Nirwa pikir merantau membuat dirinya akan merasa jauh dari rumah. Ternyata, ia masih bisa merasakan suasana rumah, meskipun tidak setiap hari, tetapi setidaknya dalam satu bulan ia akan pulang ke rumah. Ia tidak pernah menghitung sudah berapa kali pulang ke rumah selama beberapa bulan hidup di perantauan. Kata bapak, jangan memikirkan masalah ongkos pulang karena memang jaraknya yang jauh untuk dirinya yang pertama kali merasakan hidup di perantauan sendirian. Kata bapak lagi, kehadiran dirinya di rumah membuat bapak senang, uang bisa dicari, tetapi momen bersama anak semata wayang lebih mahal ketika dirinya menginjak dewasa.
Kebiasaan bapak setiap kali ia berada di rumah, sama seperti biasanya, memasak untuk sarapan dan sudah tersedia ketika ia membuka mata pada pukul tujuh pagi. Bapak tidak pernah marah ketika ia bangun kesiangan, padahal Nirwa sudah menyetel alarm berulang kali agar ia dapat membantu bapak, tetapi dirinya ketika tidur seperti mati suri, barangkali karena ia susah tidur di malam hari.
Di rumah ia hanya tiga atau empat hari, tetapi bapak selalu memaksanya untuk pulang setiap dirinya tidak ada kegiatan. Nirwa juga tidak enak dengan bapak karena meninggalkan bapak sendirian di rumah. Namun, keputusan untuk berkuliah di kota orang adalah keputusan yang disetujui bersama, bapak percaya bahwa dirinya bisa menjadi lebih baik dengan pengalaman yang berbeda di tempat lain, meskipun berrati waktu bersama dirinya menjadi terbatas. Ia memilih kampus di luar kota karena banyak pertimbangan, salah satunya kota ini membawa banyak luka dalam dunianya dan bapak tahu itu. Ia ingin mencoba meruntuhkannya perlahan dan mengganti menjadi sesuatu yang baru tanpa melihat bagaimana gagalnya masa lalu.
Dua piring nasi goreng sudah tersaji, Nirwa duduk di samping bapak untuk menikmati sarapannya pagi ini, ditemani dengan dua cangkir kopi hitam. Perpaduan yang sangat pas untuk menjadi awalnya hari ini. Ia mengambil satu sendok untuk disuapkan ke mulutnya. ”Pak, maaf bangun terlambat.”
”Tidak masalah. Kamu pasti capek habis perjalanan. Gimana sama kehidupanmu di sana?” tanya Bapak. Dia juga menyuapkan satu sendok nasi goreng ke mulutnya.
”Lagi mau persiapan buat UTS. Akhir-akhir ini jarang kuliah sih gegara dosennya sibuk. Lebih sering main sama Jiwa, biar lebih tahu seluk-beluk Semarang. Aku kemarin dianterin Jiwa, lumayan hemat ongkos.” Nirwa menunjukkan cengirannya.
Nama Jiwa sudah tidak asing di telinga Bapak karena Nirwa sering menceritakannya setiap kali pulang atau berkabar melalui layar kaca. Laki-laki itu teman sekelas Nirwa yang katanya sudah menjadi teman dekat anaknya. Masalah pergaulan, Bapak tidak pernah melarang Nirwa untuk bergaul dengan siapapun, asalkan bisa menjaga diri. Tidak heran jika Nirwa lebih mudah berbaur dengan laki-laki karena sedari kecil, hidup Nirwa lebih banyak dikelilingi laki-laki.
”Nanti kalo pulang bawain sesuatu buat Jiwa. Ambil aja di toko.” Bapak membuka kaleng kerupuk dan memberikannya ke Nirwa sebelum menaruh satu ke piringnya sendiri.
”Makasi, Pak.” Nirwa melahap kerupuk udang kesukaannya. ”Iya Pak. Jiwa juga tiap aku pulang selalu minta oleh-oleh. Aku tahu dia bercanda sih, tapi ga ada salahnya juga mengabulkan candaan dia. Dia juga baik.”
”Kapan-kapan ajak Jiwa ke sini, Nir.”
”Dia mah sibuk, Pak, tapi nanti kucoba ajak deh. Jadi Jiwa tuh capek Pak karena dia harus laju setiap hari dari Demak ke Semarang, udah kubilang buat kos aja, katanya ga mau ninggalin ibunya yang sendirian di rumah, dasar anak mama,” cibir Nirwa.
”Berarti Jiwa sayang itu sama ibunya.”
”Ih, secara ga langsung Bapak bilang kalo aku ga sayang Bapak. Aku kan ninggalin Bapak sendirian di rumah ini.”
”Bukan gitu, Nir. Bapak kan ga keberatan sama pilihan kamu. Bapak seneng kalo kamu seneng.”
”Apa seharusnya Bapak nikah aja sama Ibunya Jiwa. Biar saling melengkapi, terus kita hidup berempat di Semarang.”
”Ngawur kamu, Nir. Bapak ga pernah kepikiran buat nikah lagi. Bagi Bapak nikah itu sekali seumur hidup. Dalam diri Bapak meskipun ibu udah pergi, Bapak masih cinta sama ibu.”
”Ibu emang ga asik, padahal hidup dicintai dengan ugal-ugalan seru, malah pengennya ditanem. Kasihan ibu ga bisa ngerasain sebesar apa cinta Bapak.”
”Nir, bicaramu. Ditanem emangnya padi apa,” tegur Bapak.
”Ubi, Pak,” celetuk Nirwa. Setelahnya Nirwa tertawa. Di balik tawanya, ia menyimpan luka. Pembicaraan tentang ibu sebenarnya selalu membuat dirinya emosional. ”Pak. Berrati selama ini Bapak ga pernah jatuh cinta lagi, ya? Selama ngurus aku sendiri pasti kan Bapak sangat kesusahan, tapi kenapa Bapak ga pernah kepikiran lagi buat nikah?”
”Ibu punya tempat tersendiri di hati Bapak. Kalo bukan ibu orangnya, Bapak ga bisa menjadi sekarang ini. Siapa bilang ngurus kamu susah? Buktinya Bapak bisa.” Bapak menyombongkan diri, padahal dalam kepalanya ia mengingat bagaimana susahnya menenangkan ketika Nirwa kecil menangis di tengah malam.
”Aku ke bayang aja, sih. Maaf ya, Pak, selama ini banyak merepotkan Bapak.” Nirwa sudah habis dengan nasi gorengnya. Ia meminum kopi hitam racikan tangan Bapak yang sudah menunjukkan semakin ditelan usia.
Bapak menghela napas kasar. Ia mengambil sebungkus rokok dan menyodorkannya pada Nirwa dan langsung diterima dengan cengiran lebar oleh Nirwa. Bapak menyalakannya satu untuk dirinya sendiri, menghirup dalam aroma tembakau itu dan membuangnya ke arah yang berlawanan dengan hidung Nirwa. Nirwa yang menjadikan bapak panutan sepanjang hidupnya melakukan hal yang sama.
”Kamu itu anugerah, Nir. Bapak kan udah pernah bilang, menunggu kamu lahir bapak dan ibu harus menunggu hampir sepuluh tahun. Jangan meminta maaf untuk kesalahan yang tidak pernah kamu perbuat. Bapak sudah menerima.”
Nirwa mengepulkan asap ke udara. ”Tapi, Bapak harus kehilangan pasangan hidup setelah aku lahir. Seandainya, aku tidak lahir barangkali hidup Bapak jauh lebih indah.” Jari telunjuk dan tengahnya mengapit rokok yang menyala, jeda sesaat sebelum ia menghisap lintingan tembakau itu. ”Kenapa Tuhan harus memberikan cobaan ini buat Bapak, padahal Bapak orang baik.”
Bapak mematikan rokoknya. ”Nirwa. Bapak sebenarnya kurang suka dengan topik kita pagi ini, tapi semoga jawaban Bapak membuat kamu berhenti menyalahkan. Takdir Tuhan itu ga ada yang buruk, Nir, andai-andai kamu itu belum tentu terjadi jika pun ada momennya. Apa yang sudah terjadi selama ini memang seharusnya terjadi. Bapak tidak pernah menyesal dengan kehadiran kamu. Bapak memang kehilangan ibu dan itu menyakitkan sekali, tetapi kamu adalah obat untuk kesembuhan Bapak.”
Nirwa mengambil satu batang rokok dan menyalakannya lagi. ”Tapi Pak, seandainya aku juga ikut ibu saat lahir di dunia ini, apa Bapak bakal baik-baik aja dan menerima?”
”Bapak tidak tahu harus butuh waktu berapa lama agar kembali hidup.”