Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Boy Between the Pages
MENU
About Us  

Hanya ada tiga hal di dunia ini yang membuat hidup Aruna sedikit lebih baik: 1) papanya pulang dari perjalanan kerja di luar kota; 2) saat gadis itu menggambar dan menulis; dan, 3) ketika gadis itu menemukan surat di halaman 212 di buku Anne of Green Gables.

Jemari Aruna masih bergetar bahkan saat surat itu sudah di tangannya. Gadis itu menelan ludah. Kertasnya masih tampak baru, bukan seperti kertas yang sudah lama; seperti surat-surat yang ada di kotak stainless di laci mejanya. Aruna meletakkan buku Anne of Green Gables di rak, lalu pelan-pelan membuka lipatan kertas tersebut, membaca isinya.

Untuk Anne,

Hanya satu orang yang memanggil–atau menyebutnya–dengan nama itu, bukan Aruna. Gilbert. Empat tahun lamanya. Empat tahun tanpa surat-surat dari cowok itu. Jantung Aruna masih berdegup tidak karuan. Gadis itu lanjut membaca paragraf di bawahnya.

Aku tidak tahu apakah surat ini akan kamu temukan. Atau, apakah orang lain akan menemukan surat ini terlebih dahulu dan menghancurkan semuanya. Atau, apakah surat ini akan berada di halaman yang sama (212, nomor keberuntungan kita), di buku yang sama, di rak yang sama, dan di perpustakaan yang sama. Tapi, kalau semesta mengizinkan kita untuk bertemu, maka kamu akan menemukannya. Dan aku ingin percaya bahwa semesta membiarkan kita berpapasan–entah bagaimana pun caranya.

Kamu mungkin sudah melupakanku. Atau kamu masih menyimpan semua surat-surat dariku sepertiku yang masih menyimpan bungkus permen kesukaan kita. Tapi, aku masih mengingatmu. Aku ingat hujan rintik-rintik yang menemani gerak jemarimu saat menulis surat pertama yang aku temukan. Atau cerita tentang mama kamu, tentang impianmu menjadi penulis buku anak-anak. Maaf aku tiba-tiba pergi. Bukan karena aku ingin, tapi aku harus. Aku minta maaf.

Tapi sekarang, aku di sini. Aku masih menulis. Masih penasaran sama kamu.

-Gilbert (bukan nama sebenarnya, cuma cowok biasa)

Catatan: kita seharusnya saat ini sudah berkuliah, kan?

Setelah membaca surat itu, dada Aruna terasa menghangat, bahkan saat baru membaca paragraf pertama. Matanya terasa panas. Tiba-tiba rak-rak buku di dekatnya membuat suasana menjadi terlalu asing, terlampau hening. Aruna menelan ludah. Ia ingin menangis dan tertawa di saat yang bersamaan.

“Kamu di sini, Gilbert?” bisiknya pelan. Aruna cepat-cepat menggeleng–menghalangi air matanya yang hendak menetes. Aruna melihat ke sekelilingnya. Hari ini Perpustakaan Lentera masih sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berkunjung. Dua orang kakak-kakak dan satu cowok berkacamata. Sepertinya mencari buku referensi untuk skripsi.

"Na, bisa tolong ambilkan buku-buku dari daftar ini? Mau saya masukkan ke aplikasi perpustakaan," Mas Arga, salah satu karyawan Perpustakaan Lentera, muncul tiba-tiba, membuat Aruna sedikit terlonjak. Mas Arga ini staff bagian IT dan sering berurusan dengan aplikasi.

"Oh, iya. Oke, Mas." Aruna mengambil kertas berisi daftar buku baru. Mas Arga tersenyum sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.

Pikiran Aruna masih berputar di surat Gilbert, ia bertanya-tanya. Apakah Gilbert meninggalkan surat itu hari ini? Siapakah Gilbert sebenarnya?

***

Beberapa saat setelah Aruna menemukan surat tersebut, ia dan Adam lanjut mengerjakan tugas mereka. Jantung Aruna masih berdegup tak karuan saat gadis itu menunggu Adam. Syukurlah, Adam sepertinya tidak menyadari hal itu.

“Oke, selesai,” seru Aruna lega. Ia dan Adam telah menyelesaikan resensi buku Anne of Green Gables, setelah beberapa kali kesulitan untuk menyocokkan pandangan mereka terkait suatu topik di buku.

“Aku udah baca buku itu puluhan kali. Menurutku Anne membuat kesalahan, tapi dari sanalah ia belajar,” ujar Aruna.

“Tetap, Anne itu impulsif soal pilihan-pilihan yang dia buat.”

“Tapi, impulsif adalah satu kata yang... entahlah. Ada kata yang menjelaskan sifatnya lebih baik nggak menurut kamu?” tanya Aruna sambil menatap Adam. “Biar lebih halus.”

“Kalau gini gimana: Anne sebagai gadis muda memang sering membuat kesalahan dan membuat keputusan yang menurut sebagian orang cenderung impulsif,” kata Adam, sambil menatap Aruna dengan lembut.

“Tapi, karakternya berkembang menjadi wanita muda yang bertanggungjawab. Dan kesalahan yang ia buat saat ia masih lebih muda membuat Anne bisa menimbang sesuatu dengan lebih baik dan menjadi wanita muda yang bijak dan bertanggungjawab,” sambung Aruna.

Adam tersenyum. “Kurasa kita bakal jadi tim tugas kelompok yang oke. Hebat, malah.” Aruna tersenyum kecil. Dirinya dan Adam dapat menarik kesimpulan dan menyocokkan perbedaan pendapat di antara mereka sehingga tugas mereka dapat diselesaikan dengan lebih cepat.

Mereka mulai berkemas saat Aruna teringat akan sesuatu. “Oh iya, ini buku mama kamu. Aku udah selesai baca dan tugas kita kan juga udah selesai. Slide presentasi bisa aku ambil dari hasil resensi kita aja.” kata Aruna dan mengeluarkan buku Anne of Green Gables edisi Wordsworth Luxe dengan sampul hijau dan aksen bunga-bunga berwarna merah muda yang cantik. Aruna bahkan menyimpan buku tersebut dengan hati-hati di tasnya. Sampulnya cantik sekali dan sayang kalau rusak!

“Kamu boleh kok kalau mau minjem buku ini lebih lama. Kata mamaku nggak apa-apa,” sahut Adam.

Aruna langsung menggeleng. “Ini buku mahal, dan sebagai pecinta buku, aku tahu kalau koleksi buku itu pasti disayang.”

Adam nyengir. “Rupanya ada sisi itu di diri kamu, ya. Mirip banget sama mama aku. Oh, iya,” Adam meraih buku tersebut, menaruhnya di samping buku-bukunya, dan merogoh isi ranselnya.

“Nih,” kata Adam, memberikan sebuah kotak dengan atas kotak yang transparan. Cookies. “Tadi aku nganterin pesanan mama aku, makanya telat. Terus kata mama, disuruh kasih ke kamu. ‘Kasih ini ke teman kamu yang nungguin’, katanya gitu,” jelas Adam.

“Seriusan? Sebenarnya nggak apa-apa, kok,” kata Aruna, padahal wajahnya sudah mupeng melihat cookies yang kelihatan sangat lezat.

Adam menyadari Aruna yang melirik kotak cookies. Tanpa sadar, cowok itu tersenyum. “Iya, nggak apa-apa. Nanti malah aku yang dimarahin kalau kamu nggak mau terima.” Tangan Adam mengangsurkan kotak cookies ke Aruna.

“Bilangin makasih ke mama kamu,” kata Aruna pelan, mengambil kotak cookies sambil tersenyum.

“Cuma ke mama aku aja? Ke aku nggak ngucapin makasih?” goda Adam.

Aruna memutar bola mata. “Makasih, Adam," ujarnya malas. Adam langsung menyeringai.

“Kayak nggak ikhlas,” Adam protes.

“Makasih, Adam,” kata Aruna dengan nada serta senyum yang manis. Adam terkejut, baru kali ini melihat Aruna tersenyum seperti itu. Aruna, seperti biasa, tidak menyadari hal itu, lantaran fokusnya sudah di kotak berisi cookies.

Cowok itu berdeham. “Iya, nanti aku bilangin ke mama aku kalau Aruna, temenku mupeng lihat cookies dari mama.”

“Emang iya,” Aruna tidak membantah. “Kelihatan enak banget, nih.”

Adam tertawa pelan. “Yaudah. Balik, yuk?”

Aruna menatap cowok itu dengan tatapan datar seperti biasa. “Kamu duluan aja. Kita kan bukannya pulang bareng atau semacamnya.”

Adam membeku sejenak, menyadari indikasi perkataannya sebelumnya. Tapi bersifat cool seperti biasa. “Manatau kamu minta diantarin.”

“Mimpi kamu,” Aruna beralasan. Padahal, gadis itu sedang berpikir apakah dia harus membalas surat dari Gilbert segera.

Adam mengangkat bahu. Tiba-tiba ia melihat Evan berjalan ke arah mereka. Yang pertama disapa, tentunya adalah Aruna.

“Mau ngerjain tugas, Kak?” tanya Aruna ramah pada Evan. Adam tentu saja mencerna betapa berbeda nada bicara Aruna padanya dan Kak Evan.

Evan mengangguk. “Iya, nih. Baru masuk semester genap aja udah ada banyak tugas,” kata Evan sambil tertawa. “Tadi pagi aku juga udah ke sini, sama teman-teman yang lain.”

Aruna balas mengangguk. “Hari ini Kak Evan emang nggak ada perkuliahan, kan?” Adam menaikkan alis, tidak menyangka bahwa hubungan Aruna dan Evan sudah sedekat sampai mengetahui jadwal perkuliahan masing-masing. Tapi Adam heran, kenapa ia peduli?

Adam berdeham pelan untuk mendapatkan perhatian kedua orang tersebut dan pamit. Saat cowok itu berjalan menelusuri rak-rak buku di sampingnya, ia menoleh ke belakang, menatap Aruna yang bercengkerama dengan Evan. Tatapan gadis itu hangat. Berbalik dengan hal itu, dada Adam terasa panas dan menggelitik. Bukan amarah. Cemburu, mungkin?

***

Aruna duduk bersebelahan dengan Evan. Gadis itu memeriksa handphone-nya sekilas. Belum ada pesan dari mamanya. Berarti ia masih bisa di sini sedikit lebih lama. Bersama Evan di antara lautan buku-buku dan kata-kata yang belum ditemukan. Aruna menyukai hal itu. Bersama Evan terasa nyaman dan menyenangkan. Dan Aruna menyukai hal itu.

“Berarti tugas kamu dan Adam udah selesai?” tanya Evan yang sedang membuka laptop. Di sebelah kiri cowok itu ada tumpukan buku untuk referensi. Aruna membantu Evan mencari buku-buku tersebut lima belas menit sebelumnya.

Aruna mengiyakan. “Kami udah baca bukunya secara terpisah, tinggal menyocokkan pendapat untuk resensi. Slide presentasi aku yang buat, dan Adam buat makalahnya,” kata Aruna.

“Wih, terstruktur banget, ya, kalau anak bahasa,” puji Evan. “Kalau di prodi kami mah santai banget soal tugas. Biasanya juga sistem SKS–Sistem Kebut Semalam. Yang buat makalahnya juga biasanya satu orang, dan itu-itu aja orangnya.” Evan terkekeh. Aruna ikut tertawa.

“Jadi yang Kakak kerjain ini tugas pribadi atau kelompok?”

“Tugas pribadi. Tapi tadi ada teman lain yang mau bareng nyari referensi, makanya kami pagi-pagi udah ke sini.”

Aruna menggumamkan ‘oh’. Handphone-nya bergetar di atas meja.

Mama: Mama mau pergi sama Tante Mira. Pulangnya bakal malam. Masak makan malam sendiri.

Lagi-lagi, nada dingin mamanya terasa menusuk tulang; bahkan hanya via pesan teks. Aruna murung sejenak. Tapi, sisi baiknya, ia bisa bebas menggambar malam ini tanpa sembunyi-sembunyi.

“Kenapa, Na?” ternyata raut murung Aruna tidak terlewatkan oleh Evan.

“Nggak ada apa-apa, Kak. Mama aku bakal keluar, jadi aku diminta masak sendiri buat makan malam,” jawab Aruna, berusaha terlihat ceria. Setidaknya, gadis itu bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Evan.

Evan menyadari sesuatu, tapi tidak memaksa Aruna untuk bercerita. Cowok itu menatap Aruna sambil tersenyum. “Aku mungkin bakal di Perpustakaan Lentera sampai perpustakaannya tutup. Udah jam setengah tiga juga,” Evan melirik arlojinya sekilas. “Jam empat nanti mau nggak, Na, kalau kita makan bareng?”

Aruna mengira ia bermimpi. Evan mengajaknya makan bareng!

“Emm, kalau terlalu cepat untuk sekalian makan malam, kita bisa jalan-jalan dulu, jajan. Baru makan,” kata Evan lagi. “Aku nanti juga bakal nganterin kamu,” sambung cowok itu.

Diajak jalan, jajan, makan, dan diantar pulang? Dada Aruna membuncah oleh rasa bahagia. “Boleh, Kak. Aku mau,” sahut Aruna pelan. Evan tersenyum dan mengangguk.

Astaga, senyuman Kak Evan memang manis, seperti es teh manis di bulan puasa, kata Aruna di dalam hati.

Sekitar pukul empat sore, mereka berkemas. Jantung Aruna sudah melompat-lompat karena senang.

“Sebentar, Na, aku mau ke rak fiksi dulu,” kata Evan.

“Aku mau ikut juga boleh, Kak?”

“Boleh, dong. Ini kan perpustakaan umum,” kata Evan sambil terkekeh. Aruna tersenyum malu.

Mereka menelusuri rak fiksi. Aruna melihat-lihat koleksi buku romance terbaru Perpustakaan Lentera. Lalu, Aruna memperhatikan kalau langkah kaki Evan terhenti di deretan rak buku klasik.

Suatu pemikiran menerpa Aruna. Gadis itu ke Perpustakaan Lentera setelah jam makan siang. Surat dari Gilbert ia temukan sekitar jam satu. Kemarin sore, Aruna dapat memastikan bahwa tidak ada surat di buku Anne of Green Gables karena gadis itu sendiri melihat-lihat buku tersebut. Yang berarti, suratnya diletakkan antara pagi ini sampai sebelum jam istirahat makan siang. Pukul dua belas perpustakaan tutup sebentar sampai pukul satu siang. Evan ada di sini pagi ini. Dan ternyata cowok itu juga membaca, walaupun ia mengakui hanya sesekali.

Apakah Evan adalah Gilbert, si sahabat pena misterius?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
MERAH MUDA
511      370     0     
Short Story
Aku mengenang setiap momen kita. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
Campus Love Story
8312      1901     1     
Romance
Dua anak remaja, yang tiap hari bertengkar tanpa alasan hingga dipanggil sebagai pasangan drama. Awal sebab Henan yang mempermasalahkan cara Gina makan bubur ayam, beranjak menjadi lebih sering bertemu karena boneka koleksi kesukaannya yang hilang ada pada gadis itu. Berangkat ke kampus bersama sebagai bentuk terima kasih, malah merambat menjadi ingin menjalin kasih. Lantas, semulus apa perjal...
Dear Groom
505      361     5     
Short Story
\"Kadang aku berpikir ingin seperti dulu. Saat kecil, melambaikan tangan adalah hal yang aku sukai. Sambil tertawa aku melambaikan tangan pada pesawat yang lewat. Tapi sekarang, bukan seperti ini yang aku sukai. Melambaikan tangan dengan senyuman terpaksa padanya bersama orang lain.\"
Oh My Heartbeat!
382      268     1     
Romance
Tentang seseorang yang baru saja merasakan cinta di umur 19 tahun.
Tumbuh Layu
381      253     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Like Butterfly Effect, The Lost Trail
5710      1530     1     
Inspirational
Jika kamu adalah orang yang melakukan usaha keras demi mendapatkan sesuatu, apa perasaanmu ketika melihat orang yang bisa mendapatkan sesuatu itu dengan mudah? Hassan yang memulai kehidupan mandirinya berusaha untuk menemukan jati dirinya sebagai orang pintar. Di hari pertamanya, ia menemukan gadis dengan pencarian tak masuk akal. Awalnya dia anggap itu sesuatu lelucon sampai akhirnya Hassan m...
Peran Pengganti; Lintang Bumi
1695      755     10     
Romance
Sudah banyak cerita perjodohan di dunia ini. Ada sebagian yang akhirnya saling jatuh cinta, sebagian lagi berpisah dengan alasan tidak adanya cinta yang tumbuh di antara mereka. Begitu juga dengan Achala Annandhita, dijodohkan dengan Jibran Lintang Darmawan, seorang pria yang hanya menganggap pernikahannya sebagai peran pengganti. Dikhianati secara terang-terangan, dipaksa menandatangani su...
Di Bawah Langit Bumi
2384      920     87     
Romance
Awal 2000-an. Era pre-medsos. Nama buruk menyebar bukan lewat unggahan tapi lewat mulut ke mulut, dan Bumi tahu betul rasanya jadi legenda yang tak diinginkan. Saat masuk SMA, ia hanya punya satu misi: jangan bikin masalah. Satu janji pada ibunya dan satu-satunya cara agar ia tak dipindahkan lagi, seperti saat SMP dulu, ketika sebuah insiden membuatnya dicap berbahaya. Tapi sekolah barunya...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
530      219     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Dunia Tiga Musim
3439      1342     1     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...