"Yuk, Kal!"
Banu menarik tangan Kala yang sedang asyik melihat-lihat di pasar malam. Kala menoleh, matanya berbinar, tanda setuju dengan ajakan Banu.
"Kita cuci tangan dulu yuk di sana, Kal," ajak Banu sambil menunjuk ke tempat cuci tangan yang tidak jauh dari mereka.
"Ayo, Nu."
Kala berjalan mengikuti Banu, menatap wajah Banu yang tampak ceria, meskipun suasana pasar malam itu penuh dengan keramaian. Di sela-sela mereka mencuci tangan, Banu bertanya, "Abis ini mau ke mana?"
"Mau lukis yang di sana?" Kala menunjuk pedagang lukisan yang sudah mulai sepi pembeli.
"Ayo, boleh!" jawab Banu dengan semangat.
"Tapi kali ini aku yang bayar ya?" tanya Kala.
"Ya, ya.. ya.." pinta Kala dengan nada menggoda.
Banu hanya tersenyum gemas, mengusap pucuk rambut Kala. "Gantian ya, ya."
Kala tiba-tiba mengecutkan bibirnya, seolah merajuk. "Gimana ya? Masa cowok dibayarin," ujar Banu sambil tertawa kecil. Kala pun terlihat cemberut, wajahnya memerah.
"Em," Kala sejenak berpikir. Ia lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan uang lima puluh ribu, memberikannya pada Banu. "Ini, kamu pegang. Biar nanti kamu yang bayar," katanya dengan nada agak keras.
"Mana bisa gitu," protes Banu, tapi Kala tetap maju dengan bibir cemberutnya. Banu akhirnya mengalah. "Iya, iya. Ya udah sini," jawabnya, dan Kala langsung berseri-seri dengan senyuman lebar.
Setelah membayar, Banu mengandeng tangan Kala menuju pedagang lukis untuk memilih gambar. Mereka memutuskan untuk memilih gambar kartun BTS21, salah satu gambar favorit mereka berdua. Setelah memilih, mereka mulai menuangkan cat air ke kanvas masing-masing.
"Gambar yang ini warna merahkan, Kal?" tanya Banu sambil memastikan warna yang dipilih.
"Iya, Nu," jawab Kala, fokus pada lukisannya. Mereka seperti anak kecil yang asyik bermain, tidak peduli dengan apa pun di sekitar mereka.
"Kal, coba sini ibu jari kamu," pinta Banu. Ia mewarnai ibu jari Kala dengan warna merah dan menempelkan jari Kala pada kanvas, membentuk setengah love. Setelah itu, giliran Kala yang melakukan hal yang sama pada Banu. Seketika, kedua ibu jari mereka membentuk bentuk love yang sempurna di kanvas.
Setelah selesai, mereka berdiri dan melihat hasil karya mereka yang penuh warna.
"Makasih ya, Nu. Buat hari ini," ucap Kala, merasa puas dengan hasil lukisan mereka.
Banu tersenyum, "Iya sama-sama, Kal. Kapan-kapan jalan lagi yuk?" ajaknya.
"Boleh," jawab Kala, agak malu-malu.
"Oke sip!" Banu mengangguk, senang.
Mereka pun berjalan menuju rumah Kala. Sesampainya di depan pagar rumah, Banu berhenti dan berkata, "Ya udah, kamu masuk gih. Jangan lupa kunci pagarnya."
Kala menatap Banu dengan pandangan serius, "Aku nunggu kamu pergi."
Banu menggelengkan kepala, "Engga, Kal. Aku nunggu kamu sampai masuk rumah dan kunci pintu."
Kala mengangguk, akhirnya setuju. "Ya udah, kalau gitu aku masuk ya?"
Banu mengangguk dan mengusap pucuk kepala Kala, "Kamu kalau udah sampai kabarin aku, ya?"
Kala melangkah masuk ke rumah, dan Banu memastikan bahwa dia sudah aman di dalam. Setelah itu, Banu memutar motor dan hendak pulang. Belum sempat menyalakan mesin, tiba-tiba Andra muncul dari gerbang rumah Kala.
"Lho, Nu? Kebetulan lo di sini," ujar Andra yang baru saja keluar dari rumahnya.
"Ayo, kita nongkrong," ajak Andra.
"Ha? Em..." Banu berpikir sejenak. Ia tidak ingin terlalu lama, tapi Andra sudah duduk di kursi penumpang.
"Udah ayo! Kelamaan mikir lo!" Andra langsung duduk tanpa meminta izin, membuat Banu merasa terdesak.
"Ya udah, yuk!" jawab Banu akhirnya. Ia tidak bisa menolak ajakan Andra, apalagi Andra sudah terlanjur kecewa. "Bener ternyata kata Vandra. Lo udah berubah, Banu yang sekarang bukan Banu yang gua kenal waktu zaman SMP!" Andra terdengar kecewa, dan Banu mulai merasa bingung.
"Ndra! Tunggu!" teriak Banu saat Andra hampir pergi.
Banu bergegas mengejar dan berhenti tepat di depan Andra. "Ayo, naik lagi."
Andra tampak ragu, tapi akhirnya duduk kembali di motor. "Gua gak mau kalau lo terpaksa," kata Andra.
"Engga, gua gak terpaksa kok," jawab Banu. Ia tidak sadar bahwa pertemanannya dengan Andra sedang terancam.
"Ya udah, gini kan lebih enak," sahut Andra dengan senyum lebar.
Udara malam terasa lebih dingin saat Banu melajukan motor perlahan. Menembus gang sempit menuju pos ronda. Tempat mereka seeing berkumpul. Suara obrolan dan tawa khas remaja dari kejauhan terdengar samar. Saat sampai mereka melihat wajah-wajah lama yang dahulu begitu akrab dengan mereka. Ada Tama, sahil, kevin, alex dan Vandra.
"Wih, tumben kumpul?" tanya Tama saat melihat Banu dan Andra.
"Masih inget punya kita ternyata? Gua kira otak lo berdua udah beneran dicuci sama Ghani dan ketua osis itu. Ah, siapa lagi namanya gua lupa!" keluh Vandra.
"Nata!" sambung Sahil sambil tertawa.
"Nah iya itu! Gua kira otak lo udah dicuci sama mereka biar jadi manusia ambis!" cibir Vandra.
"Udah lah Van. Jangan gitu, yang pentingkan sekarang Banu kita udah kumpul lagi di sini. Yakan, Nu?" ujar kevin yang berusaha menengahi suasana.
"Mabar lagi coy!" sambung Tama.
***
Hampir satu jam Banu berkumpul dengan teman lamanya. Namun, meskipun suasana agak cair, Banu merasa tidak nyaman. Ia merasa seperti berada di dua dunia yang berbeda. Tiba-tiba perutnya terasa sakit, dan ia memutuskan untuk pulang lebih awal.
"Guys, sorry kayaknya gua mau balik," ucap Banu.
"Yaelah baru jam segini masa lo mau balik?" keluh Vandra.
"Ada apa sih lo? Udah gak betah sama kita? Ah iya sekarang lo udah beda sih, ya?" sindir Vandra.
Banu hanya tersenyum masam. "Bukan gitu, Van. Gua mules, pengen ke kamar mandi," jawabnya cepat.
"Yaila tinggal boker di samping pos sono," pungkas Tama.
"Bukan gitu, gua malu," jawab Banu buru-buru, dan dia langsung mengenakan jaket, bergegas menuju motor.
"Ada apa sih lo? Udah gak betah sama kita?" tanya Alex, tapi Banu tidak menanggapi.
"Andra, pulang yuk?" ajak Banu.
Vandra yang mendengar hal itu langsung menatap tajam ke arah Andra. Menyadari hal itu Andra pun bergegas menjawab, "Gua nanti aja pulang nya. Lo kalo mau duluan pulang gak apa-apa." Banu mengangguk paham.
"Ya udah kalo gitu gua duluan ya!"
Banu menyalami semua temannya. Ia segera melajukan motornya dengan cepat dan perlahan menghilang dari pandangan. Langit sudah benar-benar mengelap ketika Banu sampai diperempatan tidak jauh dari rumah Andra. Ia berhenti sejenak melihat ponsel barang kali ada pesan dari Kala. Tetapi, tidak ada. Mungkin Kala sudah tidur, pikirnya. Perasaan Banu mendadak cemas ia tidak tenang memikirkan Andra. Ada rasa tidak enak usai meninggalkan pos ronda, takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan oleh Andra. Pada akhir ia memutuskan untuk kembali lagi ke pos.
Sementara itu, di pos ronda, suasana mulai mereda. Tama dan Vandra sibuk memainkan game di ponsel masing-masing, Sahil duduk di pinggir jalan sambil ngemil, dan Andra berdiri sedikit menjauh, menghisap rokok sambil memandangi jalan gelap. Tak seorang pun menyadari motor misterius yang sudah mengintai sejak beberapa menit lalu, lampunya dimatikan, pelan-pelan melintas di gang seberang.