Aruna karena Evan tiba-tiba saja menghampiri gadis itu ke kelas.
Teman-teman Aruna yang perempuan langsung melirik ke Evan yang memang superganteng. Maklum, menurut kebanyakan mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, mahasiswa Prodi Sendratasik memiliki aura yang berbeda; lebih tampan, lebih keren, lebih santai. Pokoknya, vibes-nya berbeda dengan mahasiswa program studi yang lain. Dan, Aruna menyetujui hal tersebut.
Program studi mereka hanya berbeda lantai. Sendratasik di lantai tiga sementara bahasa Inggris di lantai dua. Evan sebelumnya ternyata mengirim pesan via WhatsApp, tetapi karena Aruna sedang ada kelas, gadis itu tidak membaca pesan dari Evan. Evan menunggunya di lorong, tepat di depan majalah dinding.
Segera setelah keluar dari kelas, Aruna menyadari siluet Evan. "Kak Evan?"
Yang dipanggil langsung menoleh ke Aruna dan tersenyum. Evan terlihat sangat tampan dengan kemeja flannel berwarna biru dan hitam serta celana jeans. Evan menyandang tas gitar softcase dengan merk Taylor. Karena sudah berbagi jadwal perkuliahan masing-masing, Evan tahu kalau pagi ini Aruna ada kelas. Sudah agak lama Aruna dan Evan tidak saling bertukar pesan di WhatsApp. Awalnya, Aruna merindukan pesan dari cowok itu. Tapi, akhir-akhir ini gadis itu mulai merasa biasa saja. Dan ia sadar mungkin karena surat-surat dari Gilbert serta kehadiran Adam memenuhi pikirannya, sehingga ia lupa bahwa selama ini gadis itu menyukai Evan.
Berjalan mendekati Evan, Aruna sedikit berdebar. Tapi, tidak ada rasa menggelitik seperti kembang api di perutnya seperti yang dulu ia rasakan ketika bertemu Evan. Aruna menjadi bingung, tapi tetap mencoba bersikap biasa saja.
"Udah selesai kelasnya?" tanya Evan.
Aruna mengangguk. "Ada apa, Kak?"
"Temenin aku makan di kantin, yuk? Atau kamu mau kita makan di luar aja?"
"Boleh," jawab Aruna. Masih pukul sembilan kurang sepuluh menit dan Aruna tahu kalau Evan tidak terbiasa sarapan terlalu pagi. "Makan di kantin aja, Kak. Jam sepuluh Kakak ada kelas kan?"
"Iya." Evan tersenyum karena Aruna mengingat jadwalnya. Mereka ke kantin dan memesan. Karena Aruna sudah sarapan, ia memesan segelas matcha dingin.
Sambil menunggu pesanan Evan, Aruna menceritakan perkembangan tentang kasus Tante Sandrina yang ia dan Adam dapatkan.
"Pesanku ke Bu Desi masih ceklis satu, Kak," kata Aruna murung. "Kakak kenal atau pernah dengar teman Tante Sandrina yang bernama Desi?"
Evan menggeleng. "Seperti yang aku bilang. Tante Sandrina tertutup banget. Tapi nanti coba aku tanya lagi ke mamaku. Ngomong-ngomong, gimana caranya Adam bisa dapat alamat Bu Desi?"
"Oh, itu—"
Kemarin sore...
Setelah Adam memberi Aruna semangat, mereka sempat duduk dalam diam selama beberapa menit. Aruna berpikir, suasana kali ini tidak biasa, karena Adam selalu Aruna kaitkan dengan suasana yang berisik dan bersemangat. Tapi, kali ini ia merasakan suasana tenang dengan Adam. Dan rasanya menyenangkan, juga familiar.
Lalu Aruna teringat akan cookies yang diberikan cowok itu. Gadis itu membuka kotak pertama berisi empat keping cookies matcha dan mengambil dua, lalu memberikan satu pada Adam. Cowok itu menaikkan alis.
"Karena sudah begini, sebelum kita pulang, kita makan cookies dulu," kata Aruna.
Adam lalu teringat sesuatu. "Boleh, tapi kita makannya nanti aja, ya. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat."
Aruna cemberut. "Kenapa mau makan aja harus ke suatu tempat sih?"
"Trust me, it will be worth it. Kamu nggak buru-buru kan?" kata Adam bersemangat sambil menghidupkan mesin mobil Toyota miliknya. Mereka berkendara kembali selama satu jam lebih, melewati pusat kota Pekanbaru menuju ke Kabupaten Kampar, di mana sungai Kampar mengalir. Ada suatu lapangan di dekat area rumah warga yang sangat luas dengan rumput yang bagus dan langsung menghadap ke arah barat. Sesampainya mereka di sana, sudah pukul setengah enam sore di mana langit senja sedang menyambut mereka dengan semburat oranye dan merah muda yang indah.
Adam menghentikan dan mematikan mesin lalu mengajak Aruna keluar. Dengan enteng Adam naik ke bumper depan mobilnya yang tinggi. Cowok itu mengulurkan tangan pada Aruna untuk membantu gadis itu naik. Aruna seolah merasakan sengatan listrik kecil saat jemarinya bersentuhan dengan jemari Adam, tapi Aruna cepat-cepat mengenyahkan perasaan itu. Mereka duduk melihat pemandangan sungai yang indah dan keadaan sekitar yang asri. Hanya ada beberapa anak kecil yang sedang berenang.
"Tahu dari mana kamu tentang tempat ini, Dam?" tanya Aruna penasaran.
"Dari salah satu langganan mamaku yang merupakan orang sini," jawab Adam. "Bagus kan?"
Aruna mengangguk menyetujui. Adam mengambil kotak cookies dan mereka tos. "Cheers," kata Adam ceria.
Di gigitan pertama, Aruna langsung tersenyum karena rasa cookie-nya enak sekali! Rasa matcha-nya pas, serta perpaduan matcha dan cokelat putih menciptakan rasa yang luar biasa di lidah. Belum lagi, pinggiran cookie yang renyah tapi bagian tengahnya yang chewy.
"Soft cookies favoritku sepanjang masa," Aruna mendeklarasi.
Adam tertawa. "Senang mendengarnya."
"Bagi resepnya dong, Dam." Aruna menatap Adam bersemangat. Adam tersenyum lebar melihat Aruna.
"Nggak bisa. Ini rahasia perusahaan," jawab Adam. Aruna tampak kecewa, tapi memaklumi.
"Tapi bakalan aku buatin lagi untuk kamu," kata Adam.
"Serius?"
Adam mengangguk. "Kamu tinggal bilang, nanti aku buatin."
"Gratis?" tanya Aruna bercanda sambil nyengir. Aruna pasti akan membayar tiap cookies yang Adam buatkan untuknya di masa depan.
"Hmm, bisa. Tapi ada syaratnya." Adam tersenyum sambil terlihat berpikir.
"Apa?" tanya Aruna.
"Anyway, emangnya kamu nggak penasaran gimana aku bisa ketemu alamat Bu Desi?" Adam mengalihkan pembicaraan.
"Oh, iya. Kan aku juga udah nanya kemarin. Ceritain, dong," tuntut Aruna.
Adam berkata bahwa kurang lebih seminggu terakhir ia sibuk bertanya pada staff di Perpustakaan Lentera tentang Tante Sandrina dengan alasan bahwa sebenarnya ia adalah keponakan jauh Tante Sandrina.
"Aku cari tahu tentang apa aja informasi yang dimiliki oleh staff. Bahkan gosip," sahut Adam. Lalu Aruna bisa menarik kesimpulan kalau cowok itu tampak 'tebar pesona' seminggu belakangan karena mencari informasi.
"Betul. Dan, kamu kan tahu kalau cewek-cewek lebih tahu soal gosip," kata Adam. Dan staff perempuan pasti akan lebih suka membagikan informasi pada cowok ganteng seperti Adam, begitu menurut Aruna.
Menurut beberapa staff, memang benar kalau pernikahan Tante Sandrina yang sebelumnya tidak berpengaruh banyak pada kehidupan beliau. Si mantan suami sudah lama meninggalkan pulau Sumatera.
"Tapi, Bu Fakhira bilang, Tante Sandrina sempat menjalin hubungan dengan suami orang," kata Adam, tampak ragu-ragu menyebutkan hal ini. Aruna terkejut. Ia berhenti mengunyah cookie di mulutnya selama beberapa detik. Tidak mungkin Tante Sandrina menjadi pengganggu rumah tangga orang. Bu Fakhira adalah salah satu staff berbadan gempal dan suka bergosip. Orangnya baik, tapi kesehariannya yang lebih banyak bergosip ketimbang bekerja kadang meresahkan staff Perpustakaan Lentera yang lain.
"Bu Fakhira bilang, dia sempat melihat chat Tante Sandrina yang katanya begini, Na: Aku bakal nemuin kamu pas istriku lagi keluar," timpal Adam.
"Terus, Bu Fakhira juga udah lapor ke polisi dan cerita ke yang lain tapi nggak ada yang percaya karena penyelidikan polisi menyimpulkan kalau Tante Sandrina nggak terlihat menjalin hubungan dengan siapapun. Jadinya, hal ini dianggap angin lalu. Apalagi nggak ada bukti. Bu Fakhira dianggap halu sama staff lain."
Namun, menurut Aruna hal ini harus diingat-ingat. Ada satu orang yang berpendapat demikian. Dan biasanya, pembunuhan dilakukan oleh orang terdekat: entah itu pasangan, anggota keluarga, atau teman. Adam setuju akan pendapat Aruna.
Adam lalu melanjutkan bahwa dengan bantuan Bu Fakhira juga ia berhasil kembali ke gudang dan menemukan tumpukan buku kesukaan Tante Sandrina.
"Ada sepuluh judul, tapi yang bisa aku temukan di antara halaman-halaman semua buku itu cuma kertas berisi alamat Bu Desi. Kalau sempat, aku mau ngambil buku-buku itu. Aku mau kamu cek, Na. Barangkali ada yang aku lewatkan."
"Itu namanya mencuri," sergah Aruna.
"Buku di gudang udah nggak relevan kan? Apa salahnya kalau kita minjem? Bukan mencuri, tapi meminjam." Adam menyeringai.
Sesuatu datang ke pikiran Aruna. "Kayaknya ada orang yang nggak mau buku-buku itu ditemukan atau dibaca orang. Dan orang itu di Perpustakaan Lentera?" Aruna bergumam.
Adam berpikir. "Mungkin. Tapi bisa jadi juga Tante Sandrina sendiri yang naruh buku-buku itu ke gudang."
Aruna menggigit cookie di tangannya lagi. Ia tetap yakin pada pendiriannya bahwa sepertinya ada seseorang di Perpustakaan Lentera yang mencurigakan.
***
Namun, Aruna memotong bagian kecurigaan bahwa Tante Sandrina menjalin hubungan dengan suami orang dan kecurigaan Aruna terhadap salah satu staff Perpustakaan Lentera.
"Hebat juga Adam, bisa lakuin itu," puji Evan. "Oh, iya, Na. Nanti kalau kelas kamu selesai sore ini, mau nggak pergi main sama aku? Ada museum seni di dekat MTQ yang baru aja dibuka."
Aruna langsung mengiyakan yang disambut oleh senyum Evan. Tanpa diketahui oleh kedua remaja itu, Adam yang tengah duduk di motornya di parkiran dekat kantin menatap Aruna dengan tatapan sedih karena gadis yang ia sukai tampak sangat bahagia bersama Evan.
***
Evan mengajak Aruna ke museum seni yang menghadirkan sekitar tiga puluh karya seniman-seniman asal Riau. Hampir semuanya adalah lukisan, tapi ada juga beberapa seni ukir. Ini pertama kalinya Aruna pergi ke museum seni dengan seorang cowok. Dan bukan cowok biasa, tapi Evan! Dea yang mendengar hal ini dari Aruna langsung mengirimkan pesan saat Aruna baru sampai ke museum bersama Evan.
Dea: Enjoy your date❤️
Aruna: I will!! Wish me luck, ya De(>.<)
Aruna dan Evan mengelilingi museum, menikmati berbagai karya seniman. Sesekali Evan menawarkan untuk mengambil foto dan Aruna berpose dengan malu-malu, walaupun kebanyakan foto hanya menampilkan punggung Aruna dan lukisan yang ada di sana. Tetap saja, Aruna senang sekali.
Mereka melihat ada satu lukisan yang sangat menarik. Lukisan itu kalau dilihat sekilas seperti lukisan abstrak di mana banyak warna dipadukan menjadi satu. Namun sebenarnya, ada siluet seorang wanita di tengahnya.
"Mas, boleh minta tolong fotoin kami?" Evan tiba-tiba berkata pada seorang cowok berkacamata yang berdiri di dekat mereka.
"Boleh," kata si cowok berkacamata sambil tersenyum. Aruna menjadi sangat gugup dan kembali menghadap lukisan tadi.
"Bagus, ya, lukisannya?" kata Evan sambil menatap Aruna.
Aruna ikut tersenyum. "Iya, Kak." Di saat itulah si cowok berkacamata mengambil foto mereka. Evan dan Aruna berterima kasih dan ketika melihat fotonya, mereka tercengang. Si cowok sepertinya pandai sekali mengambil foto. Foto Aruna dan Evan terkesan sinematis dan... romantis. Aruna tersipu. Sementara Evan tersenyum dan tampak sangat senang.
Mereka mengelilingi museum selama sekitar satu jam sebelum akhirnya keluar dan pergi ke salah satu kafe terdekat.
Di kafe, setelah memesan makanan dan minuman, Evan mengirimkan foto tadi dan foto lainnya yang diambilnya ke WhatsApp Aruna. Gadis itu sangat senang. Tatapannya berhenti agak lama pada fotonya dengan Evan. Tidak bisa dipungkiri kalau mereka terlihat seperti pasangan di foto itu.
Tiba-tiba saja, Evan berkata, "Na, mau nggak jadi pacarku?"
Similar Tags

