And, within the bad situation, you’ll see the worst.
It doesn’t matter if you cry.
-AR-
“Aku bisa nawarin konseling ke psikiater lain kalau kamu nggak nyaman konsul di rumah sakit, Jun. Nggak usah menggalau sampai pergi, ya?” bujuk Patrick yang langsung menyambangi apartemen sahabatnya itu bersama Tania, sang istri.
“Ini bukan soal konsul, Rick. Nggak bisa aku maksain stay sementara aku cuma bikin susah Poli Jantung. Kamu, Siska sama Edo. Nggak deh.”
“Jun, ini itu …”
Tania menahan tubuh suaminya. Memahami sedihnya Patrick karena sedikit banyaknya, Juna sudah berperan cukup banyak di kehidupan Patrick. Termasuk di masa-masa Patrick yang bercerai darinya waktu itu.
“Mas Bhumi, udah. Ya?” bujuk Tania sembari mengelus dada suaminya agar tenang. Mendengar nama kesayangan yang disematkan Tania untuknya, Patrick sedikit lebih rileks. Hal yang otomatis mengundang senyum Juna
“Mau berapa lama perginya, Kak?” tanya Tania pada Juna.
“Nggak tau. Yang nyewa apartemen sudah bayar uang sewa selama dua tahun.”
“Barang-barangnya?”
“Aku sewain full furnish.”
Tania mengangguk-angguk. Sepertinya keputusan yang diambil oleh seniornya itu sudah sangat matang.
“Rencananya mau ke mana aja, Kak? Singapura? Budapest?”
“Nyoba ke Belitung dulu. Merenung. Habis itu mampir Kalimantan bentar bar uke pulau lain.”
“Di Indo aja?”
“Hm. Aku usahain balik buat nengok habis kamu lahiran. Biar Patrick nggak tantrum.”
Mendengar candaan itu, Patrick menghela napas kesal. “Kamu yang banyak usaha bantuin aku dapetin Tania lagi bareng Ken, Niko, Samir sama Saka. Nggak ridho aku kalau sampai kamu nggak hadir pas cebong keduaku launching.”
“Mas! Ini tuh janin. Bukan kecebong,” protes Tania.
“Hasil dari kecebong aku, Sayang. Itu maksudnya.”
“Mesum! Ini tempat umum. Obrolannya itu dikondisikan.”
Juna terkekeh mendengar perdebatan suami istri yang terdengar amat manis itu. Hal yang tidak pernah dia miliki selama lima tahun pernikahannya, Kalau diingat kembali, dia tidak memiliki momen manis seperti ini bahkan di awal pernikahannya. Mungkin memang benar, dia hanya sedikit tidak beruntung soal cinta dan pernikahan. Itu saja.
“Kapan kamu berangkat ke Belitung-nya?” tanya Patrick setelah menyudahi perdebatan manisnya dengan sang istri.
“Pesawatnya berangkat besok jam sembilan pagi. Kemungkinan aku udah stand by di Seotta jam tujuh.”
“Mau aku anter?”
“Nggak deh. Aku naik ojek aja. Bawaanku nggak banyak kok.”
“Serius?”
“Rick, jangan tantrum deh.”
“Aku cuma mau berbuat baik. Takutnya kamu malah kenapa-napa kalau dibiarin ngelamun.”
“Nggak bakal ngapa-ngapain juga kok. Bukannya aku udah bilang kalau aku nggak bakal berbuat bodoh. Orang jahat kaya aku, harus Panjang umur untuk menyesal, kan?”
.
.
.
Suasana hening subuh hari. Jalanan Jakarta mulai menggeliat dengan banyaknya budak korporat memulai hari. Berdesakan di kereta melawan kantuk demi rupiah yang tak seberapa jika dibandingkan dengan lelahnya proses mengais upah.
Juna melamun di atas kursi kereta. Menikmati sensasi tubuhnya terayun-ayun sembari memikirkan langkahnya hari ini.
Pergi. Melarikan diri.
Apapun istilah yang dipilih orang lain demi menggambarkan apa yang saat ini dia jalani, Juna sama sekali tidak keberatan dengan itu. Dia memang ingin pergi. Jika saja pergi bisa menjadi jawaban berhentinya segala mimpi buruk itu.
Menghibur diri sesat sebelum bersiap melakukan penebusan atas dosa-dosanya sebagai manusia. Bukan dengan mengakhiri kehidupan. Tapi berjalan dalam kesepian sembari menyesali apa yang sudah terjadi dalam kehidupannya. Sepanjang hidupnya. Hingga menutup mata nanti.
.
.
"Para penumpang yang terhormat, kami telah mendarat dengan selamat di Bandara Depati Amir. Demi keselamatan dan kenyamanan bersama, mohon tetap berada di tempat duduk Anda dengan sabuk pengaman terpasang hingga pesawat berhenti sepenuhnya dan tanda sabuk pengaman telah dipadamkan. Sebelum meninggalkan pesawat, harap pastikan tidak ada barang pribadi yang tertinggal. Atas nama Maskapai Gentala dan seluruh kru yang bertugas, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Anda terbang bersama kami. Kami menantikan kesempatan untuk melayani Anda kembali pada penerbangan mendatang."
.
Pengumuman pramugari itu membuat Juna mengalihkan tatapannya dari jendela. Pria itu menghembuskan napas beberpa kali sebelum bersiap melepaskan sabuk pengaman tepat setelah lampu tanda sabuk pengaman mati. Sembari mengamati beberapa orang yang sudah berdiri mangambil bawaan mereka di kabin masing-masing.
Tiba di area penjemputan, Juna tersenyum mendapati Aris, teman baiknya selama koas, tengah melambaikan tangan ke arahnya bersama dengan putranya.
“Lancar penerbaangannya, Jun?” tanya Aris ramah yang hanya dibalas anggukan oleh Juna.
“Yuk masuk dulu ke mobil. Habis itu jelasin kenapa kamu ke sini dadakan.”
Juna hanya terkekeh mendengar gerutuan itu. Dia memang mengabari Aris nyaris last minute sebelum pesawatnya lepas landas.
“Keluarga pa kabar? Semua oke?” tanya Juna basa-basi.
Aris menghela napas panjang sembari sesekali melirik ekspresi Juna. “Bukan soal keluargaku yang mau aku omongin. Aku tadi telpon Patrick. Dia bilang kamu emang agak aneh belakangan. Malah tiba-tiba minta resign. Ada apa?”
“Capek aja.”
“Capek jadi dokter?”
Juna tersenyum tipis. “Capek jadi tangan kanan tuhan tiap hari tapi justru jadi malaikat pencabut nyawa buat istri sama anak sendiri.”
“Jun …”
“Aku nggak sanggup angkat mess bedah lagi. Nggak untuk saat ini. Aku nggak yakin aku cukup heroik buat selametin orang lain. Orang yang kaya aku gini … bukannya sudah nggak layak jadi penolong?”
Sekali lagi, Aris menghela napas panjang. “Udah konsul sama bagian Psikiater nggak? Kayanya emang dibutuhkan.”
“Nggak sanggup membicarakan luka, Ris. Mereka bakal ngajak ngobrol soal luka yang belum kering.”
“Tapi posisinya kamu lagi butuh. Kalau kaya gini terus dibiarin, takutnya tambah menjadi.”
Juna menggelengkan kepala. “Nanti aku pertimbangkan kalau misalkan aku ngerasa kondisiku udah gawat. Sementara, aku mau nikmatin hidup dulu.”
“Okelah kalau gitu. Inget walau sekarang keluarga yang punya hubungan darah sama kamu udah habis, kamu masih punya keluarga dari temen-temen yang perhatian sama kamu. Don’t let us down.”
.
.
“Om nggak nginep di sini?”
Juna tersenyum memandang bocah berusia delapan tahun yang tengah menatapnya dengan tatapan polos.
“Om hari ini nginep di hotel dulu selama beberapa hari. Insya Allah pas weekend Om nginep di sini dan main sama kamu. Hm?” balas Juna dengan lembut sembari mengacak-acak rambut bocah tersebut.
“Kalau janjiin anak kecil, beneran harus ditepatin. Aku nggak biasain bohon di depan anak-anak soalnya,” ujar Aris.
“Kamu tau hotel tempat aku nginep, Ris. Mau kabur kemana lagi sih? Orang kamu udah wanti-wanti pihak hotel buat kabarin kamu kalau sampai aku ke bandara tanpa pamitan.”
“Kalau nggak gara-gara Patrick ngasih ultimatum kalau kamu mendadak jadi aneh, aku nggak bakal kaya gini.”
“Patrick itu parno soalnya Tania hamil lagi. Gila sih sebenernya. Langsung hamil lho habis nikah kedua kalinya.”
“Semprul! Diajak omong beneran malah bahas ke arah sana. Lagian, kalau sampai Tania hamil kan udah sewajarnya. Bini orang kan.”
Juna hanya terkekeh tanpa membalas kalimat itu. Jika saja hamil dan menghamili bisa sangat mudah dilakukan semua orang di dunia, mungkin saja …
“Nggak usah ngelamun jorok. Kalau pengen kaya Patrick, segera akhiri masa duda kamu. Biar kalo malam ada yang nemenin dan nggak bengong sendiri.”
“Just in case, aku mau. Masalahnya, aku nggak minat nikah lagi.”
“Yakin mau jadi bujang sampe kakek-kakek?”
“Kenapa nggak?”