-That's Why He My Man-
•••
Painting stars up on your ceiling 'cause you
Wish that you could find some feeling, yeah, you
You know you can call me if you need someone
(Hold On – Justin Bieber)
Hari-hari setelah kunjungan keluarga terasa seperti kabut kelabu yang menyelimuti cerahnya pagi Bella. Di SMP tempatnya mengajar IPA, ia berusaha keras untuk tetap menjadi Bella yang tenang, sabar menghadapi rengekan siswa tentang tugas, dan bersemangat menjelaskan materi pelajaran, meskipun pikirannya seringkali melayang jauh, kembali pada bisikan-bisikan sinis dan tatapan merendahkan dari saudara-saudaranya.
Pagi itu, di kelas VII, Bella sedang memperkenalkan konsep klasifikasi makhluk hidup. Ia berusaha menampilkan energi seperti biasanya, meskipun hatinya terasa berat.
“Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang bagaimana para ilmuwan mengelompokkan berbagai jenis makhluk hidup yang ada di bumi ini. Jumlahnya sangat banyak, bukan? Agar mudah dipelajari, mereka dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri persamaannya ke dalam tingkatan-tingkatan takson. Tingkatan yang paling besar adalah kingdom.” Bella menulis kata 'KINGDOM' besar-besar di papan tulis.
“Ada berapa kingdom, Bu?” tanya Davin.
“Pertanyaan bagus, Dav. Secara umum, kita mengenal lima kingdom utama,” jawab Bella sambil menuliskan kelima nama kingdom di bawahnya: Animalia (hewan), Plantae (tumbuhan), Fungi (jamur), Protista, dan Monera. “Masing-masing kingdom ini memiliki ciri khas yang membedakannya.”
Bella kemudian mulai menjelaskan ciri-ciri setiap kingdom, memberikan contoh-contoh makhluk hidup yang termasuk di dalamnya. “Misalnya, kingdom Animalia, ciri utamanya adalah bergerak aktif, tidak memiliki dinding sel, dan bersifat heterotrof, artinya tidak bisa membuat makanan sendiri. Contohnya ya kita, manusia, kemudian ada kucing, ikan, serangga ....”
Safitri mengangkat tangan. “Bu, kalau bakteri masuk kingdom mana?” tanyanya.
“Bakteri masuk ke dalam kingdom Monera, Saf. Ciri khas Monera adalah organisme prokariotik, artinya tidak memiliki membran inti sel. Mereka juga sangat kecil dan strukturnya sederhana,” jelas Bella, berusaha tetap fokus meskipun sesaat terbayang wajah sinis bibinya saat mengatakan ia ‘sok alim’. Ia segera menggelengkan kepala pelan, mencoba mengusir pikiran itu.
Namun, di tengah penjelasan tentang kingdom Fungi, Bella sempat terdiam sejenak, tatapannya kosong. Beberapa siswa saling berbisik kebingungan. Ia tersentak kembali ke kenyataan saat seorang siswa memanggil namanya.
“Bu Bella? Kok diem?” tanya Syifa.
“Ah, maaf, anak-anak. Ibu tadi lagi mikir sebentar. Kita lanjutkan ya,” kata Bella, berusaha tersenyum dan kembali menjelaskan perbedaan antara jamur dan tumbuhan. Namun, ketidakfokusannya itu tidak luput dari perhatian beberapa murid yang memang cukup peka.
Setiap kali jam istirahat tiba, alih-alih bergabung dengan obrolan ringan di ruang guru, Bella lebih sering menyendiri di mejanya, berpura-pura memeriksa catatan atau membaca buku. Namun, matanya kerap kali tanpa sadar tertuju pada layar ponsel yang tergeletak di sampingnya. Ada kerinduan yang mendalam pada Tarmiji, sebuah keinginan kuat untuk mendengar suaranya, merasakan kehadirannya meskipun hanya melalui sambungan telepon. Namun, bersamaan dengan kerinduan itu, ada juga ketakutan. Ketakutan untuk membebani Tarmiji dengan luka yang ia rasakan, ketakutan untuk menambah jarak emosional di antara mereka yang sudah terpisah oleh geografis.
Rutinitas mengajarnya terasa lebih melelahkan dari biasanya. Energi yang biasanya ia curahkan untuk membuat pelajaran menarik dan interaktif seolah terkuras habis oleh beban pikiran yang tak kunjung reda. Ia menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung oleh hal-hal kecil, dan seringkali melamun di tengah-tengah penjelasan, membuat beberapa siswa kebingungan.
Suatu siang, saat jam istirahat, Bu Billa, guru Matematika yang duduk di meja seberang Bella, menghampirinya sambil membawa secangkir teh. “Bel, kok nyendiri terus sih? Biasanya kan kamu ikut nimbrung kalau lagi nggak ada kerjaan mendesak.”
Bella tersenyum tipis. “Lagi pengen tenang aja, Bu Billa. Lagi banyak pikiran sedikit.”
“Pikiran soal lomba sains lagi?” tanya Kanisa yang ikut bergabung. “Udah sampai mana persiapannya?”
“Lumayan, tinggal finalisasi beberapa materi aja,” jawab Bella singkat, berusaha menghindari percakapan yang lebih pribadi.
Namun, Bu Billa yang memang dikenal cukup peka, menyadari ada yang berbeda dari Bella. “Kamu yakin cuma soal lomba, Bel? Kamu kelihatan agak murung beberapa hari ini. Ada masalah lain? LDR-nya lagi berat ya?” Bu Billa bertanya dengan nada lembut, mengingat Bella pernah bercerita tentang Long Distance Marriage-nya.
Bella menarik napas dalam. Ia merasa sedikit lebih nyaman berbagi dengan rekan-rekannya yang sudah tahu tentang pernikahannya. “Sebenarnya... kemarin keluarga datang ke rumah. Ada sedikit ... ya gitu deh, Bu Billa, Bu Nisa.” Bella mencoba meringkas tanpa menjelaskan detailnya.
Kanisa mengerutkan kening. “Gimana? Ada yang bikin kamu nggak enak hati?”
Bella mengangguk pelan. “Ada beberapa hal yang... ya menyangkut pernikahan aku. Kalian tahu kan, keluarga kadang suka ikut campur.” Ia mencoba tersenyum kecut.
Bu Billa menggenggam tangan Bella. “Berat ya, Bel. Apalagi LDR gini, pasti pengennya ada suami di samping.”
“Iya,” jawab Bella lirih. “Kadang ngerasa sendiri aja gitu.”
“Kalau ada apa-apa cerita ya, Bel. Kita siap dengerin kok. Jangan dipendam sendiri,” ujar Kanisa dengan nada penuh empati. “Suami kamu kapan ke sini lagi?”
“Mungkin akhir minggu ini. Dia jadwalnya lagi lumayan padat. Kerjaan lagi hectic juga," jawab Bella, sedikit berharap.
“Semoga aja ya. Biar kamu ada temen cerita langsung,” kata Bu Billa. “Yang sabar ya, Bel. Nggak semua keluarga bisa langsung mengerti pilihan hidup kita.”
Bella tersenyum tulus kepada kedua sahabatnya. “Makasih, Bu Billa, Bu Nisa.” Meskipun ia belum menceritakan detail perkataan keluarganya, ia merasa sedikit lebih ringan karena sudah berbagi perasaannya dengan orang-orang yang peduli.
Di rumah warisan Papa, kesunyian terasa lebih mencekam dari biasanya. Dulu, kesunyian itu ia nikmati sebagai kebebasan, sebagai ruang untuk dirinya sendiri setelah penat bekerja. Namun kini, kesunyian itu terasa seperti pengingat akan jarak yang memisahkannya dari Tarmiji, dan juga ruang di mana ia harus bergumul sendirian dengan luka hatinya. Ia seringkali hanya duduk termenung di ruang tamu, menatap foto pernikahannya dengan Tarmiji yang terpajang di meja, mencoba mencari kekuatan dari senyum bahagia mereka di hari itu.
Malam itu, setelah menyelesaikan koreksi tugas siswa hingga larut malam, Bella merasa tubuh dan pikirannya benar-benar terkuras. Ia merebahkan diri di tempat tidur, air mata tanpa sadar mengalir di pipinya. Ia merasa begitu rapuh dan sendirian. Kerinduan pada Tarmiji terasa semakin menyakitkan di tengah beban emosi yang ia pendam. Ia ingin berbagi, ia butuh didengarkan, ia butuh pelukan hangat yang selalu bisa menenangkannya.
Dengan tangan gemetar, Bella meraih ponselnya. Ia membuka aplikasi panggilan video dan mencari nama Tarmiji. Jantungnya berdebar kencang saat panggilan tersambung dan wajah suaminya muncul di layar. Senyum lembut Tarmiji menyapanya dari seberang sana, namun Bella tidak bisa lagi menahan air matanya.
“Assalamualaikum, Mas,” ucap Bella dengan suara bergetar, air mata mulai membasahi pipinya.
Wajah Tarmiji yang semula ceria di layar langsung berubah menjadi raut khawatir. “Waalaikumsalam, Sayang. Kamu kenapa? Kok nangis?” tanyanya dengan nada cemas.
Bella mencoba berbicara, namun suaranya tercekat oleh isakan. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, air matanya semakin deras mengalir.
“Abel, ada apa? Cerita sama Mas,” bujuk Tarmiji lembut, tatapannya penuh perhatian dan kasih sayang.
Dengan susah payah, Bella mulai menceritakan semuanya. Ia menceritakan tentang kunjungan keluarga di akhir pekan, pertanyaan-pertanyaan yang menelisik tentang keturunan, sindiran tentang usianya yang dianggap terlambat menikah, anggapan ‘sok alim’ yang begitu menyakitkan, dan terutama ucapan merendahkan yang ditujukan kepada Damar, ayah sambungnya yang begitu ia sayangi. Setiap kalimat yang keluar dari bibirnya terasa seperti pecahan kaca yang mengoyak hatinya kembali.
Tarmiji mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela sepatah kata pun. Ia hanya menatap Bella dengan ekspresi yang bercampur antara khawatir, marah, dan sedih. Ia bisa merasakan betapa terluka dan tertekannya istrinya selama ini. Ia menyesal karena tidak menyadari lebih awal beban yang dipikul Bella sendirian.
Ketika Bella selesai bercerita, Tarmiji menghela napas panjang. “Ya Allah, Sayang ... Mas nggak tahu kamu harus menghadapi ini sendirian. Maafin Mas ya, karena nggak ada di sana buat kamu.”
“Bukan salah Mas,” jawab Bella dengan suara serak. “Aku cuma nggak mau Mas khawatir.”
“Khawatir pasti, Abel. Kamu istri Mas. Sakit kamu, sakit Mas juga. Mereka keterlaluan ngomong kayak gitu sama kamu, apalagi sama Ayah,” ujar Tarmiji dengan nada tegas. “Mas janji, Mas akan segera ke Purwokerto. Besok Mas coba atur jadwal di butik. Mas mau ada di sana buat kamu, kasih kamu dukungan langsung. Kita hadapi ini sama-sama.”
Mendengar kata-kata Tarmiji, hati Bella terasa sedikit lega. Air matanya mulai mereda. Ia merasa tidak lagi sendirian. Kehadiran Tarmiji, meskipun hanya melalui layar ponsel saat ini, sudah memberikan kekuatan yang luar biasa.
“Terima kasih ya, Mas,” ucap Bella tulus, air mata haru kini menggantikan kesedihannya. “Bella sayang banget sama Mas.”
“Mas juga sayang banget sama kamu, Abel. Kamu yang kuat ya. Jangan dengerin omongan mereka. Kamu berharga, kamu dicintai. Dan kita akan bangun rumah tangga kita sendiri, dengan bahagia dan tanpa tekanan dari siapa pun,” balas Tarmiji dengan penuh kasih sayang. Mereka terus berbicara untuk beberapa waktu, Tarmiji berusaha menenangkan dan menguatkan Bella, hingga akhirnya Bella merasa lebih tenang dan bisa beristirahat. Malam itu, meskipun jarak masih memisahkan, hati mereka terasa lebih dekat dari sebelumnya, terhubung oleh beban yang akhirnya dibagikan dan janji untuk saling mendukung.
•••
-That's Why He My Man-