"Vandra," panggil Alea.
Viandra yang baru saja keluar dari toilet menoleh ke belakang ketika namanya dipanggil. Ia mengernyit bingung melihat Alea yang berada dihadapannya.
"Apa?"
"Gua mau tanya. Andra punya utang ke lo berapa?"
Vandra tertawa remeh mendengar Alea menanyakan jumlah hutang Andra. "Kenapa emangnya? Lo mau bayarin?"
Alea diam menatap Vandra tanpa ekspresi. Tapi ada ketegangan yang tidak bisa ia sembunyikan.
"Jawab aja. Gua gak lagi bercanda," ujar Alea.
Vandra mengangkat alis, sedikit terkejut dengan perkataan Alea. Ia bersekedap, lalu menatap Alea. Vandra membuang tusuk gigi yang ia gigit sejak tadi.
"Lima juta," kata Vandra. "Dua minggu yang lalu dia pinjam dua juta. Terus satu bulan yang lalu dipinjam tiga juta. Katanya buat bayar uang SPP sama LKS. Gak tau deh sisanya buat apa."
"Gak yakin gua kalo uang SPP bisa sampe lima juta," lanjut Vandra.
Alea mengangguk pelan. Ia merogoh saku bajunya membuka m-banking pada ponsel nya kemudian ia ulurkan ponselnya ke arah Vandra.
"Minta nomor rekening lo."
Vandra mengambil alih ponsel Alea untuk memasukkan nomor rekening nya. Sesudah itu ia kembalikan pada Alea. Dengan cepet Alea mengetik jumlah hutang Andra namun, tidak semua ia bayar. Alea hanya membayar setengah hutang Andra. Sisanya biar Andra sendiri yang membayar. Bukan karena pelit tapi, supaya Andra mengerti akan tanggung jawab. Alea hanya sedikit meringankan beban Andra.
"Udah gua TF setengahnya. Sisanya nanti nyusul. Lo jangan ganggu Andra lagi!"
"Kenapa emangnya?"
"Gua gak suka Andra lo ganggu."
"Kenapa lo sewot banget? Lo pacaran sama dia? Ngebela dia banget?" tanya Vandra penasaran.
"Gua cuma mau urusan Andra kelar dan lo gak pernah punya sodara? Atau ngerasain punya sodara yang perhatian sama lo ya?"
"Gua sama Andra sodaraan jadi gua gak mau ada satu orang pun yang ganggu dia! Ngerti lo?!"
"Sampe lo masih ganggu Andra gua laporan lo ke guru BK kejadian kemarin!"
Tanpa menunggu jawaban Vandra, Alea berbalik dan melangkah pergi. Suasana hening hanya ada terdengar suara langkah sepatua Alea menjauh dari lorong sekolah yang sepi.
Vandra memandangi punggung Alea hingga menghilang di balik tangga. Ia tersenyum samar, tapi bukan senyum kemenangan lebih tepatnya seperti senyum seseorang yang baru menyadari bahwa ia tidak bisa seperti Andra. Yang mempunyai saudara yang peduli terhadap kehidupannya.
***
Vandra mengebrak pintu kelas Andra. Saat itu Andra sedang melaksanakan piket kelas di mana hanya ada lima orang anak tiga siswi dan dua siswa. Vandra masuk ke dalam ruang kelas tanpa permisi. Ia langsung menghampiri Andra menarik kerah bajunya dan menyudutkan Andra ke tembok. Andra tidak bisa melawan Vandra karena cekalan kerah tangan Vandra yang kuat.
"Mau apa lo?" tanya Andra terbata.
"Gua punya berita baik buat lo. Utang lo itu tinggal bayar setengah ke gua jadi dua setengah juta. Tapi ada syaratnya," kata Vandra. Ia tidak mengatakan jika hutang tersebut setengahnya sudah dibayarkan oleh Alea.
Vandra melepas cekalan kerah baju Andra. Ia menatap ke empat teman sekelas Andra. "Apa lo liat-liat?! Urus aja urusan kalian!"
Vandra mendorong kursi kencang dengan kakinya. Hal itu membuat ke empat teman Andra takut dan melanjutkan kegiatan.
"Utang gua tinggal setengah? Maksudnya?"
Vandra tertawa. "Gak mau lo? Apa mau gua kasih bunga buat utang lo?!" pekik Vandra.
"Jangan!" jawab andra cepat.
Sejujurnya Andra muak dengan Vandra. Tetapi, ia harus bisa menahan diri. Ia sudah berubah. Ia bukan lagi Andra yang dulu, yang selalu mengikuti Vandra kemana-mana tanpa berpikir. Ia punya alasan sekarang.
Semenjak masuk SMA mereka menjadi jarang untuk main bersama sebab pikiran Andra sudah terbuka oleh Banu, Nata, Ghani, janu, kenzie, ganandra jika sekolah itu penting. Kita tidak bisa memilih untuk menjadi manusia yang memiliki banyak harta tapi, kita bisa memilih untuk menjadi manusia yang kaya akan ilmu dan adab.
"Apa syaratnya?" tanya Andra.
"Malem ini lo nongkrong sama gua di tempat biasa. Ajak Banu juga. Gimana mau gak?" Andra sejenak terdiam memikirkan usulan Vandra.
"Kalo gak mau ya udah. Tapi jangan salahin gua kalo besok ada yang berubah!"
"Gua pikir dulu. Nanti gua kabarin," jawab Andra.
"Okey."
Vandra pun menepuk bahu Andra ia lantas pergi ke luar ruang kelas. Ke empat teman sekelas Andra hanya memandangi tanpa bertanya. Usai pulang dari sekolah Andra masuk ke dalam kamar. Ia duduk di balkon kamar dengan ponsel berada di tangan tetapi sejak tadi tak tersentuh. Tidak lama layar ponselnya menyala menampilkan sebuah pesan. Dan pesan itu dari Vandra.
Jam 8 tempat biasa. Jangan telat, ajak Banu juga
Tarikan napas panjang terdengar dari Andra. Ia sedikit mengacak rambut. Ia bingung harus bagaimana masih belum yakin akan pergi atau tidak bahkan ia belum bilang apa-apa pada Banu. Jam layar ponsel pun terasa begitu cepat sudah menjukkan pukul setengah delapan malam.