"Oy!" teriak seseorang tepat di samping telinga Andra. Refleks, ia langsung menutup telinganya kanannya yang baru saja diteriaki.
"Apaan sih, lo! Bisa budek gua!" protes Andra kesal. Orang itu hanya tertawa tanpa meminta maaf. Bukannya sadar ia malah menambah kan kali ini di sebuah telinga kiri.
"Oy!" Andra berdecak emosi.
"Biar gak budek sebelah," katanya enteng. Andra berdiri dari kursi hendak memukul.
"Sialan lo, Nu!"
Orang itu adalah Banu, sahabat Andra sejak dibangku SMP. Ia menarik kerah baju yang Banu pakai.
"Maaf... Maaf, lo boleh bales ni di telinga gua."
Andra menarik napas panjang ia melepaskan cengkram kerah baju Banu. Tidak tega untuk membalas.
"Lo kok? Gak jadi?" tanya Banu heran. Biasanya anak itu tak segan membalas jika sudah merasa kesal tapi kali ini tidak. Banu menyodorkan tote bag berisi caliman kepada Anda.
"Bawain berat," pungkas Banu. Lalu, berjalan duluan menuju gerbang rumah Andra.
"Mana kuncinya? Biar gua bukain," tambahnya.
Tanpa menunggu jawaban, Banu merogoh saku baju Andra dan mengambil kunci rumah Andra. Ia pun langsung membuka kunci padan dan rumah Andra.
"Lo mau ngapain?" tanya Andra terheran. Sebab bukan hanya makanan yang di bawa oleh Banu, tetapi juga tas sekolah nya yang terlihat penuh.
"Gua nginep di sini, ya!" jawab Banu santai.
Andra terkejut. "Apa? Nginep?!"
"Ayo tunjukin di mana kamar baru, lo!"
"Di atas ya?" tanya Banu. Ia langsung menarik tangga rumah Andra tanpa menunggu jawaban.
Ia takjub saat memasuki kamar Andra matanya berbinar melihat keadaan kamar yang rapi dengan banyak panjangan Iron Man yang masih sama ketika ia pertama kali bermain ke rumah Andra. Saat kedua orang tanya masih bersama.
"Wih, kamar lo yang dulu ga berubah! Masih sama waktu pertama kali gua ke sini. Bedanya warna cat kamar yang memudar," ucap Banu kagum.
Dulu sebelum kedua orang tua Andra berpisah. Ini adalah kamarnya penuh dengan pajangan miniatur Iron Mana, tapi sekarang beberapa miniatur tersebut hilang mungkin diambil oleh Cakka. Meskipun begitu Andra tetap bersyukur karna seblum tinggal dengan Bara—papanya ia tak punya kamar pribadi. Dan biasa tidur di toko beras di atas kasur Palembang.
Andra hanya menarik napas, membiarkan Banu kembali menjelajah kamarnya seperti bernostalgia. Ia hanya duduk di atas kasur yang seperti sudah di ganti oleh Bara sebab lebih empuk. Namun, Banu tiba-tiba berhenti ketika membuka tirai jendela kamar. Matanya membelalak.
"Heh!"
"Itu—" Kalimatnya menggantung. Ia membuka tirai lebih lebar memastikan apa yang dilihatnya.
"Itu Kala?! Anikala?!"
"Sejak kapan lo tetangganya sama dia?! Kok lo gak bilang!" protes Banu.
Andra memilih merebahkan tubuh di kasur. Ia benar-benar lebih usai drama dengan Alea, kini giliran Banu.
Andra memilih merebahkan tubuh di kasur. Ia benar-benar lelah—setelah drama dengan Alea, kini giliran Banu.
"Heh Andra! Jawab pertanyaan gua, sejak kapan!"
Andra menarik napas panjang ia bangun dari tidurnya. "Gua juga gak tau. Mungkin dia tinggal di sana waktu gua gak di rumah ini."
Banu mengangguk mengerti. "Wah! Gua beneran mau nhinep di sini. Malam ini!"
"Apa?!" And4a terkaget dibuatnya. Ia pikir Banu hanya menitipkan tas seperti biasa. Ternyata dugaannya salah besar.
"Apa ya g harus gua bilang ke Papa soal kehadiran lo di rumah inj?!" pikir Andra cemas.
"Nggak! Ngak bisa!" tolak Andra.
"Kenapa? Ini kan kamar lo sendiri? Lo udah udah punya kamar sendiri nggak kayak dulu. Kenapa gal boleh?"
"Apa yang harus gua bilang ke Papa tentang lo?"
"Ya tinggal bilang gua nginep. Tiga hari, tujuh hari, kalau perlu selamanya," jawab Banu enteng.
Andra langsung melempar jaket miliknya ke arah Banu. "Gila lo! Bau tau!"
"Lo mau bunub gua?!"
"Kenapa sih? Om Bara juga tahu kita temenan. Masa gak boleh nginep?" Andra mengacak rambut frustasi. Mendengar Banu ya g sangat susah untuk dibilangin.
"Bukan itu masalahnya."
"Terus apa?" tanya Banu bingung.
"Oke oke. Gimana kalo lo nggak usah bilang ke Om Bara kalo gua nginep di sini? Toh, Om Bara juga jarang di rumah. Pas kita di rumah dia masih di kantor. Pas kita sekolah dia baru pulang. Dan Abang lo juga kan ngekost di Bandung."
Andra menimbang ucapan Banu. Ia merenung karena ada benarnya juga.Dan yang terpenting kehadiran Banu di rumahnya bisa mengusir perasaan sepi di rumah ini.
"Oke, gua sepakat!"
"Tapi, lo nggak boleh sering-sering. Seminggu cuma boleh dua atau tiga kali ya!"
"Deal?" tanya Andra memastikan.
"Deal!" Mereka pun berjabat tangan.
Malam itu Kala berdiri di balkon kamarnya. Tangan bersandar di tembok pemnatas. Dari balkon kamarnya ia dapat melihat jelas halaman rumah Andra—teman sebangkunya. Ia pun memilih duduk di lantai balkon sambil bersandar.
Disisi lain Andra dan Banu memilih membakar ayam sebagai santapan makan malam di halaman rumah.
"Anjir, Enak banget lo main comot!"
"Wey! Ayam gua jangan dimakan!" protes Banu.
"Itu masih ada banyak. Pelit amat sih lo!"
"Bukan gitu. Itu paha ayam kesukaan gua. Yang satunya udah lo makan ya!"
"Najis! Sama aja Andra. Lebay lo!"
Perhatian Kala teralihkan. Beberapa umpatan kasar terdengar jelas. Sejujurnya ia merasa tidak nyaman mendengar karena di keluarga nya umpatan tersebut terbilang tidak sopan dan tidak terdidik. Dibalik semua yang terlihat kacau. Mereka berdua terlihat sangat hangat dan bahagia. Selayaknya sahabat yangvtak lekang oleh waktu.
Kala melihat Baju dari kejauhan. Sejak insiden bola basket yang membuatnya pingsan dan diantar pulang oleh Banu serta menjadi partner olimpiade. Cowok itu selalu menarik perhatiannya
Usai memakan ayam bakar. Banu hang mengenakan kaus hitam dan celana denim. Ia mengambil gitar dan memetik gitar bernyanyi lagu runtuh dari febby putri.
Radar Banu tampaknya kuat. Ia menyadari jika seseorang sedang memeperhatikannya. Mata Banu langsung menatap ke arah balkon kamar Kala. Pandangan mata mereka saling bertemu. Banu pun tak segan melambaikan tangan ke arah Kala. Kala tersenyum tipis membalas lambaian tangan Banu.