"Aku Kayaknya udah tak bisa untuk ngurus Andra."
"Terus mau kamu bagaimana?"
"Ya aku mau kamu yang gantian ngurus dia."
"Aku sudah mengurusnya sejak kita pertama berpisah. Sejak Andra SMP dan sekarang SMA."
"Hahaha... Kau yang mengambilnya dari kakakku. Lantas kenapa sekarang aku yang harus mengurusnya?"
"Kau Ayahnya! Kau yang lebih bertanggung jawab akan hidup Andra!"
"Aku tidak mau. Kembalikan saja dia ke kakakku!"
"Orang gila!"
"KAU AYAHNYA! KAU YANG SEHARUSNYA BERTANGGUNG JAWAB!"
"AKU TIDAK PEDULI!"
"AKU AKAN TETAP KIRIM ANDRA KE RUMAHMU!"
Tut..
"HEY!"
Andra yang sedang berada di kamarnya, mendengar percakapan orang tuanya dengan jelas. Hatinya terasa hancur berkeping-keping
Panggilan telepon terputus begitu saja. Bara lantas menendang kursi ruang tamu yang kebetulan berada di depan nya saat ia baru saja selesai menerima telepon dari Mara.
"Dasar perempuan ga jelas!"
"Bisa-bisanya dia memberikan Andra pada aku!"
"Anak yang tidak punya masa depan!"
Keesokan harinya Mara mengantar Andra ke rumah Bara.
"Ayo cepetan Andra taxi nya sudah menunggu!"
Andra bergegas mengenakan jaket hoodie cokelat sebelum berangkat. Andra menatap Mara—Mamanya dengan tatapan kosong.
"Kenapa tiba-tiba Andra harus tinggal sama Papa?" tanya Andra. Ia sungguh bingung dengan keadaan.
Mara menghela napas. "Kamu sudah besar, Andra. Kamu harus mengerti situasi kita!"
"Ayo cepat masukin barang-barang kamu ke mobil." Perintah Mara.
Andra mengangguk pelan. Dalam hati, ia bertanya-tanya, kesalahan apa yang telah ia perbuat hingga harus menanggung semua ini.
'Apa karena kejadian kemarin numpahin beras. Jadi Ayah Alfian marah sama gue?' batin Andra dalam hati.
Andra duduk sendiri di balkon kamar. Manik matanya mengikuti alunan angin malam yang menerpa wajahnha. Sejak tadi ia terus menatap layar ponsel berharap ada pesan dari kedua orang tuanya Bara dan Mara.
Sejak diantar Mara ke rumah Bara tadi siang, tak ada satupun pesan atau panggilan yang ia terima. Begitu halnya dengan Bara sejak menerima nya di rumah siang tadi dan setelah Mara pulang. Bara lantas pergi entah kemana tanpa sepatah kata pun. Yang Andra lihat sendiri dari balkon kamar nya.
Keheningan menyelimuti rumah besar ini. Dinding-dinding seakan berbisik tentang kesepian yang ia rasakan. Saat tinggal bersama Mara dan Alfian meski sering bertengkar setidaknya ada sedikit kehangatan keluarga yang ia rasakan. setidaknya ada Cikka adiknya yang masih duduk di kelas satu SD yang selalu ceria. Cikka sering bertanya hal-hal aneh yang Andra merasa bagaimana bisa anak sekecil itu terpikirkan untuk menanyakan hal tersebut, seperti 'Kenapa bumi bulat.' dan 'kenapa pegunungan bisa terbentuk.'
Bel rumah berbunyi membuyarkan lamunan Andra.
"Paket makan malam, Andra!" teriak ojek online pangantar makanan dari luar.
"Sebentar pak! Tunggu!" teriak Andra dari lantai dua.
Andra bergegas mengambil uang dan turun ke bawah. Ia memesan nasi goreng porsi jumbo untuk mengganjal perutnya yang keroncongan. Sejak tadi sore, ia belum makan apa-apa.
"Ini, dek makanannya," ujar pengantar makanan tersebut.
"Oh iya pak. Ini uang nya ya pak, terima kasih," ucap Andra sambil memberikan senyuman.
Sesudah menerima makanan Andra bergegas masuk ke rumah menuju meja makan. Ia betul-betul kelaparan. Ia memesan nasi goreng ditoko online yang pastinya porsi besar akan membuat cacing-cacing diperutnya kekenyangan.
Sambil menikmati makan malamnya, Andra kembali memikirkan nasibnya. Ia merasa seperti bola pingpong yang terus dibolak-balik oleh orang tuanya. Dulu, ia tinggal bersama Mara, lalu sekarang harus tinggal bersama Bara. Kapan ia bisa memiliki kehidupan yang tenang dan stabil?
***
"Aw!" Tepukan keras pada pundak kanan dari Alea—sepupunya yang cukup kuat membuat Andra meringis sakit.
"Lebay lo!" Alea mengambil posisi duduk tepat dihadapan Andra.
Suasana kelas sepi setelah bel istirahat berbunyi. Para siswa lebih memilih untuk duduk di kantin dan taman sekolah dibandingkan di dalam kelas.
Alea mengigit roti isi bekal makan siang dari Bundanya.
Andra refleks mengambil satu bagian dari bekal Alea. Mengingat ia belum sarapan sejak berangkat sekolah dan Bara tidak memberikanya uang jajan.
"Ish!" Alea yang melihat Andra makan rotinya dengan lahap hanya bisa mendesah pelan.
"Kebiasaan."
"Kali-kali lo bawain gue bekal sarapan dong!" cetus Andra. Pernyataan itu membuat Alea mendelik.
"Jangan mimpi!"
"Sana minta sama pacar lo!"
Andra refleks melesu, "Gue pak punya pacar."
"Dita kan ada."
"Dia kan mantan gue bukan pacar gue."
"Tapi kan dia masih ngejar-ngejar lo! Lumayan kan lo manfaatin minta bekal sarapan sama dia," usul Alea.
"Orang gila!"
Andra menyentil dahi Alea. Gadis itu meringis kasakitan sambil mengusap dahinya yang habis disentil oleh Andra.
"Btw." Alea merogoh saku bajunya ia mengambil amplop titipan dari Ayahnya untuk Andra.
"Titipan dari Ayah buat lo." Andra mengernyit.
"Lo simpen aja. Itu pasti uang kan?" Alea menggeleng tegas ia lantas memasukkan amplop tersebut ke dalam saku baju Andra.
"Gue gak bisa terima uang saku dari Om Iyan terus," jelas Andra.
"Terus lo suruh gue nilep uang itu?" Alea menutup kotak bekalnya yang sudah habis dimakan oleh Andra bukan dirinya.
Andra tertawa pelan. "Bukan gitu. Gue cuma gak enak hati sama Om Iyan. Harus jadi beban buat dia. Padahal orang tua asli gue ga peduli sama gue."
"Lo bukan beban. Siapa yang bilang lo beban? Lagi pula juga Ayah udah anggap lo itu anaknya, selain gue."
"Lagi kenapa sih lo gak mau tinggal di rumah gue?" tanya Alea.
Alea masih ingin mengungkapkan sesuatu tapi, bel masuk sudah berbunyi Alea bergegas pergi kembali ke kelas tanpa menunggu jawaban dari Andra.
***
Bel pulang sekolah telah berbunyi. Andra bergegas merapikan buku-buku ke dalam tas. Ia melangkahkan kaki keluar kelas usai guru mata pelajaran matematika keluar dari kelas.
"Gas ke warkop mang Ijal!" Vandra langsung merangkul bahu Andra setelah melihat Andra keluar dari kelasnya.
"Gue hari gak ikut dulu," kata Andra.
Sahil mendelik padahal ia sedang fokus bermain game di ponselnya. "Kenapa lo?"
"Gue tau pasti gara-gara Banu, kan?" tanya Tama.
"Bener gitu?" Vandra memastikan.
Andra mengeleng tegas. "Bukan, gue lagi gak enak badan aja."
"Kenapa lo bilang gara-gara Banu?" tanya Andra. Ia sénsitif jika ada yang membawa-bawa nama sahabat sejak SMP nya itu.
Andra menatap lurus Tama. Ia memilih tak menjawab. Merasa tidak mendapat jawaban Andra langsung pergi begitu saja.
Andra memasang earphone pada kedua telingganya untuk menghilangkan kebosanan. Sekarang jarak dari rumah menuju sekolah tidak terlalu jarak hanya sepuluh menit. Berbeda ketika ia masih tinggal berasa Mara ia butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di sekolah.
Perjalanan menuju rumah cukup sepi tidak banyak orang yang berlalu lalang. Sesekali Andra menendang batu kerikil atau botol kosong yang menghalangi jalan.
Andra merogoh saku ransel untuk mengambil kunci pagar rumah. Setelah ketemu ia lantas mengeser pagar dan mengambil kunci itu kembali. Ia memilih tak mengkunci pagar rumah barang kali Bara—Papanya akan pulang jadi tidak perlu lagi membuka kunci pagar rumah.
Sampai di dalam kamar Andra melepas earphone dan tas ransel yang ia kenakan tidak lupa juga mengganti pakaian sekolah dengan baju rumahnya, tidak lupa mencuci kaki sebelum naik ke atas tempat tidur. Hal yang selalu Mamanya ingatkan pada Andra. Meski sebenarnya selalu dengan nada tinggi ketika mengingatkan Andra padahal dirinya bukan lagi anak kecil.
Andra menarik napas panjang tumbuhnya sudah berbaring di atas tempat tidur yang empuk tidak seperti di rumah Alfian. Kasur palembang dan ruangan sempit yang ia dapat. Padahal kamar Alfian, Mara dan Cikka dengan kasur springbed. Berutungnya sekarang ia bisa merasa kan tidur di kasur itu sekarang dengan kamar yang cukup luas dan tak lupa ada AC di dalamnya.