••That's Why He My Man••
Dan kau hadir merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kau bawa cintaku setinggi angkasa
Membuatku merasa sempurna
(Lebih Indah - Adera)
Hujan mengguyur kota Purwokerto ketika Tarmiji selesai dengan sholat dzuhur-nya. Lelaki berusia 26 tahun itu beranjak menuju dapur dan mengecek apakah ada yang bisa ia buat untuk istrinya.
Tidak banyak yang bisa ia temukan di dalam kulkas Bella. Perempuan itu tinggal sendiri selama 3 minggu pernikahan mereka. Sedangkan Tarmiji baru sempat satu rumah dengannya sekarang.
Tarmiji menutup pintu kulkas. Ia meninggalkan dapur dan masuk ke ruang tengah. Menduduki sofa dan menyalakan ponselnya. Ditatapinya ruang obrolan dengan Bella yang sebenarnya terasa masih kosong. Keduanya jarang mengirim pesan, hanya saja Tarmiji tak pernah melewatkan jam malamnya tanpa mendengar suara Bella.
Meski hampir setiap malam Tarmiji melakukan panggilan dengan durasi kurang lebih 1 jam, tetapi untuk mengirim pesan rasanya ia masih bingung. "Gimana ya? Kamu udah makan, Bel? Ah, nggak mungkin dia belum makan, kan udah dibuatin bekal. Eh apa sandwichnya kurang enak, ya? Nggak deh, dia bilang enak tadi pagi. Bel, pulang jam berapa? Kek temen dih. Sayang, kamu hari ini pulang jam berapa? Lebay banget nggak ya?" Tarmiji sibuk bermonolog.
Lelaki itu bahkan sudah berganti posisi dan pindah tempat duduk. Namun masih kebingungan untuk mengirim pesan pada istrinya. Padahal dari kemarin, ia bahkan tidak segan memanggil Bella dengan panggilan sayang. Tapi lihatlah sekarang dirinya, frustasi sendiri hanya karena keinginan mengirim pesannya itu belum terwujud.
Tarmiji
Abel, masih sibuk?
Jam menunjukkan pukul 1 siang saat Tarmiji berhasil mengirimkan satu bubble chat pada Bella. Ia langsung menaruh ponselnya di atas meja dan menatap layar yang masih menampilkan chat tersebut.
Tarmiji mendecih, mengejek dirinya sendiri. "Tak pandai kau cari topik, Ji ... Ji," tuturnya.
Lama lelaki itu menanti balasan, bahkan chatnya hanya dihadiahi centang dua abu-abu. Bibir Tarmiji mulai maju, agaknya lelaki itu merasa sedih ketika Bella tak memberikan respon apapun. Sepertinya perempuan itu sedang sangat sibuk. Tarmji memutuskan untuk pergi dari ruang tengah. Ia akan membuat susu hangat dan mengambil kukis yang ada di kabinet dapur Bella. Sepertinya menyediakan kudapan akan membantu istrinya mendapatkan waktu istirahat yang lebih baik.
Jujur, ia ingin keluar dan menjemput istrinya pulang dari sekolah. Angin yang berhembus cukup kencang, membuat Tarmiji semakin khawatir. Namun ketika ponsel yang tergeletak di atas meja mulai memunculkan panggilan masuk dari Bella, Tarmiji langsung bergerak cepat mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum, Mas Mijii." Suara Bella bercampur dengan derasnya suara hujan.
"Wa'alaikumsalam, Abel. Kamu pulang jam berapa? Mas jemput, ya?"
"No, gausah, Mas. Ini aku lagi mampir di mini market bentar buat beli cemilan. Aduh aku lupa banget kalo di rumah belum beli apapun buat kamu. Aku kebiasaan sendiri, jadinya aku lupaa. Maaf yaa, Mas. Mas Miji sukanya apa? Aku beliin."
Tarmiji meneguk salivanya kasar. Lelaki itu frustasi karena memikirkan istrinya yang belum sampai ke rumah. Perempuan itu malah sedang asyik di mini market.
"Apapun yang kamu beli, Mas pasti makan, Abel. Kamu beneran nggak mau aku susulin?" tanya Tarmiji lagi.
Bella menggelengkan kepalanya di seberang telepon, meski Tarmiji tidak melihatnya. "Nggak usah, Mas. Ini aku udah mau kelar belanja, tinggal bayar terus udah deh, sampe rumah," ucapnya.
"Yaudah, kamu jangan ngebut ya, hpnya masukin ke jas hujan biar nggak basah. Mas tunggu kamu di depan. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam, Mas."
Telepon berakhir, Tarmiji bergegas menuju teras. Ia membuka gerbang dan duduk di kursi teras. Menunggu Bella sampai di rumah. 15 menit berlalu, motor matic hitam milik Bella memasuki teras rumah. Perempuan dengan jas hujan warna hitam itu tersenyum dibalik kaca helm-nya.
"Assalamu'alaikum, Mas Miji," tutur Bella.
"Wa'alaikumsalam, Abel. Ya ampun, kamu nggak basah banget kan? Aman kan? Sini tasnya sama belanjaannya. Kamu tutup gerbang terus masuk," balas Tarmiji.
Tarmiji segera menghampiri istrinya dan membantu perempuan itu melepas jas hujan. Ia mengambil alih tas punggung milik istrinya dan juga kantong belanjaan yang tergantung di motor. Bella menutup gerbang dan mengikuti langkah suaminya memasuki rumah usai mengucap salam.
"Mas Miji bikin susu?" Bella duduk di sofa sembari memperhatikan kudapan yang telah disiapkan oleh suaminya.
"Iya itu buat kamu, diminum biar badannya anget." Tarmiji menjawab dari dalam kamar. Ia sudah meletakkan semua barang bawaan Bella. Tas punggung di kamar dan belanjaan di dapur. "Kamu mau makan siang lagi?" tanya Tarmiji.
Bella menggelengkan kepalanya kemudian meminum susu. "Bekalnya udah aku habisin, eh ya ampun kotaknya masih di dalam jok motor, Mas," jawabnya.
"Nggak apa-apa, nanti aja. Sekarang istirahat dulu, kamu udah sholat dzuhur?" Tarmiji duduk di samping Bella. Menatapi istrinya yang memberikan respon dengan anggukan. Tangan perempuan itu mencomot kukis yang sudah ia hidangkan di atas meja.
"Aaa, Mas," ujar Bella sembari memberikan satu buah kukis di depan mulut Tarmiji. Lelaki itu melahapnya tanpa penolakan.
"Mas, aku mau cerita. Jadi tadi di sekolah ada anak cewek kelas 9 yang nangis."
Alis Tarmiji terangkat sebelah. "Ada masalah apa sama anaknya?" tanyanya.
Bella mulai menceritakan kejadian di sekolahnya. Sebagai seorang kesiswaan, ia kerap kali jadi tempat menampung semua keluh kesah anak-anak. Seorang siswi bernama Gina menangis karena merasa ayahnya kadang melakukan kekerasan terhadapnya. Entah itu memaki, memukul bahkan menendangnya.
Gina hidup bersama ayahnya. Ia adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Hidupnya cukup sulit setelah ayahnya menikah lagi. Ibu kandungnya pergi dan tidak mau mengurusnya. Sedangkan ibu tirinya bekerja menjadi seorang TKW di Singapura.
Ayah Gina kadang enggan mengantar Gina ke sekolah, mengingat jarak rumahnya ke sekolah yang mencapai 10 km lebih dengan jalanan yang naik, turun dan berkelok. Jadi anak itu akhirnya tidak masuk ke sekolah. Gina termasuk anak yang pandai, ia juga baru saja meraih medali perak di olimpiade bahasa arab tingkat kabupaten.
Gina ingin sekali melanjutkan sekolah, namun dirinya masih ragu. Ia tak punya uang untuk mendaftar sekolah. Jangankan untuk mendaftar, administrasi di kelas 7 dan 8 saja, ia belum bisa melunasinya.
"Kasian nggak sih, Mas? Kadang aku tuh ikut sedih denger cerita anak-anak. Tapi aku juga nggak bisa berbuat apa-apa. Mau bantu bayar, tapi aku sendiri nggak munafik, aku juga butuh buat kebutuhan pribadiku."
"Punya niat baik pengin membantu orang atau menyedekahkan hartanya buat orang aja itu udah bagus, Abel. Itu artinya kamu masih punya rasa peduli terhadap mereka yang kekurangan. Kamu cukup doain dia biar ayahnya dapat hidayah. Bantu dia belajar di sekolah. Bantu dia raih prestasinya. Berbagi ilmu itu termasuk sedekah jariyah. Apalagi kalau ilmu itu dipergunakan terus sepanjang hidupnya, pahalanya akan terus mengalir." Tarmiji mengangkat kaki istrinya dan meletakkannya di atas paha. Lelaki itu memijat betis istrinya.
Bella dibuat kaku dengan perlakuan suaminya. Hilang sudah semua cerita yang ingin ia katakan. "Mas Miji, ngapain?" tanyanya pelan.
"Mijitin kamu. Tiap telepon kadang kamu suka ngeluh kaki kamu sakit karena pakai heels seharian. Enak nggak?"
Bella berdehem canggung. Harusnya kan dia yang memijat suaminya, ini kenapa terbalik?
Bella menarik kakinya. Ia bersila sembari menatap Tarmiji dan berujar, "Mas Miji, harusnya kan aku yang ngelayanin kamu. Ini kenapa jadi kamu yang sediain makanan terus mijitin aku? Nanti aku dosa, Mass."
Tarmiji terkekeh. "Yang capek kan kamu, Abel. Kamu yang hari ini kerja, kamu yang hari ini harus banyak ngomel sana-sini, kamu yang hari ini sedih. Aku di rumah aja. Kerja juga remote, itupun nggak berjam-jam. Nggak ada salahnya seorang suami itu nyiapin makanan atau mijitin istri. Semua orang yang capek kerja, patut diberikan apresiasi," jelasnya.
Bella tertegun mendengar penjelasan suaminya. Pikirannya tertuju pada hari-hari sebelum ia menikah. Setiap ia merasa lelah bekerja dan mengeluhkannya pada sang ibu, ibunya justru berkata jika uang yang Bella beri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
"Capek? Kamu capek kerja? Kamu pikir kamu tiap hari bisa makan, bisa mandi, bisa kerja di rumah itu nggak pakai duit, Bella? Kamu pikir uang yang kamu kasih itu cukup? Itu kurang, Bell. Kuliah Dimas, sekolah Dira, kebutuhan harian, mingguan, bulanan rumah. Belum lagi tagihan! Lebih capek mana sama ibu yang dulu kerja tiap hari buat sekolahin kamu dan adik-adikmu!?"
Sejak kematian sang papa. Ibunya memang berubah. Bella bahkan sampai ragu apakah Isabel benar ibunya atau bukan. Isabel memang lebih sibuk bekerja dibanding berada di rumah dan bercengkerama dengan anak-anaknya. Namun Bella tak pernah menyangka bahwa Isabel bisa menjadi seegois ini. Bahkan sampai Damar hadir di antara mereka, Isabel masih belum berubah. Wanita itu kadang masih melupakan emosinya di belakang Damar.
"Abel?"
Tatapan kosong dan hampa yang sempat mengisi bola mata Bella, menghilang. Tarmiji menangkup wajah istrinya. "Ada yang kamu pikirin?" tanya lelaki itu.
Bella menggelengkan kepalanya pelan. Perempuan itu mencoba tersenyum. "Aku laper dikit," ucapnya lirih.
Tarmiji tersenyum dan mengusapi pipi bulat istrinya. "Gimana kalo kita ke dapur? Kita masak apa yang kamu beli tadi di mini market. Terus cari film bagus buat kita tonton," usulnya.
"Mauu! Aku tadi beli buah stroberi sama anggur. Terus aku beli mi instan sih. Harusnya aku tadi mampir super market ya? Biar beli sayur sekalian. Aduh, aku nggak kepikiran. Besok aku belanja sayur deh. Kamu sukanya apa, Mas?"
Tarmiji tertawa, ia melepas tangannya dari wajah Bella. Istrinya itu sangat manis. Baru saja ia melihat istrinya sedih, kini ia melihat Bella kembali mengoceh lucu.
"Apapun yang kamu masak, insyaAllah bisa aku makan, Abel. Aku yakin kamu nggak bakal ngasih racun di makanan yang kamu masak."
Bella berdecak pelan. "Mas, ih! Maksudnya aku tuh, kamu ada alergi nggak? Kayak alergi udang, yang amis-amis, oh atau kamu nggak kuat makan pedes," ucapnya.
"Aku alergi sih ... alergi kalo yang masak bukan kamu."
"Ih, Mas Mijiii." Bella memukul pelan lengan suaminya yang asik tertawa. Perempuan itu beranjak menuju dapur yang memang terhubung dengan ruang tamu.
Tarmiji mengikuti pergerakan Bella. Masih dengan sisa-sisa tawa gemas terhadap istrinya yang kini sedang membongkar belanjaan dan menatanya.
"Mas Miji, aku tanya bener-bener nih ya, kamu boleh makan mi instan kan?" tanya Bella.
"Yaa, boleh. Emang kenapa?" Tarmiji balik bertanya.
"Kali aja Mas Miji tuh tipikal yang nggak boleh makan makanan instan, terus makanannya harus yang gizi seimbang. Terus toleransi sama makanan pedes tuh rendah, terus nggak boleh makan yang banyak gula."
"Kalo itu kan memang harus, Abel. Manusia wajib mengkonsumsi makanan bergizi seimbang, 4 sehat 5 sempurna. Kamu kan pasti tau kalo makanan instan itu nggak bagus buat kesehatan, iya kan?"
Bella mengangguk. "Tapi aku suka makan makanan pedes," ucapnya.
"Selama kamu nggak terlalu sering konsumsi, ya, nggak apa-apa."
Keduanya berada di dapur benar-benar merealisasikan ajakan Tarmiji untuk masak mi instan dan nonton film. Bella melirik suaminya yang nampak fokus dengan film genre disaster pilihan perempuan itu. Ternyata jatuh hati dengan sosok yang mau mengusahakan kita itu akan terasa mudah.
••That's Why He My Man••