Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Boy Between the Pages
MENU
About Us  

Bagi Aruna, Adam seperti batu kerikil yang menyelip di dalam sepatunya. Walaupun kecil, tetap mengganggu dan membuat setiap langkah menjadi tidak nyaman. Sedangkan Evan bagaikan es teh manis di bulan puasa: manis, bikin adem, dan kehadirannya selalu dinanti-nanti.

Sebelum kalian bertanya, Evan Sagara adalah cowok ganteng nan kalem di program studi (prodi) Pendidikan Seni Drama dan Musik, atau seringkali disingkat prodi Sendratasik. Dan Aruna suka sekali dengan Evan yang pembawaannya kalem, berbanding terbalik dengan Adam yang selalu heboh di mana-mana. Aruna melirik sekilas ke arah Adam yang sedang bermain sepak takraw bersama mahasiswa prodi Penjaskes setelah kelas Speaking berakhir lima menit sebelumnya.

Cowok itu tengah menendang bola takraw yang terbuat dari rotan ke arah tim lawan. Saat bola tim lawan tidak lewat dari net, tim Adam bersorak dengan gembira. Adam dengan mudahnya akrab dan ber-tos-ria dengan mahasiswa Penjaskes. Kadang, Aruna iri dengan skill sosialisasi Adam. Pasalnya, gadis itu hanya punya satu teman dekat, Dea. Adam yang sadar sedang diperhatikan oleh Aruna, mencari wajah gadis itu yang sedang duduk di kantin FKIP dan segera mengedipkan sebelah mata ketika tatapan mereka bertemu. Aruna langsung mengernyit. Gadis itu mengalihkan pandangan ke rombongan mahasiswa prodi Sendratasik di mana Evan berada. Kok bisa, sih, dia malah melirik Adam? Batin Aruna.

Evan memiliki rambut ikal paling menawan yang pernah Aruna lihat. Rambut cowok itu sedikit panjang, alisnya tebal, dan hidungnya mancung. Dilihat sekilas, Evan pasti mudah untuk masuk agensi model karena wajahnya memang mengingatkan pada model-model ganteng Amerika.

“Pandang terus, Na. Dan kayaknya ada air liur kamu tuh yang netes,” seru Dea yang tiba-tiba sudah ada di sebelah gadis itu, memergoki Aruna yang sedang menatap mood booster-nya. Aruna nyengir.

“Memandangi ciptaan Tuhan yang sangat indah itu gratis. Jadi ya sekalian aja kunikmati,” Aruna membela diri.

“Iya, tapi nggak dilihatin kayak mau laser punggung Kak Evan juga, kali,” cibir Dea.

Aruna tertawa pelan. “Punggung Kak Evan nggak bolong, tuh.”

Dea tidak menghiraukan jawaban Aruna. “Kamu sama Kak Evan masih sering chat di Instagram?”

Pipi Aruna sedikit merona. “Emm, sebenarnya, De, malah kami udah chat di WhatsApp.”

“Apa? Ih, kok nggak bilang-bilang, sih, Na, kalau kamu udah chat lewat WhatsApp,” kata Dea heboh, menarik perhatian mahasiswa dan mahasiswi lain di kantin FKIP. Aruna meletakkan jari telunjuk di bibir.

“Ini juga aku mau cerita. Soalnya belum lama ini Kak Evan minta nomor WhatsApp aku. Tapi tolong pelan kan suara kamu, De,” Aruna mewanti-wanti, karena dia tahu sahabatnya memiliki kecenderungan untuk bersuara lebih besar jika menyangkut rahasia asmara seperti ini.

Dea terkekeh pelan. “Oke. Maaf. Nah, spill semua detailnya.”

Aruna menceritakan bahwa setelah obrolan panjang di Instagram yang Aruna mulai beberapa bulan belakangan (Aruna mengomentari Evan yang bermain bernyanyi lagu The Beatles sambil bermain gitar), Evan tiba-tiba meminta nomor WhatsApp gadis itu beberapa hari sebelum hari ini. Isi percakapan mereka sebenarnya standar, tapi berkesan. Aruna dan Evan berbagi playlist di Spotify, saling memberi rekomendasi seputar film. Dan karena Aruna sedikit bermain gitar, gadis itu tidak khawatir kehabisan bahan obrolan. Evan juga menanggapi dengan hangat. Tapi cowok itu bukanlah tipikal cowok ganjen yang suka tebar pesona–dan Aruna sangat bersyukur akan hal itu. Plus, sepertinya Evan tidak punya pacar.

Di Indonesia, percakapan yang beralih dari DM di Instagram ke WhatsApp sepertinya dianggap sebagai kemajuan di sebuah hubungan. Dan Aruna sangat senang dengan hal ini. Ditambah, Evan lebih sering membagikan kesehariannya seperti cover lagu di status WhatsApp.

“Ada obrolan yang mengarah ke ajakan untuk nge-date, nggak?” tanya Dea bersemangat.

Aruna menggeleng pelan. “Tapi, doa kan, ya. Siapa tahu dia bakal ngajak aku nonton konser band indie atau apa.”

“Siap. Selalu aku doa kan. Kamu nggak mau ngajak duluan?”

Mata Aruna membulat. “Nggak, ah. Mana berani aku ngajak cowok untuk pergi nge-date,” katanya lemah. “Apalagi ini seorang Kak Evan,” ucap Aruna sok dramatis.

“Lebay,” balas Dea. “Tapi boleh tuh kamu coba, Na. Kelihatannya Kak Evan jomblo, kan? Nggak ada salahnya.”

Aruna menatap ke arah rombongan Evan. “Aku pikirin dulu, deh.”

“Nggak usah dibawa pusing. Kalian baru aja chat di WhatsApp, kan? Ikuti aja alurnya dulu.”

Aruna berdecak. “Nggak konsisten kamu. Tadi katanya nyuruh aku ajak, sekarang nyuruh aku ikutin alurnya. Mana sih, yang benar?”

“Yang benar,” kata Dea. “kita makan aja dulu. Tuh, soto pesanan kita udah datang.” Aruna menoyor kepala sahabatnya itu dengan pelan.

***

Aruna pikir harinya telah menjadi lebih baik setelah melihat Evan pagi tadi. Ternyata, keberuntungan tidak berpihak pada Aruna. Karena, sorenya mendadak dosen mata kuliah reading mereka meminta diadakannya kelas karena beliau besok pagi berhalangan untuk hadir. Tidak apa, sebenarnya. Tapi, Aruna sudah keburu pulang ke rumah jam dua tadi, dan kelas dimulai dalam tiga puluh menit.

Seakan tidak bisa menjadi lebih buruk, Aruna dipasangkan dengan Adam untuk sebuah tugas. Inilah yang tidak disukai Aruna dalam memilih teman kerja kelompok secara acak.

Sementara itu, Adam kelihatannya oke-oke saja dipasangkan dengan gadis itu. Malah, dia tampak sangat senang. Adam membawa tasnya dan meraih bangku kosong di dekat Aruna dan menarik bangku tersebut agar bisa duduk bersebelahan dengan Aruna.

Alis Aruna bertaut melihat siku mereka hampir bersentuhan. “Geser sedikit,” protes Aruna.

“Mau geser ke mana lagi, Aruna? Ada dinding, lho,” jawab Adam sambil mengejek, menunjuk dinding di sebelahnya. Saat Aruna hendak bergeser ke sebelah kanannya, sudah ada teman lain yang mengisi. Terpaksa ia berdekatan dengan Adam.

Tugas kali ini adalah membuat resensi buku klasik. Kata Bu Anti, dosen mereka, bukunya bebas, asalkan jumlah halamannya di atas 200 halaman. Minggu depan mereka akan mempresentasikan buku tersebut.

Aruna menimbang-nimbang. Gadis itu ingin membuat resensi buku Anne of Green Gables, salah satu buku klasik favoritnya. Tapi karena ia satu kelompok dengan Adam, gadis itu berpikir apakah sebaiknya mereka meresensi The Great Gatsby saja, saat Adam berkata, “Kalau kita pilih buku Anne of Green Gables mau nggak, Na?”

“Kok wajah kamu kelihatan terkejut gitu?” sahut Adam geli. “Belum pernah baca buku itu?” cowok itu menyeringai.

“Enak aja. Udah, dong,” balas Aruna. “Yaudah, buku itu aja. Tapi kamu kok tiba-tiba nyaranin buku itu?”

“Aku tadinya mau nyaranin Great Expectations-nya Charles Dickens. Tapi khawatir, kamu pasti belum baca,” kata Adam setengah mengejek. Sial. Aruna memang belum membaca judul yang satu itu.

Mata Adam mengerling. “Bercanda, kok. Belum lama ini adik aku nonton adaptasi dramanya di Netflix. Anne with An E, kalau nggak salah?” Aruna mengangguk, mengenal judul itu. “Setelah nonton itu jadi penasaran sama bukunya. Sekalian aja aku mau baca.” Adam mengangkat bahu.

“Kirain kamu ngomong begitu karena udah baca bukunya,” ejek Aruna.

Cowok itu tertawa pelan. “Setidaknya udah tahu sedikit jalan ceritanya.”

Aruna tidak membalas. Gadis itu melihat handphone-nya. “Mau lihat apa ada versi e-book di Google Books.” Aruna menjelaskan. Mereka diharuskan membaca versi bahasa Inggrisnya. Walaupun sudah ada versi terjemahan.

“Oh. Nggak usah. Aku punya,” sahut Adam. Aruna menaikkan alis.

“Mamaku suka membaca, terutama buku-buku klasik. Jadi beliau punya versi bahasa Inggris dari Anne of Green Gables. Beberapa versi, malah,” kata Adam pelan. Entah kenapa tampak gugup.

“Oh, ya?” tanya Aruna tertarik. Adam mengangguk.

“Kalau mau, pinjam buku mamaku aja. Ada dua,” cowok itu menawarkan.

“Boleh, deh.” Wajah Aruna menjadi cerah. Gadis itu berkutat lagi dengan handphone-nya, menambahkan ‘mengerjakan tugas reading’ pada hari Rabu–sesuai kesepakatan mereka–pada Google calendar. Tanpa Aruna sadari, Adam tersenyum melihat wajah ceria gadis itu.

“Ngapain senyum-senyum?” tanya Aruna saat ia sadar kalau Adam menatapnya.

Adam bertopang dagu, senyuman masih terlukis di bibirnya. “Kamu jadi nggak terlalu garang kalau kita lagi ngomongin buku.”

Sialan, batin Aruna.

***

Rabu sore, setelah perkuliahan, Aruna bilang pada Adam kalau dia harus pulang dulu ke rumah karena hari itu dia tidak membawa laptop.

Saat mengambil tas laptop dari salah satu laci, Aruna melihat kotak stainless. Tempatnya menyimpan surat-surat dari sahabat penanya dulu.

1 pesan baru

Adam: Masih lama? Nanti aku curi start ngerjain, nih.

Aruna: Sebentar -_-

Adam: Ada Kakak yang nyamperin aku, lihat di nametag-nya, namanya Kak Tantri.

Adam sedang mengetik...

Adam: Kak Tantri cantik, ya. Baik, lagi. Nggak kayak staff yang lagi chat sama aku ini.

Aruna mengirimkan deretan emoji marah. Adam balik mengirim dua buah emoji tertawa.

Aruna kembali melihat-lihat surat dari sahabat pena misterius. Tidak terasa sudah lebih dari empat tahun. Jemarinya meraih surat pertama yang cowok itu tulis.

Untuk Anne (bukan nama sebenarnya),

Membaca suratmu membuatku tersenyum dan menghela nafas di saat yang bersamaan.

Senang rasanya kamu menemukan Anne. Anne adalah tokoh yang sedikit... dramatis, tapi periang dan bersemangat. Kombinasi yang menarik dan menyenangkan.

Aku setuju ketika kamu bilang kalau buku adalah tempat berlindung. Dan aku juga berlindung di bawahnya. Apalagi saat orang di sekelilingku menaruh harapan yang tinggi padaku. Kadang, aku cuma butuh seseorang–atau tokoh fiksi–yang tidak banyak bertanya, dan tidak berharap aku menjelaskan semuanya.

Sekali lagi, halo, Anne. Semoga harimu menjadi sedikit lebih baik.

-Gilbert (bukan nama sebenarnya, hanya cowok SMP biasa)

Catatan: 212 bisa jadi nomor keberuntungan kita.

Aruna mendekap kertas yang warnanya sudah berubah tersebut di dadanya. Buku Anne of Green Gables selalu mengingatkan gadis itu akan si sahabat pena misterius. Padahal, Aruna tidak pernah bertemu si penulis surat. Seharusnya gadis itu mudah melupakannya. Tapi, kenapa Aruna tidak bisa melakukannya?

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Simfoni Rindu Zindy
650      516     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
A promise
560      360     1     
Short Story
Sara dan Lindu bersahabat. Sara sayang Raka. Lindu juga sayang Raka. Lindu pergi selamanya. Hati Sara porak poranda.
Suara Kala
6851      2212     8     
Fantasy
"Kamu akan meninggal 30 hari lagi!" Anggap saja Ardy tipe cowok masokis karena menikmati hidupnya yang buruk. Pembulian secara verbal di sekolah, hidup tanpa afeksi dari orang tua, hingga pertengkaran yang selalu menyeret ketidak bergunaannya sebagai seorang anak. Untunglah ada Kana yang yang masih peduli padanya, meski cewek itu lebih sering marah-marah ketimbang menghibur. Da...
Warna Untuk Pelangi
8353      1781     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Puncak Mahiya
596      433     4     
Short Story
Hanya cerita fiktif, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tempat dan tokoh. Cerita bermula ketika tria dan rai mengikuti acara perkemahan dari sekolahnya, tria sangat suka ketika melihat matahari terbit dan terbenam dari puncak gunung tetapi semua itu terhalang ketika ada sebuah mitos.
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
116      93     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Hello, Me (30)
19270      942     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
I'il Find You, LOVE
6132      1675     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
After Feeling
5823      1880     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
Titisan Iblis
283      226     0     
Romance
Jika suatu saat aku mati, aku hanya ingin bersamamu, Ali .... Jangan pernah pergi meninggalkanku..... "Layla "