"Lo bisa kerja gak sih?!"
"Lama banget!"
"Gua nyekolahan lu gak cuma-cuma ya! Kerja yang bener!" Pekik Alfian yang memukul betis Anda dengan kesal.
Andra hanya bisa menarik napas panjang tanpa bisa membalas. Ia kemudian kembali dengan rutinitasnya menjadi kuli panggul beras diusaha toko beras milik Alfian-ayah tirinya.
Kalau boleh jujur Andra sangat lelah jika setiap pulang sekolah harus membantu Alfian. Ditambah semenjak pagi ia belum makan. Hanya air putih sebagai pengganjal perutnya.
"Yang bener!"
"Atau kaga gua bayarin SPP lo!" imbuh Alfian kembali.
Andra menaruh karung beras 10 kg ke dalam gudang. Ini sudah yang ketiga kali ia bolak balik dari mobil menuju gudang bersama pekerja lain. Andra menyeka keringat pada pelipisnya.
"Ayo cepetan lama banget sumpah lo!"
Andra bergegas lari menuju mobil truk pengangkut beras. Saat sedang bersiap kembali mengangkut beras yang ingin ditaruh pada punggung Andra. Ia tidak kuat tiba-tiba merasa pusing dan karung beras pun terjatuh. Sialnya karung itu bocor dan Alfian mengetahui.
"Beras gue! Gimana sih lo!"
Belum sempat Andra berdiri Alfian sudah bersiap memukul Andra dengan kayu rotan yang ia bawa. Ia memukul punggung serta betis Andra berali-kali.
"Ampun yah, ampun," lirih Andra.
"Andra gak sengaja, maafin Andra."
Tetapi, Alfian seakan menulikan pendengarannya ia masih memukul Andra hingga puas. Tanpa menghiraukan para pekerja yang terhenti menyaksikan kejadian itu.
"Mas! Stop!" Teriak Mama dari kejauhan.
"Malu diliatin orang!" Alfian tersadar.
"Apalo semua! Kerja sana!" Teriak Alfian pada para pekerja.
"Kamu ngapain ngotorin tangan kamu buat mukul anak itu. Capek-capek in," jelas Mara-ibu kandung Reandra.
"Pulang sana. Ganti baju. Jemurin baju-baju jangan lupa. Baju gue belum dijemur," kata Mara tanpa sungkan pada Andra.
Andra tak manjawab ia hanya bergegas bangkit dan mengambil tasnya. Hendak berpamitan dengan kedua orang tuanya tapi salam dari tangan Andra ditepis.
***
Hujan deras mengguyur sore itu, membasahi tubuh Andra yang lelah. Ia duduk di bawah pohon mangga di belakang rumah, punggungnya menempel pada batang pohon yang kasar. Tubuhnya terasa remuk, bekas pukulan rotan Alfian masih terasa perih. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya.
"Lo bisa kerja gak sih?!" bentakan Alfian masih terngiang di telinganya.
Sejak tinggal bersama Alfian, Andra tak pernah lepas dari perlakuan kasar seperti itu. Alfian, ayah tirinya, lebih tepatnya majikannya. Selalu memperlakukannya seperti budak. Setiap hari, Andra harus bekerja keras di toko beras milik Alfian tanpa henti.
Andra teringat masa kecilnya. Dulu, ia hidup bahagia bersama orang tuanya. Mereka sangat menyayanginya. Namun, takdir berkata lain, orang tuanya bercerai. Sejak saat itu, hidupnya berubah drastis. Ia tinggal bersama Mara dan Alfian, yang ternyata memiliki sifat yang sangat berbeda ketika mengasihi Cika yang merupakan adik kandung nya juga.
Alfian adalah sosok yang keras dan kejam. Ia tidak pernah memperlihatkan kasih sayang sedikit pun pada Andra. Bagi Alfian, Andra hanyalah tenaga kerja murah yang bisa dimanfaatkan untuk mengerjakan semua pekerjaan kotor.
"Andra!" teriak Alfian dari dalam rumah.
Andra bergegas masuk ke dalam rumah. Alfian sudah menunggu dengan wajah memerah. "Lo kemana aja? Cepetan siapkan makan malam!" bentaknya.
Andra menurut. Ia memasak dengan hati yang berat. Setiap kali ia memasak, ia selalu berharap bisa memasak untuk orang tuanya. Namun, harapan itu hanya tinggal harapan.
Setelah makan malam, Andra kembali ke toko beras, tempat ia beristirahat. Ia tidak memilki kamar yang layak, toko beras adalah kamarnya. Ia menatap langit-langit toko beras yang retak. Di toko inilah ia menghabiskan sebagian besar waktunya. Ia merasa sangat kesepian dan terisolasi. Tidak ada seorang pun yang bisa ia ceritakan tentang masalahnya.
Masih teringat dengan jelas dikepala Andra saat Bara dan Mara sebelum berpisah mereka ribut besar.
"Kita pisah!"
"Aku bawa Cika," pungkas Mara.
"Aku bawa Cakka," lanjut Bara.
"Kamu sekalian bawa Andra," kata Bara.
"Gak mau! Kamu aja yang bawa Andra!" protes Mara.
"Aku udah bawa Cakka!"
"Aku juga udah bawa Cika!"
"Cika kebutuhannya belum banyak. Kalo Cakka sebentar lagi masuk SMA banyak biaya yang harus aku keluar kan!"
"Maksudnya kamu apa, Mas?" tanya Mara.
"Kamu gak mau biayain Cika?!"
"Engga! Cika bukan anak aku! Dia pasti anak selingkuhan kamu!" Pekik Bara. Mara penuh emosi menampar Bara. Bara terkekeh.
"Benarkan yang aku omongin?"
"Andra juga anak selingkuhan kamu 'kan?"
Andra yang saat itu masih duduk di kelas tujuh SMP merasa hatinya hancur mendengar percakapan itu. Ia tidak pernah menyangka bahwa dirinya menjadi objek pertengkaran orang tuanya. Dengan langkah gontai, ia masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Keesokan paginya, Andra terbangun dengan perasaan hampa. Rumah terasa sangat sunyi. Ia mencari-cari keberadaan Bara, Mara, Cakka, dan Cika. Namin, mereka sudah tidak ada. Baru saat itu Andra menyadari bahwa hidupnya telah berubah selamanya.
"Assalamualaikum."
"Assalamualaikum." sahut seorang anak perempuan bersama sang ibu.
Andra yang terduduk di lantai sambil meringkuk seakan menemukan secercah harapan. Ia lantas bergegas membukakan pintu.
"Bude!" Andra tehambur dalam pelukan bude yang merupakan kakak dari Papanya. Ia bersama Alea agak kandungnya.
"Ayo main ke rumah bude dulu yuk. Kamu pasti belum makan kan?" ajak bude.
Andra merasa seperti menemukan pelabuhan di tengah badai. Ia langsung memeluk Bude erat-erat.
Hampir tujuh bulan Andra tinggal bersama Bude, Pakde dan Alea. Namun, tiba-tiba saja Mara menjumput Andra dan mengajaknya tinggal bersama. Andra pikir hidupnya akan lebih baik dan akan kembali merasa punya keluarga utuh. Tapi, dugaan Andra ternyata salah besar.