Andra melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah menuju ruang tidurnya. Sampai di kamar, Andra bukannya tidur tetapi ia malah memandang kosong ke arah jendela tetangganya. Andra berada di balkon rumah kamar, ia kini masih terus memandangi balkon kamar tetangga yang letaknya sangat dekat dengan balkon rumah. Jarak rumah yang saling bersisian tidak mengherankan jika Andra hanya tinggal memanjat dan melompat sedikit saja mungkin ia telah sampai pada balkon rumah tetangganya itu.
"Abang, bisa pelan-pelan gak nyetir nya?" tanya Kala disela Aksa—abangnya asik menyelinap dan menyalip beberapa kendaraan.
Kala masih merasa dibuat tegang dan jantungnya berdegup kencang saat Aksa masih saja tak mendengarkan omongan nya. Kala semakin berpegangan erat pada kedua bahu Aksa.
"Abang! Pelan-pelan!"
"Berisik Lo, Kal! Udah diem aja ga usah komen!" sentak Aksa.
Aksa kembali menaik gas motornya bahkan lebih cepat. Dan ketika hendak sampai Aksa dengan arogannya memegang rem dengan mendadak. Membuat dahi Kala terbentur helm Aksa.
"Aduh," lirih Kala sembari memegangi dahi.
"Turun Lo cepet!" desak Aksa.
"Tapi belum sampai sekolah, bang?"
"Manja banget Lo! Tinggal jalan dikit doang! Udah turun cepet!" Kala mencebikkan bibirnya. Mau tidak mau Kala pun menuruti perintah Aksa.
"Udah gua bilang jadi orang tuh mandiri! Jangan apa-apa gua. Pulang sendiri berangkat sendiri, kek!" pekik Aksa, ia menatap tajam Kala. "Lo, ganggu tidur pagi gua!bye!"
Setelah itu, Aksa dengan cepat melesat pergi hilang dari pandangan Kala. Kala mendengus sebal.
"Hei!" ucap seseorang.
"Mau bareng sampai sekolah?" tutur seseorang itu pada Kala.
Spontan Kala menoleh ke arah sumber suara. Mendapati seorang anak cowok dengan seragam yang sama dengan nya. Cowok itu terlihat tidak asing dimata Kala.
"Hei? Mau bareng sampai sekolah?" ucapnya untuk kedua kali menawarkan Kala tumpangan.
Cowok itu menggoyangkan tangan kanannya di depan wajah Kala yang terlihat melamun. Ia memiringkan kepalanya. Kala pun tersadar dari lamunan mengedipkan kedua bola matanya berkali-kali.
"E... engga, makasih kak. Aku jalan kaki aja. Lumayan olahraga pagi," pungkas Kala.
"Benaran nih? Biasanya kalau pagi ada angsa yang suka nyosor gitu di ujung jalan sana."
Kala terdiam sejenak menganalisis ucapan cowok itu. Kala menatap cowok itu dan berkata, "beneran ada soang?"
Cowok itu menjawab pertanyaan Kapan dengan anggukan. Kala sangat takut dengan hewan bernama angsa atau soang. Karena ia memiliki pengalaman pribadi yang buruk dengan hewan itu.
"Boleh kak, aku numpang ya."
Kala dengan ragu-ragu menaiki motor cowok tersebut. Setelah memastikan Kala sudah benar-benar duduk di kursi belakang. Reandra atau Andra—cowok yang memberikan tumpangan pada Kala, melajukan motornya. Tidak ada percakapan sama sekali diantara mereka. Perjalanan berlanjut tidak lama hanya sekitar lima belas menit untuk sampai dari ujung jalan menuju sekolah.
Kala turun dari motor Andra setelah sampai di parkiran. Andra melirik sekilas Kala, usai mengambil kunci motornya dan memasukkan ke dalam saku baju.
"Ayo," ajak Andra yang melihat Kala masih berdiri di depan parkiran. Mereka berjalan beriringan. Beberapa pasang mata sesekali melirik kearah Andra dan Kala.
"Makasih ya, Kak. Maaf ngerepotin," kata Kala.
Andra mengangguk kan kepalanya. "Sama-sama. Engga kok ga ngerepotin sama sekali," jawab Andra.
"Btw jangan panggil gua, Kak. Kita seumuran," lanjut Andra.
Andra menghela nafas. Ia mengulurkan tangannya seraya berkata, "Kenalin gua Reandra. Lo bisa panggil gua Andra."
Kala menghentikan langkahnya. Tatapan Kala jatuh pada rambut hitam Andra yang berantakan dan baju sekolah yang tidak beraturan. Dua kancing baju yang tidak dikancing sehingga memperlihatkan kaos putih, baju seragam yang keluar dan dasi yang tidak rapi.
Kala mengulurkan tangannya menyambut tangan Andra dengan senyuman. "Salam kenal Andra Aku, Anikala. Kamu bisa panggil aku Kala."
Setelah itu, mereka masuk ke dalam sekolah. Bersalaman dengan beberapa guru yang sudah berdiri menyambut murid-murid. Usai bersalaman dengan guru Banu dan Kala lanjut berjalan memasuki lorong sekolah. Mereka berpisah sesudah menaiki tangga. Banu berbelok ke arah kanan dan Kala berbelok ke arah kiri.
"Dah Kala," ujar Andra.
Itu adalah pertama kalinya Andra berkenalan dengan cewek yang bernama Kala. Hari itu pertama kali Andra masuk SMA untuk menjalani mos. Dan saat pembagian kelas ternyata Andra berada di kelas yang sama dengan Kala. Dan saat itu juga bangku yang masih kosong adalah bangku di sebelah Kala. Sejak saat itu Andra sudah menjadi teman sebangku Kala. Dan kini, di kelas sebelas pun Kala menjadi teman sebangku nya lagi bahkan sekarang menjadi tetangganya. Namun, tidak banyak hal yang Andra tau tentang Kala.
Kala cewek yang sangat irit bicara seakan suaranya takut kehabisan bahan bakar. Tidak banyak orang yang mengenalnya termasuk segala teka-teki dihidupnya.
***
Tangan Andra mengepal ia menahan amarah sejak Vandra mendatanginya ia ingin sekali memukul wajah Vandra. Hanya karena Andra tidak setuju dan menolak ajakan Vandra, cowo itu menyatakan hal yang membuat hati Andra tersinggung.
"Cukup! Jangan paksa Gua!" pekik Andra.
"Gua bilang juga apa. Andra tuh sekarang udah beda. Dia yang sekarang bukan Andra yang dulu," cetus Tama.
"Lo sama aja kaya temen lo ternyata. Simanusia sok pinter itu. Siapa namanya? Gua agak lupa," pungkas Vandra sambil menggigit tusuk gigi.
"Lo yakin gak mau ikut? Ini menyangkut nama sekolah kita. Biasanya kalo udah menyangkut nama baik sekolah lo yang maju paling depan. Sekarang kok beda?" tanya Sahil yang kini duduk di samping Andra.
"Lo juga mau ambis kaya Banu,ya? Jadi orang sok pinter?" sindiran tak terduga keluar dari mulut Tama.
"Kayaknya iya, ya?" sahut Vandra menghampiri Andra menatap nyalang Andra. "Otak lo juga udah kecuci kaya Banu kali ya? Karena keseingan main sama si ketua osis itu," cetus Vandra.
Andra sudah muak dengan semua kelakuan teman-teman nya. Ia berdiri dan lantas menggendong tas dipundak kanannya.
"Gua pamit," tukas Andra.
Andra keluar dari warung kopi mang Ijal dengan perasaan tidak keruan. Ia melangkah sambil menendang kaleng bekas yang ditemukan dioinggir jalan. Suara tendangan kaleng Andra cukup menyaring mengingat suasana perubahan yang sepi.
"Oy!"
Sebuah tepukan mendapat dibahu kanan Andra. Refleks Andra menepis tangan itu Andra berpikir takut orang itu sedang melaksanakan tugas menghipnotis orang. Andra melangkah cepat tanpa mau menoleh. Seseorang yang baru saja menepuk bahu Andra terdiam sejenak, lalu tertawa terbahak-bahak lantaran geli melihat tingkah Andra.
"Andra! Tungguin ih!" Suara teriakan cempreng itu sukses membuat langkah Andra terhenti.
"Lo kenapa sih!"
Alea menghadang jalan Andra. Andra yang melihat sepupunya itu menarik napas panjang. Dari berjuta manusia yang ada kenapa ia malah bertemu Alea sepupunya yang menyebalkan.
"Apa sih!" kelakar Andra.
Mendapat respon tidak baik dari Andra Alea malah merenggek.
"Kamu kenapa marah-marah si. Aku salah apa? Gak boleh marah-marah nanti cepat tua!" keluh Alea. Ia mencubit kedua pipi Andra sampai memerah.
"Stop! Stop Alea," imbuh Andra melepaskan tangan Alea dari pipi nya yang kini mulai merasa memanas akibat cubitan dari Alea.
"Lo kenapa di sini? Bukannya lo harus istirahat?" tanya Andra heran.
"Udah pulang sana. Jangan ganggu gua!" usir Andra.
"Anterin!" Alea menarik lengan Andra. Berjalan berlawanan arah dari rumah Andra.
"Aish anak ini," ungkap Andra.
"Bunda nanyain lo. Lo lama gak main ke rumah. Gak kangen masakan Bunda apa."
Andra terdiam tidak membantah pernyataan Alea karena itu benar. Ia sungguh kangen memakam masakan tante dahlia.
Kini mereka telah sampai di rumah Alea. Rumah penuh kehangatan yang tak pernah Andra rasakan di keluarga nya sendiri. Saat Alea membuka pintu benar saja tante dahlia sudah berjalan ke arah pintu menyambut hangat Alea dengan pelukan.
Dahlia menyadari akan kehadiran Andra—keponakannya. Ia pun menyambut Andra dengan senang hati. Andra mencium punggung tangan Dahlia sebelum dipersilahkan masuk.
"Kamu ganti baju dulu ya, Lea. Baru makan," ujar Dahlia.
"Kamu makan siang di sini juga ya, Andra." ajak Dahlia.
"Ee—"
"Makasih tante. Tapi saya cuma mau anterin Alea aja."
"Jangan nolak. Kamu kaya siapa aja."
"Apa makanan tante gak enak ya?" tanya Dahlia risau. Sudut bibir Dahlia tertarik kebawah.
Pupil mata Andra melebar ia langsung mengelangkan kepala mendangar perkataan Dahlia. "Masakan tante paling enak sedunia! Siapa yang bilang masakan tante gak enak!"
Dahlia tersenyum dan mengusap lengan Andra. "Kalau enak makan siang di sini ya!"
Dahlia menarik lengan Andra memintanya duduk di ruang tamu. Sementara Alea sudah naik ke kamar mengganti baju.
"Tante tinggal dulu ya siapin makanan."
Andra duduk dengan senang hati. Matanya sesekali menelusuri tiap foto yang per panjang di rumah Alea. Banyak foto masa kecil Alea yang mengemaskan serta beberapa lukisan alam yang Andra sudah pasti kan itu adalah lukisan milik Alea. Gadis itu pintar melukis.
"Andra!"
"Yuk makan. Gua udah laper!" ajak Alea.
"Oh oke."
Andra melepaskan tas nya. Dan melangkah menuju meja makan. Di sana Alea membantu tante Dahlia mengambil piring setelah itu mereka duduk bersama.
"Dahlia menyendokkan nasi ke Alea dan Andra." Andra mendadak terdiam manikmati kebersamaan ini. Yang tak pernah ia rasakan ketika tinggal bersama Mara.
"Lauk nya ambil sendiri bisa kan, Andra?"
"Bunda gak tau kamu sukanya apa." Kali ini gantian Dahlia yang terdiam akan perkataanya.
"Tante maksudnya," ulang Dahlia meralat perkataan ya.
"Bunda juga gak apa-apa kan, Ndra? Biar gua sama lo bisa jadi abang adek?" Alea menaik turun kan kedua alisnya.
"Emang nya gak apa-apa tante?" tanya Andra memastikan.
"Ya gak apa-apa banget Andra. Tante justru senang jika kamu panggil tante itu. Bunda."
"Biar tante bisa merasakan punya anak cowo juga."
Andra hanya mengangguk dan muncul segaris senyuman kebahagiaan dari bibir laki-laki itu.
"Ayo ambil lauk nya. Kamu mau apa?"
"Pake sayur ya biar seger. Bunda ambilin," ujar Dahlia.
"Terima kasih, Bunda." Dahlia tersenyum mengusap lengan Andra. Mereka pun makan siang dengan penuh kebahagiaan