Vandra meraih gelas cangkir ia menyeruput es teh buatan Luna.
"Gua kasih lo setengah dulu. Sisanya kalo semua tugas udah lo kerjain."
Luna kembali bertanya-tanya. 'Tugas? Tugas apa?'
Karena merasa penasaran. Luna nekat, ia turun dari kursi perkahan. Menyetel ponselnya dalam mode hening serta matikan data ponsel. Perlahan ia mempersiapkan perekam di ponsel, membuka pintu kamar pelan-pelan sambil menutupi pknselnya dengan nampan yang lupa ia letakkan kembali di dapur. Ia berjalan dengan penuh ketegangan saat melewati Arka dna Vandra di ruang tamu. Obrolan mereka terhenti saat Luna lewat.
"Dek," panggil Vandra tiba-tiba.
Luna mau tidak mau memberhentikan langkah. Jantungnya berdegup kencang ketika Vandra memanggilnya.
"Gua laper. Di sini ada tukang bakso gak ya? Mau minta tolong beliin boleh?" tanya Vandra mendadak.
"Bakso?" tanya Luna terheran.
"Iya, gua laper. Minta tolong beliin bakso di luar ya." Vandra merogoh saku celana memberikan selembar uang berwarna merah kepada Luna.
Dengan ragu Luna menerima uang itu. "Baksonya bakso apa ka? Urat apa telor?"
"Urat aja kalo ada."
"Oh, oke kak. Tapi saya mau ke kamar mandi dulu. Baru beli baksonya, boleh?" elak Luna supaya rencananya berjalan lancar.
"Iya boleh. Makasih ya," kata Vandra kembali.
"Iya, sama-sama kak."
Luna bergegas menuju dapur. Sebelum masuk ke dapur ia berhenti di ruang keluarga yang satubruangan dengan ruang tamu. Hanya dipisahkan oleh lemari besar supaya tidak terlihat dari ruang tamu.
Perlahan Luna menyalakan perekam di ponsel dia bertiarap untuk meletakkan ponselnya di bawah lemari kemudian mengambil sapu untuk mendorong ponselnya untuk bisa berada di bawah kolong sofa ruang tamu. Barang kali percakapan antara Arka dan Vandra bisa terdengar jelas di sana.
Luna menahan napas jantungnya sungguh berdetak kencang ketika melakukan tindakan itu.
Begitu ponsel itu tidak terlihat lagi dan merasa aman. Luna langsung berdiri dan berjalan ke kamar mandi berpura-pura seperti tidak terjadi apa-apa. Setelah itu, ia langsung keluar rumah membeli bakso tidak.Luna tangan serta kakinya ia basahi banyak supaya terlihat natural habis dari kamar mandi.
Sementara itu, ponsel Luna yang berada di bawah sofa merekam. Suara Vandra terdengar pelan, namun cukup jelas.
Luna duduk di bangku warung bakso sambil menunggu bakso yang ia pesan dengan perasaan gelisah dan cemas. Ia khawatir jika ponselnya ketahuan. Tetapi, ia juga merasa berhasil jika ia dapat merekam percakapan Vandra, itu bisa jadi bukti untuk membantu Andra.
Setelah menunggu pesanan bakso. Akhirnya Luna mendapatkan baksonya, ia buru-buru untuk pulang. Berharap obrolan mereka masih berlanjut dan ponselnya masih dalam keadaan aman.
Saat masuk ke dalam rumah Luna langsung menuju dapur dengan dalih menyiapkan mangkuk serta sendok. Perlahan ia kembali ke ruang keluarga mengambil kembali ponselnya gang berada di bawah sofa dengan bantuan sapu. Pelan-pelan ia menggiring ponsel ke arahnya kembali dan berhasil. Ia langsung mematikan perekam dan mematiak layar ponsel. Memasukkan ponsel ke dalam saku celana dan langsung menuju ruang tamu.
Luna spontan ke dapur untuk menuangkan bakso ke mangkuk dan mengambil nampan untuk tatakan mangkuk. Sesudah itu ia bergegas menuju ruang tamu untuk menyuguhkan bakso.
"Ini kak, baksonya," ucap Luna sambil menunduk meletakkan mangkuk tepat di depan Vandra dan Arka. Ia mencoba untuk tidak banyak bicara agar tidak dicurigai mereka.
Vandra menyambut dengan senyum tipis. "Makasih ya. Yuk, Makan. Enak nih kalo ada cewek di rumah." ajak Vandra pada Arka.
Luna tidak menjawab ia hanya membalas dengan senyum kaku. Cepat-cepat ia segera kembali ke kamar untuk mengecek rekamannya.
***
Di tempat lain, Banu ditemani Nata dan Ghani menyusuri jalan sekitar pos ronda. Mengamati tiap rumah yang kemungkinan ada CCTV. Barangkali dari CCTV tersebut ada yang mereka kejadian ketika pelemparan senjata tajam ke arah pos ronda. Yang membuat Andra dan teman-teman nya ditangkap oleh polisi.
Banu mengajak Nata sebab ia adalah anak ke tua RT di sana. Mungkin bisa lebih memudahkan untuk meminta warganya untuk memperlihagkan rekaman CCTV. Seperti saat ini mereka sedang melihat rekmaan CCTV di sebuah rumah dekat persimpangan jalan. Dalam video tersebut terlihat dua orang mengendarai motor tanpa plat nomor kendaraan. Mereka mengenakan jakét hitam helm full face sambil mengendong tas selempang berwarna hitam.
"Maaf pak. Berhenti di sini, zoom dikit video nya pak," pinta Banu serius.
Pemilik rumah menurut. Tayangan dilutar ulang dan diperbesar. Terlihat gerak-gerik mencurigakan dari pengendara motor tanpa plat dengan helm fullface.
"Itu, mereka ngebuang sesuatu tepat di pos ronda! Mana jalan dua pelan banget pas di lokasi. Terus pas udah bujang mereka langsung melaju cepat," gumam Ghani.
"Iya ya. Kayaknya mereka sengaja lewat situ. Kayak udah direncanaiin," imbuh Nata.
"Kalau kita bisa dapat CCTV dari rumah yang lebih dekat ke pos. Kita bisa lihat pas mereka lempar barang itu."
Nata pun izin untuk meminta video rekmaan CCTV itu dari Pak Tito. Setelah itu mengucapkan terima kasih kepada pemilim rumah. Selanjutnya Nata mengajak Banu dan Ghani menuju rumah Pak Jojo di mana letak rumahnya berada tepat di dekat pos ronda.
Sesampainya di rumah Pak Jojo, Nata berbicara kepada pemilik rumah. Karena status nya sebagai anak kedua RT, Pak Jojo dan warga lain yang memungkinkan memiliki rekmaan CCTV terkait kejadian Andra, menerima mereka dengan ramah.
Beberapa menit berlalu terlihat Vandra yang saat itu asik memainkan ponsel tiba-tiba pergi ke toilet dan tidak lama kejadian pelemlaran senjata tajam itu terjadi. Pengendara di belakang melemparkan sesuatu ke arah pos ronda. Di sana terlihat tas selempang hitam yang sedikit terbuka menampilkan senjata tajam dari balik resleting tas yang terbuka.
Terlihat juga salah satu teman mereka hendak membuka tas itu, namun Andra mencegah. Tak lama polisi datang. Saat mereka dikepung Vandra keluar dari toilet, dari mimik wadahnya si akan tidak terlalu terkejut akan kejadian itu.
"Itu dia," ujar Banu orlan. "Itu buktinya!"
Ghani pun juga ikut merekam menggunakan posnel sebagai antisipasi. Nata langsung kembali meminta video rekaman CCTV sebagai bukti ke dalam flashdisk.
Setelah mendapatkan apa yang diinginkan mereka pun berpamitan tak lupa untuk mengucapakan terima kasih. Tidak banyak waktu yang mereka habiskan sebab Nata harus pergi rapat OSIS, Ghani harus pergi latihan ekskul basket dan Andra memilih untuk pulang ke rumah.
Saat itu di depan rumah, Banu menghentikan laju motor dengan perwsaan tidak enak. Seperti ada sesuatu hal yang akan terjadi pada dirinya. Karena ditepat di depan rumahnya berhenti mobil polisi. Ada tiga orang polisi sedang berbivang pada terus rumahnya bersama sang Bunda.
Bagai petir di siang bolong. Tiba-tiba saja rumahnya kedatangan polisi. Banu dengan ragu menghampiri mereka sebab melihat sang Bunda yang seperti menahan emosi.
"Apa-apa ini Banu?!"
"APA YANG KAMU LAKUIN SAMPAI-SAMPAI POLISI DATANG KE RUMAH DAN MAU MEMBAWA KAMU?!"
Hal sana merasa benar-benar hancur hidupnya. Setelah ditinggal oleh Pradipta yang lebih memilih istri pertama nya. Dan kini, ia harus menghadapi permasalahan kembali. Yaitu, anak pertamanya harus terkena masalah hingga harus berurusan dengan polisi.
"Maaf, bu. Kami membawa surat perintab pemeriksaan.Nama Banu tercatat dalam laporan bahwa ia terlihat dalam pelemparan senjata tajam ke pos ronda. Kami perlu membawa Banu untuk diintrogasi."
Banu terdiam tidak bisa berkata napas merasa tercekat. Ia tahu ini pasti ulah Vandra, seperti yang dikatakan Andra. Bahwa Vandra membawa nama Banu sebagai dugaan pelaku sebenarnya.
"Kenapa kamu bengini, Banu?!" lirih Harsana.
"Enggak, bu. Aku justru lagi membantu mengumpulkan bukti biar Andra bisa bebas. Aku kak salah," suara Banu nyaris tak terdengar.
Salah satu polisi pun memborgol kedua tangan Banu. Ia segera membawa Banu pergi masuk ke dalam mobil polisi.
Di ruang interogasi, Banu duduk dengan tangan gemetar. Ia berusaha tenang. Dengan perlahan dan lugas menjelasakan semua kronologi yang terjadi termasuk mencerigakan terkait bukti CCTV yang baru saja ia dapat. Namun nasib sial ia dapat. Flashdisk itu menghilang dari kantung saku jaketnya. Hal itu membuat polisi curiga akan kasaksian Banu. Pada akhirnya Banu pun belum diperbolehkan untuk kembali pulang ke rumah.