-That's Why He My Man-
•••
Kadang kala tak mengapa
Untuk tak baik-baik saja
Kita hanyalah manusia
Wajar jika tak sempurna
(Pelukku untuk Pelikmu – Fiersa Besari)
Akhir pekan di akhir bulan Februari, rumah warisan Papa tampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa saudara dari pihak Ibunya datang berkunjung, membawa serta senyum ramah yang bagi Bella terasa sarat akan penmilaian tersembunyi. Ada tatapan menyelidik dan pertanyaan-pertanyaan yang meskipun dibungkus basa-basi, intinya mengarah pada satu topik yang sama: rumah tangga Bella. Tiga bulan pernikahan dengan Tarmiji, meski dijalani dalam long distance marriage, telah memberikan Bella ketenangan dan kebahagiaan di rumah barunya. Ia selalu menantikan akhir pekan untuk bertemu suaminya.
Setelah makan siang usai dan para lelaki berkumpul di ruang tamu membahas hal-hal ringan, Bella dan para perempuan berkumpul di ruang makan. Tante Rima, dengan senyum yang menurut Bella selalu menyimpan agenda tersembunyi, memulai percakapan. “Bella sayang, sudah tiga bulan menikah, kok belum ada kabar gembira? Padahal kamu kan udah nggak muda lagi ya, hampir kepala tiga.” Nada bicaranya terdengar prihatin, namun Bella menangkap sentilan sinis di dalamnya.
Lia─Sepupu Bella, yang selalu merasa berhak mengomentari kehidupan orang lain, menimpali dengan nada meremehkan. “Iya, Bel. Kirain udah nikah diumur segitu langsung isi. Biasanya yang udah 'telat' nikah tuh pengennya cepet punya momongan.” Tatapannya yang penuh arti membuat Bella merasa tidak nyaman. Lia merujuk pada usia Bella yang menurut sebagian keluarga sudah termasuk perawan tua saat menikah.
Bibi Linda, dengan nada bicara yang selalu blak-blakan, menambahkan sambil tersenyum miring. “Lagian kamu sekarang sok alim banget sih, Bel. Dulu mah beda jauh. Jangan-jangan Mas Tarmiji ketipu lagi sama kamu yang sekarang.” Sindiran pedas itu menusuk hati Bella lebih dalam dari yang ia kira.
Bella merasakan darahnya mendidih bercampur rasa malu dan sakit hati. Mengapa mereka begitu kejam dalam menilai hidupnya? Ia sudah berusaha keras untuk berubah menjadi lebih baik, dan pernikahan ini adalah langkah besar baginya. Mengapa mereka tidak bisa melihat ketulusannya?
“Alhamdulillah, Bi, Tante, Lia. Aku bahagia dengan pernikahan ini. Soal anak, itu urusan Allah. Bukan karena usia atau masa lalu kami,” jawab Bella dengan suara tertahan.
Suasana di ruang makan terasa sangat tidak nyaman. Tante Rima masih belum menyerah. “Ya tapi kamu juga harus sadar diri, Bel. Umur segitu udah rawan. Jangan terlalu santai.”
Tiba-tiba, suara berat Damar dari ambang pintu memecah ketegangan. “Ada apa ini, Ibu-ibu? Kok kayaknya Bella kayak lagi diinterogasi?” Ayah Bella, meskipun sudah tidak muda lagi, selalu memiliki insting yang kuat untuk melindungi putrinya. Ia merasakan perubahan suasana dan ekspresi Bella dari kejauhan.
Tante Rima mencoba tersenyum dibuat-buat. “Ah, nggak kok, Mas Damar. Cuma lagi kasih wejangan sama Bella.”
“Wejangan kok sampai bikin anak saya keliatan nggak nyaman begitu?” tanya Damar dengan tatapan tajam ke arah saudara-saudaranya. Ia menghampiri Bella dan merangkul bahu putrinya erat. “Bella ini anak saya yang paling berharga. Dia berhak bahagia dengan caranya sendiri.”
Bibi Linda mencibir pelan. “Anak sambung, Mas Damar.” Bisikan sinis itu meskipun pelan, berhasil ditangkap oleh telinga Bella dan Damar.
Lia menambahkan dengan nada merendahkan. “Iya, Mas. Jangan terlalu ikut campur urusan Bella. Papanya kan sudah nggak ada.”
Kata-kata itu bagai sembilu yang menghujam hati Bella. Meskipun Damar bukan ayah kandungnya, ia selalu menyayangi Bella seperti putrinya sendiri sejak menikah dengan Isabel. Mendengar saudara-saudaranya merendahkan Damar dan mengingatkannya bahwa ia hanyalah ayah sambung, membuat Bella merasa sangat marah dan terluka.
Damar sendiri tidak terlalu terkejut. Memang banyak saudara dari pihak istrinya yang kurang menyukai dirinya. Namun, ia tetap berusaha tegar demi Bella. Ia semakin mengeratkan rangkulannya pada Bella. “Bella memang bukan anak kandung saya. Tapi dia adalah putri saya, dunia akhirat. Dan saya tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya.” Tatapannya beralih tajam ke arah saudara-saudaranya. “Kalian seharusnya malu mengatakan hal seperti itu. Angger, almarhum papa Bella adalah saudara kita. Seharusnya kita menjaga amanahnya, bukan malah menyakiti hatinya melalui Bella.”
Suasana menjadi sangat tegang dan hening seketika. Kata-kata Damar yang tegas dan penuh kasih sayang berhasil membungkam saudara-saudaranya. Mereka tampak salah tingkah dan tidak berani menatap mata Damar.
Setelah suasana mencair dengan canggung dan para saudara akhirnya pamit pulang, Bella memeluk Damar erat-erat dengan air mata yang akhirnya tumpah. “Terima kasih banyak, Ayah,” bisiknya terisak. “Ayah selalu ada buat Bella.”
Damar mengusap lembut punggung Bella. “Udah, Bell. Jangan dipikirkan kata-kata mereka. Mereka hanya iri dan tidak mengerti betapa berharganya kamu.”
Ba’da Maghrib, Bella duduk termenung di ruang tamu setelah membereskan rumah. Ia mencoba membaca buku, namun pikirannya terus melayang pada kejadian siang tadi. Kata-kata sinis saudara-saudaranya masih terngiang di telinganya, terutama ucapan yang merendahkan Damar. Ia menggenggam ponselnya, ragu apakah harus menghubungi Tarmiji. Ia tidak ingin membebani suaminya, namun ia juga merindukan suaranya.
Tak lama kemudian, ponsel Bella berdering. Nama Tarmiji tertera di layar. Bella menggeser tombol hijau dan mendekatkan ponsel ke telinganya.
“Assalamualaikum, Sayang,” sapa suara lembut Tarmiji dari seberang sana. “Gimana acara kumpul keluarga tadi sore? Lancar?”
Bella menarik napas dalam, berusaha mengatur suaranya agar terdengar normal. “Waalaikumsalam, Mas. Alhamdulillah lancar kok. Semua datang, kita makan-makan, ngobrol-ngobrol biasa aja.”
“Syukurlah kalau begitu. Kamu nggak capek kan seharian ketemu banyak orang?” tanya Tarmiji dengan nada khawatir.
“Nggak kok, Mas. Justru seneng rumah jadi rame,” jawab Bella, berusaha meyakinkan. Ia menggigit bibir bawahnya sejenak, menyembunyikan luka yang baru saja ia terima.
“Ada yang nyenengin nggak ceritanya?” tanya Tarmiji lagi, terdengar antusias.
Bella mencoba mengingat hal-hal ringan yang terjadi. “Oh, iya. Tante Rima cerita tentang resep kue barunya. Terus, Lia juga cerita soal perkembangan bisnis online-nya.” Ia berusaha terdengar antusias seperti biasa, menyembunyikan bisikan-bisikan sinis yang masih terngiang di telinganya dan rasa sakit hati melihat ayahnya direndahkan.
Hening sejenak di seberang sana. “Kamu kedengeran agak beda, Abel. Kamu yakin nggak ada apa-apa?” tanya Tarmiji dengan nada sedikit curiga. Ia selalu bisa merasakan perubahan sekecil apa pun dalam suara istrinya.
Bella berusaha tertawa kecil. “Ah, masa sih? Aku cuma lagi ngantuk aja kayaknya, Mas. Kecapekan beres-beres tadi.”
“Beneran?” Tarmiji masih terdengar ragu.
“Iya, Mas, beneran. Mas nggak usah khawatir. Di sana gimana? Butik rame?” Bella mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tarmiji menghela napas pelan. “Alhamdulillah, Abel. Ya udah kalau kamu bilang nggak apa-apa. Tapi kalau ada apa-apa, cerita ya? Aku nggak mau kamu menyimpan beban sendirian.”
“Iya, Mas, janji. Mas juga hati-hati ya istirahatnya. Besok kan kerja lagi,” balas Bella dengan nada lembut.
“Siap, Bos. Ya udah, kamu istirahat ya. Mimpi indah,” kata Tarmiji.
“Iya, Mas. Assalamu’alaikum,” ucap Bella.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Tarmiji, dan sambungan telepon pun terputus.
Bella menghela napas lega sekaligus merasa bersalah. Ia kembali menyembunyikan luka yang lebih dalam dari suaminya. Kata-kata sinis keluarganya masih terasa perih, terutama penghinaan terhadap Damar. Namun, ia memilih untuk memendamnya sendiri, berusaha tegar dan menyembunyikan kerapuhannya. Air mata diam-diam menetes saat ia memeluk bantalnya, merasakan betapa ia merindukan Tarmiji dan betapa sakit hatinya ia melihat ayahnya direndahkan.
Di lain tempat, setelah menutup butik dan menunaikan sholat Isya, Tarmiji merebahkan diri di kamarnya. Namun, pikirannya masih tertuju pada percakapan teleponnya dengan Bella beberapa jam yang lalu. Meskipun istrinya berusaha terdengar ceria, ada sesuatu dalam intonasi suaranya yang terasa janggal. Sebuah nada samar yang sulit diartikulasikan, namun cukup untuk menimbulkan kegelisahan di hatinya.
Tarmiji sudah cukup lama mengenal Bella, meskipun sebagian besar interaksi mereka terjadi dalam koridor taaruf yang singkat dan terpisah jarak setelah menikah. Namun, ia belajar mengenali setiap perubahan kecil dalam suaranya. Ada kalanya Bella terdengar bersemangat menceritakan murid-muridnya, terkadang lelah dengan rutinitas mengajar, dan seringkali merindukannya. Namun, malam ini, ada lapisan emosi lain yang terselip di balik kata-kata Bella, sesuatu yang terasa seperti kesedihan yang ditahan.
“Apa mungkin ada masalah saat kumpul keluarga tadi sore?” gumam Tarmiji seorang diri sambil menatap langit-langit kamar. Ia tahu betul bagaimana keluarga besar bisa terkadang terlalu ikut campur dalam urusan pribadi. Meskipun Bella tidak pernah secara gamblang menceritakan tekanan dari keluarganya, Tarmiji bisa merasakan samar-samar ketidaknyamanan Bella setiap kali membahas pertemuan keluarga.
Ia meraih ponselnya, berniat menghubungi Bella lagi. Namun, ia mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin terkesan tidak percaya pada kata-kata istrinya. Mungkin Bella memang hanya kelelahan seperti yang dikatakannya. Ia tidak ingin menjadi suami yang terlalu posesif atau curiga. Kepercayaan adalah fondasi penting dalam pernikahan, apalagi pernikahan jarak jauh seperti yang sedang mereka jalani.
Namun, rasa gelisah itu tetap menggerogoti hatinya. Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi. Apakah ada ucapan atau pertanyaan dari keluarga Bella yang membuatnya tidak nyaman? Apakah Bella sedang menyembunyikan sesuatu darinya? Pikiran-pikiran itu berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit untuk terlelap.
Tarmiji bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju jendela. Angin malam Pasuruan yang lembut menerpa wajahnya. Ia menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit, mencoba mencari ketenangan. Jarak yang memisahkan dirinya dengan Bella terasa begitu menyiksa saat ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres namun tidak bisa ia jangkau secara langsung.
Ia menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk mempercayai Bella dan menunggu hingga akhir pekan tiba. Ia berjanji pada dirinya sendiri, saat bertemu nanti, ia akan berusaha lebih peka dan memberikan ruang yang nyaman bagi Bella untuk berbagi apa pun yang mengganggunya. Ia akan menjadi pendengar yang baik dan memberikan dukungan sepenuhnya.
Sambil memejamkan mata, Tarmiji berdoa dalam hati agar Bella selalu dalam lindungan Allah dan agar segala kesulitan yang sedang dihadapinya bisa segera teratasi. Ia berharap, jarak ini tidak akan menjadi penghalang bagi kebahagiaan pernikahan mereka. Ia merindukan Bella bukan hanya sebagai seorang istri, tetapi juga sebagai sahabat dan tempat berbagi segala suka dan duka. Kegelisahan di hatinya malam ini semakin membulatkan tekadnya untuk segera menata kehidupannya di Purwokerto agar mereka bisa bersama setiap hari, tanpa harus terpisah oleh jarak yang merajut rindu sekaligus menimbulkan kekhawatiran.
•••
-That's Why He My Man-