Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Boy Between the Pages
MENU
About Us  

Aruna tidak tahu apakah ia bisa bertahan duduk bersebelahan dengan Adam lebih lama lagi. Bukan karena cowok itu bau keringat, malah, wangi parfumnya menyenangkan; wangi segar aquatic yang membaur sempurna dengan wangi AC dan buku-buku di Perpustakaan Lentera. Yang bikin Aruna gelisah adalah, gadis itu malah merasa mulai nyaman berdekatan dengan Adam.

Aruna memikirkan sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. “Kenapa bikin resensinya nggak pakai format dari Bu Anti?” tanya Aruna heran karena Adam terlihat menulis ide-ide tentang buku Anne of Green Gables dalam bentuk mind map.

Adam mendongak dan menatap Aruna yang duduk di sebelahnya. “Oh. Nggak ada alasan khusus. Aku emang senang membagi-bagi ide pakai mind map gini. Nggak apa-apa, kan?” Aruna mengangguk pelan. Adam tersenyum tipis dan melanjutkan resensinya.

Tumben hari ini dia jadi lebih kalem, pikir Aruna sambil bertopang dagu.

“Kenapa ngelihatin aku kayak gitu? Karena aku ganteng, ya?” Adam melirik Aruna dan mengerling jail.

“Idih,” sembur Aruna. Tapi semburat merah muda merayap di pipinya. Dan hal itu sama sekali tidak dilewatkan oleh Adam.

“Akui aja, Na. Banyak, kok, cewek yang bilang gitu ke aku,” goda Adam. Aruna tahu cowok itu sadar akan pesonanya. Sedari tadi, banyak mahasiswi atau wanita muda yang menatap Adam dengan tatapan memuja.

“Ternyata kamu narsis juga, ya,” kata Aruna sarkas.

Adam mengangkat bahu. “Bukan narsis namanya kalau itu adalah fakta.” Mereka mendengar beberapa gadis–sepertinya masih SMA–sedang cekikikan sambil menatap Adam. Saat menatap Aruna, tatapan mereka menjadi sinis.

Aruna memutar bola mata dan melanjutkan tugas mata kuliah reading mereka. “Kok diam? Nggak punya jawaban cerdas untuk balas perkataanku tadi?” tanya Adam. “Atau malah, kamu diam-diam mengakui, Na?” Yang terakhir ini mendapat tatapan garang dari Aruna. Adam langsung tertawa pelan.

“Nggak pernah nggak seru kalau ganggu Aruna Kanissa.” Adam berkata penuh kemenangan.

“Berisik, kamu,” seru Aruna. “Ini di perpustakaan.”

“Selain kamu, nggak ada yang terganggu, tuh. Suaraku kan pelan.” Adam membela diri. “Ngomong-ngomong, kamu beneran kerja di sini, Na?”

“Kan kamu waktu itu lihat aku pakai tanda pengenal staff.”

Adam berpikir sebentar. “Tapi dulu aku kok nggak ngelihat kamu di sini?”

Aruna melirik Adam. “Kenapa? Kamu sempat nyariin aku?”

“Nggak lah. Aku kan sering juga buat tugas di sini semester pertama kemarin.” Aruna memperhatikan cowok itu terlihat aneh. Dia tidak menatap Aruna saat menjawab dan Adam menggaruk kepalanya.

“Apa kamu nggak bisa gitu nggak ganggu aku sehari aja? Di perpustakaan pun kamu mau ganggu aku.” Aruna geleng-geleng kepala. Adam tampak lega, tapi Aruna tidak menyadari hal tersebut.

Baru saja Adam ingin menjawab, saat ada sebuah suara yang menyapa mereka–menyapa Aruna, lebih tepatnya.

“Aruna?” kata cowok itu pelan.

Yang dipanggil menoleh ke belakang. Adam ikut menoleh ke arah suara tersebut. Melihat si pemilik suara, wajah Aruna menjadi sumringah.

“Kak Evan,” kata Aruna.

Evan tersenyum. “Dari jauh aku ngelihat kamu. Kirain salah orang. Ternyata memang Aruna,” sahut Evan. “Lagi ngerjain tugas? Atau lagi sama pacar kamu?” Cowok itu mengisyaratkan soal Adam.

Tentu saja pernyataan itu langsung ditepis oleh Aruna dengan sepenuh hati. “Bukan, Kak. Aku lagi ngerjain tugas. Ini teman sekelas.” Aruna bahkan enggan menyebut Adam sebagai teman sekelas.

Adam menghadap Evan dan tersenyum sambil mengulurkan tangan. “Adam. Kayaknya aku pernah lihat Kak Evan.”

Evan membalas uluran tangan Adam. “Evan. Aku dari prodi Sendratasik. Cuma beda lantai sama kalian.” Evan tersenyum ramah. Adam manggut-manggut.

“Yaudah. Kalian lanjut lagi aja. Aku mau nyari buku dulu,” kata Evan lagi.

“Mau aku tolong cariin, Kak?” Aruna menawarkan.

“Nggak usah, Na. Tadi aku udah nanya sama Mbak-Mbak yang di depan raknya ada di mana.”

“Ooh, oke,” sahut Aruna.

“Kamu suka sama Kak Evan?” seru Adam setelah Evan berlalu. Aruna tersipu, tapi karena ini Adam, pilihan terbaik adalah tidak menjawab.

“Tatapan kamu kelihatan banget mendambakan Kak Evan, Na,” sahut Adam.

Aruna sedikit terlonjak. Matanya membulat. “Apakah sekentara itu?” bisik gadis itu pelan. Saat Adam mulai tertawa, barulah Aruna sadar kalau Adam hanya menggodanya.

***

Aruna sudah mulai mengetik hasil resensinya di laptop saat gadis itu menyadari bahwa Adam terlalu lama untuk berada di balik bilik toilet. Ternyata, cowok itu sedang mengobrol dengan Mbak Tantri. Aruna geleng-geleng kepala. Ia kembali ke tempat duduknya dan lanjut mengetik.

“Tertekuk banget muka kamu,” komentar Adam pelan saat ia kembali duduk.

Aruna menatap cowok itu. “Kita janjian untuk buat tugas, bukan kamu godain Mbak Tantri.”

“Mbak Tantri nanya apakah aku teman sekelas kamu. Pertanyaan biasa. Terus, obrolan kami ngalir gitu aja. Mbak Tantri nggak galak kayak kamu.”

“Aku cuma galak sama kamu aja. Sama pengunjung lain aku baik, kok.” Adam tertawa kecil. Setelah beberapa lama mengetik, mereka memutuskan untuk melanjutkan tugas mereka esok hari.

“Jadi kamu kerja paruh waktu Cuma weekend aja?” tanya Adam.

“Sebenarnya iya. Tapi kadang kalau pengunjung lagi ramai dan aku nggak ada jadwal kuliah, aku diminta untuk kerja juga. Kalau aku mau. Aku digaji perjam.”

Handphone Aruna bergetar.

1 pesan baru dari Mama.

Mama: Kok lama banget ngerjain tugas? Cepat pulang. Sore ini kamu harus ke pasar.

“Emm, aku duluan, ya.”

“Oke. Mau aku anterin pulang?”

Langkah Aruna terhenti. Gadis itu menyipitkan mata. Tumben sekali Adam jadi baik seperti ini. “Makasih, tapi nggak usah. Kamu yang tiba-tiba baik gini jadi menakutkan buatku.” Adam langsung tertawa lepas. Untungnya mereka berada di luar perpustakaan.

“Benar juga. Bukunya aku bawain besok,” kata Adam. Aruna berjalan pulang terlebih dahulu. Adam melambaikan tangan sambil tersenyum jail seperti biasa.

***

Keesokan harinya, setelah jam terakhir perkuliahan berakhir–sekitar setengah tiga sore–, Aruna langsung berkendara dari kampus ke Perpustakaan Lentera. Ia sudah memberitahu mamanya kalau dia akan mengerjakan tugas. Mamanya hanya menyahut agar pulang sesegera mungkin. Nadanya selalu dingin.

Adam: Maaf banget. Aku bakal telat. Ada sesuatu yang urgent di rumah.

Aruna tidak membalas pesan Adam, hanya memberi reaksi mengacungkan jempol. Pikirannya sedang sumpek karena mamanya akhir-akhir ini lebih uring-uringan dari biasanya. Kemarin sore Aruna dimarahi oleh mamanya karena menurut beliau Aruna pulang terlalu lambat. Padahal, ia dan Adam hanya mengerjakan tugas selama satu setengah jam.

"Nggak ingat waktu. Kamu udah lupa sama tugasmu?" sergah mama Aruna dingin saat gadis itu pulang kemarin sore.

"Maaf, Ma. Aruna mau langsung ke pasar." Tiba-tiba mamanya menarik tangan gadis itu. 

"Papa kamu pulang hari ini. Awas kalau kamu ngomong aneh-aneh," ancam mamanya. Padahal, Aruna sama sekali tidak pernah mengatakan–apalagi mengadu–yang aneh-aneh pada papanya yang jarang pulang ke rumah karena pekerjaan. Aruna mengangguk pelan.

Pernah satu waktu, papanya menanyakan keseharian Aruna di rumah. Tak sengaja, papanya mengetahui kalau mama Aruna sempat bersifat kasar. Papanya memarahi mama Aruna. Minggu berikutnya, selepas Papa Aruna ke luar kota, mama Aruna memarahi gadis itu habis-habisan.

Tanpa sadar, langkah kaki gadis itu membawanya ke balik rak-rak fiksi di Perpustakaan Lentera. Rasanya seperti deja vu. Semasa ia kecil, saat mamanya membuat gadis itu sedih, ia juga selalu menelusuri rak buku fiksi. Menenggelamkan dirinya pada bacaan, mencari kedamaian di antara tinta dan kertas.

Di bagian buku klasik, mata Aruna otomatis tertuju pada buku Anne of Green Gables. Bibirnya menyunggingkan senyum. Diraihnya buku itu dan dibukanya. Tidak mengharapkan apa-apa. Tapi, di halaman 212, halaman berhenti membuka, menampilkan selembar kertas yang dilipat rapi. Kertasnya terlihat masih baru. Di sudut kanan atas, terlihat:

Untuk Anna.

Jantung Aruna berdegup kencang. Jemarinya bergetar. Mungkinkah? Batin gadis itu.

Lalu, saat Aruna melihat tulisan di pojok kiri bawah liputan kertas tersebut, bibirnya mengulas senyum. Ia gemetar, tapi juga bersemangat. Karena ini berarti ia tidak sedang bermimpi.

-Gilbert (bukan nama sebenarnya, cuma cowok biasa)

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
RAIN
670      450     2     
Short Story
Hati memilih caranya sendiri untuk memaknai hujan dan aku memilih untuk mencintai hujan. -Adriana Larasati-
PATANGGA
852      590     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...
love like you
450      320     1     
Short Story
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
727      434     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.
Lepas SKS
153      132     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Ameteur
78      72     1     
Inspirational
Untuk yang pernah merasa kalah. Untuk yang sering salah langkah. Untuk yang belum tahu arah, tapi tetap memilih berjalan. Amateur adalah kumpulan cerita pendek tentang fase hidup yang ganjil. Saat kita belum sepenuhnya tahu siapa diri kita, tapi tetap harus menjalani hari demi hari. Tentang jatuh cinta yang canggung, persahabatan yang retak perlahan, impian yang berubah bentuk, dan kegagalan...
Tanpo Arang
38      32     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Bisakah Kita Bersatu?
615      353     5     
Short Story
Siapa bilang perjodohan selalu menguntungkan pihak orangtua? Kali ini, tidak hanya pihak orangtua tetapi termasuk sang calon pengantin pria juga sangat merasa diuntungkan dengan rencana pernikahan ini. Terlebih, sang calon pengantin wanita juga menyetujui pernikahan ini dan berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk menjalani pernikahannya kelak. Seiring berjalannya waktu, tak terasa hari ...
SWEET BLOOD
0      0     0     
Fantasy
Ketika mendengar kata 'manis', apa yang kau pikirkan? "Menghirup aromanya." Lalu, ketika mendengar kata 'darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Menikmati rasanya." Dan ketika melihat seseorang yang memiliki 'bau darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Mendekatinya dan menghisap darahnya."