-That's Why He My Man-
•••
Cinta yang kau suguhkan
Tak layak kuterima
Terlalu lama tuk menyadari semua
Yang kucari kini
Sebuah cara tuk bisa lepas
Dari sgala kecewa tuk Bahagia
(Tak Berharap Lagi – Raisa)
Seberkas cahaya masuk lewat sela tirai jendela. Ruangan yang di dominasi warna putih dan biru tua itu masih tampak remang. Udara masih terasa sedikit pengap, namun samar tercium aroma sabun dari kamar mandi.
Seorang perempuan masih bergelung di atas kasur dengan mengenakan mukena biru mudanya. Bella tertidur usai melaksanakan sholat subuh. Sedangkan Nora berada di dalam kamar mandi ketika jam menunjukkan pukul setengah 8 pagi.
“Bell, bangun, mandi gih.” Nora keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang membungkus tubuhnya. Perempuan itu menghabiskan waktu 1 jam untuk mandi dan mengeringkan rambutnya.
“Bell, ini sabtu loh. Bangun dih, nanti kita makin siang berangkat ke ITB-nya,” ucap Nora sembari menggoyangkan tubuh Bella.
Mata Bella terbuka perlahan, ia jelas masih mengantuk mengingat dirinya baru tertidur pukul 1 dini hari. “Ngantuk, Noy. Aku males keluar hari ini, pengin tidur seharian,” tuturnya dengan susara serak.
Nora mendelik sebal. “Nggak boleh. Kamu musti mandi, sarapan dan kita berangkat. Aku udah pesen sarapan lewat room service,” ucap Nora. Tangannya menarik tangan Bella untuk bangun dari aksi rebahannya itu.
Bella mengadu lirih ketika dirinya dipaksa duduk. Perempuan itu bisa melihat roti sandwich dan susu di atas meja. Ia memilih untuk melahap sarapannya terlebih dahulu. Nora menggelengkan kepalanya, masih takjub dengan kebiasaan Bella di hari libur. Bangun melebihi pukul 6 pagi, sarapan tepat saat ia terbangun, dan mandi selama 1 jam lebih. Menurut Bella, itu adalah kegiatan relaksasi bagi perempuan tersebut.
“Suamimu kaget nggak ya kalo tau punya istri kayak kamu gini?” ujar Nora bertanya-tanya. Ia sudah mengenakan baju rapi, kegiatan paginya hanya tinggal sarapan dan make up.
“Rakha tau kok,” jawab Bella tanpa sadar. Perempuan itu menyelesaikan sarapannya dengan cepat kemudian mengambil satu stel baju untuk ia kenakan hari ini. Sebuah long tunik warna coklat dengan belahan di samping, rok span warna hitam dan jilbab warna senada.
Nora tidak sempat berkomentar karena Bella sudah menghilang lebih dulu di balik pintu kamar mandi. “Semoga suami kamu bukan Rakha, Bell,” gumamnya. Hari ini ia mengenakan long dress hitam bertali spageti yang ia padukan dengan atasan sebuah cardigan warna putih, rambutnya ia coba untuk digulung rapi.
Bella keluar dari kamar mandi pukul 9. Wangi vanilla menguar dari dalam kamar mandi. Perempuan itu sudah rapi dan nampak siap pergi keluar jika saja dirinya tidak merebahkan tubuh di atas kasur.
“Aduh bengkek, aku nggak ikut aja lah,” ucap Bella.
“Sayang kalo nggak ikut, Bell. Tahun depan belum tentu kita bisa liburan bertiga lagi.” Suara Pramudya mengejutkan Bella. Perempuan itu langsung bangun dari rebahannya dan menatap ke sumber suara yang muncul dari arah balkon kamar.
“Astaga, Pram, sejak kapan kamu di situ?” tanya Bella.
“Baru 10 menit yang lalu,” jawab Pramudya enteng.
Bella diam, masih terkejut dengan keberadaan Pramudya. “Boleh nggak, Pram? Lain kali kalo mau ke kamar kita, kamunya bilang dulu,” pinta perempuan itu.
Pramudya mengangguk sedangkan Nora menatap teman lelakinya itu dengan tatapan yang berkata, tuh kan dibilang juga apa. Lelaki itu hanya tersenyum lebar sampai giginya terlihat.
“Turun sekarang?” tanya Pramudya mengalihkan pembicaraan.
“Yuk.” Nora mengiyakan. Perempuan itu memang sudah rapi, ia hanya tinggal memakai sepatu kets-nya. Bella pun sama, ia sedang duduk membelakangi kedua temannya dan memakai kaos kaki serta sepatu putihnya.
Mereka benar-benar merealisasikan rencana asal yang mereka susun semalam. Pergi ke Forest Walk Babakan Siliwangi menggunakan grab car. Menempuh jarak sekitar 6 km dan setengah jam perjalanan karena macet. Kawasan hutan di tengah kota ini berfungsi sebagai penyerap polusi udara─jantungnya kota Bandung.
“Kaki akuuu, sakit, Bell. Nggak nyangka kalo ternyata harus jalan kaki buat nelusurin hutan doang,” keluh Nora usai menghabiskan waktu 2 jam untuk menelusuri jembatan sepanjang 2 km di hutan.
“Kan, kubilang juga apa, pasti ngeluh juga,” timpal Pramudya diiringi dengan tawa puas. Dirinya juga sebetulnya lelah karena mengurus Nora yang ribet mengambil gambar. Kurang ini, kurang itu, terlalu pendek, terlalu tinggi dan keluhan lain yang sama sekali tidak Pramudya pahami. Buat apa mengambil 100 gambar jika yang di post hanya satu? Bukankah itu hanya membuang waktu dan melelahkan.
Mereka mengistirahatkan diri di salah satu pedagang yang ada. “Abis ini kemana?” tanya Bella sembari memakan kupat tahunya.
“Katanya ke Saraga. Apa mau ke Sabuga? ITB sekalian nggak sih?” ucap Pramudya.
“Ih, bisa-bisanya kalian masih punya tenaga buat ke sana, emang nggak capek? Aku aja capek loh. Rasanya kaya mau pingsan,” balas Nora.
“Drama banget, sendirinya yang semalam pengin kesana-kemari giliran diturutin malah ngeluh capek mulu. Banyak loh spot fotonya.” Pramudya beralih pada mangkok es campurnya.
“Yuk, Noy. Sayang banget loh udah sampe sini. Kali aja besok kamu mau lanjut di ITB.” Bella ikut membujuk.
“Lah nggak nyambung kalo lanjut ke ITB, Bell.” Nora mengerucutkan bibirnya. Siomaynya masih utuh belum tersentuh karena sedari tadi yang ia lakukan adalah mengeluh. “Ya udah deh iya mau. Tapi abis dari sana kita ke mall, ya,” putusnya kemudian.
Pramudya dan Bella tertawa senang berhasil membujuk Nora untuk berjalan lagi. Ponsel Pramudya berdiring, lagi-lagi nama Isha muncul di layar. Nora dan Bella dengan penuh kesadaran mengunci bibir mereka.
“Wa’alaikumsalam, Sha. Iya ini aku lagi makan,” ucap Pramudya.
Lelaki itu mengetukan jari jemarinya di atas meja, terlihat gusar dari caranya bicara. “Iya, Sha. Secepatnya aku ke rumah kamu. Setelah aku balik dari luar kota, aku pasti ke rumah kamu. Kamu sabar dulu, ya. Sekarang kamu istirahat aja, soal orang tua kamu biar aku yang pikirin jalan keluarnya,” tuturnya sebelum menutup telepon.
“Masih soal yang sama, Gas?” tanya Nora.
Pramudya mengangguk. “Kemungkinan aku bakal balik lebih cepet. Nggak apa-apa kan? Aku musti diskusiin perkara ini sama orang tuaku. Tahun ini nggak tau kenapa kayak makin dipepet sama orang tua Isha,” jelas lelaki itu.
Bella dan Nora mengangguk mengerti. Mereka juga tidak bisa menahan Pramudya untuk tetap liburan bersama. “Nggak apa-apa, Gas. Dikelarin aja, kita nikmatin waktu yang ada di sini,” ucap Nora.
“Bisa jadi ini kali terakhir kita kumpul bareng kayak gini, Pram.” Bella ikut menanggapi. Ia memahami beratnya jadi Pramudya yang masih ingin menikmati kebebasannya.
“Udah ah, kita langsung lanjut aja sekarang. Pokoknya hari ini kita seneng-seneng. Besok kita ke TSB!” Nora mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. “Biar aku yang bayar semua makanan kita,” ucapnya sebelum berlalu meninggalkan meja.
Usai melaksanakan sholat dzuhur, sesuai komando Nora, mereka melanjutkan jelajahnya sampai ke Saraga. Sebuah gedung sarana olahraga ITB yang juga dibuka untuk publik. Fasilitas olahraga yang ada di Saraga meliputi kolam renang, fitness center, trek lari, lapangan bola, lapangan futsal, lapangan basket, lapangan tennis, dan lapangan voli. Ketiga anak manusia itu hanya melihat-lihat dan sesekali mengambil foto. Beralih pada Sabuga yang ternyata sebuah Gedung konvensi, mereka juga hanya melihat-lihat sekilas.
D’botanica Mall jadi tujuan akhir tiga serangkai itu sore hari ini. Namun masih belum ada pergerakan lagi setelah mereka keluar dari dalam grab. Pramudya masih dipusingkan dengan ocehan dua teman perempuannya. “Mau hokben, Gas,” pinta Nora.
“Tapi aku penginnya ramen, Pram,” ucap Bella.
“Makan sendiri-sendiri aja gimana?” usul Pramudya yang mendapat gelengan kompak dari keduanya.
“Oke kita seafood,” putus lelaki kemudian berjalan lebih dulu. Nora dan Bella mengikuti meski keinginan mereka tidak ada yang terpenuhi.
“Mbak kita pesen paket udang crispy-nya 3, sei sapi daging wagyu asap nya 2, kepiting 1, minum mineral 3, sama sambal bawang 3.” Pramudya menentukan pesanan tanpa bertanya pada kedua orang yang mukanya masih kusut. “Abis ini kita nonton, baliknya beli cemilan terus kalian bisa lanjut ngemil di kamar sambal Netflix,” lanjutnya.
“Terima kasih, Gas/Pram.” Kedua perempuan di hadapan Pramudya kompak berujar. Mereka menunggu makanan dengan sabar, sedangkan Pramudya memainkan ponsel sesekali melirik ke arah mereka. Merasa lucu dengan ketenangan dua perempuan itu.
“Kenapa masih di sini?” tanya Pramudya.
“Emang harusnya kemana, Gas?” Nora balik bertanya.
“Ashar loh ini, sholat lah, kemana lagi emangnya?” jawab Pramudya.
Nora dan Bella kompak berdiri dan pergi menuju mushola. Mereka sepertinya sudah sangat lapar sampai tidak mengucapkan apapun lagi. 20 menit kemudian, mereka kembali dan Pramudya yang pergi ke mushola.
“Lama banget, Pram, aku udah nungguin,” ucap Bella saat Pramudya kembali ke meja dan pesanan mereka sudah tertata rapi. Namun Nora dan Bella tidak akan makan sebelum lelaki itu kembali.
Pramudya terterawa pelan. “Sorry-sorry, tadi nyasar dulu. Selamat makan,” ucapnya.
Kedua perempuan di hadapan Pramudya langsung berdoa dan makan dengan lahap, mengundang tawa lelaki itu lagi. “Segitu lapernya, ya,” komentarnya yang kemudian ikut tenggelam menikmati makan sore mereka.
“Nggak lagi-lagi lah nonton film horror di bioskop. Kapok aku,” ucap Nora ketika keluar dari bioskop. Selesai makan, mereka memang menonton film karena jadwal yang kebetulan sedang tayang adalah film horror, akhirnya mereka menontonnya meski berat hati.
Bella menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Dia memang kurang suka film horror terutama dari Indonesia, bukannya tidak cinta produk dalam negeri, hanya saja dia tahu bahasanya. Berbeda dengan film horror luar negeri, ketika Bella takut, ia masih bisa menutup mata dan membaca subtitle-nya.
Pramudya justru santai-santai saja. Ia masih menyedot minumannya sebelum akhirnya ia buang karena sudah habis. “Sholat yuk, abis ini kita beli cemilan terus pulang,” ajaknya.
Mereka turun menuju lantai satu, melaksanakan sholat maghrib dan isya sebelum akhirnya berpencar mencari camilan yang mereka inginkan. “Udah dapet semua camilannya?” tanya Pramudya setelah menghabiskan waktu 30 menit menunggu dua perempuan yang entah kemana.
Dapat lelaki itu lihat, Bella membawa tentengan yang sepertinya berisi ayam goreng. Sedangkan Nora ia membeli dimsum mentai kesukaannya. Kedua perempuan itu tampak senang dan siap untuk pulang, untungnya Pramudya sudah memesan grab car yang sudah sampai di depan mall.
“Ih, sebenernya tadi pengin ke bagian Joy n Fun tapi udah jam 8, bentar lagi juga tutup,” ucap Nora saat mereka berada dalam mobil.
Ponsel perempuan itu berdering. “Halo, Dok. Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?” sapanya kalem.
Selama beberapa menit, Nora terlibat pembicaraan yang cukup serius dengan seniornya. “Baik, Dok, segera saya proses untuk pemindahan pasien lewat Dokter Naya. Paling lambat selasa pagi saya sudah kembali ke RS,” ucap Nora yang di menit berikutnya telepon ditutup sepihak oleh seniornya.
“Kalian jadinya balik bareng, ya?” simpul Bella sembari menatap Nora dan Pramudya bergantian.
Pramudya menoleh sekilas dan menatap melalu spion tengah. “Emang mau kapan, Ra?” tanya lelaki itu.
“Selasa pagi udah harus sampe sana, coba cari tiket dong, Gas,” jawab Nora.
“Berangkat jam 1 siang, transit di Bekasi terus sampe Malang kurang lebih jam 4 pagi. Ada lagi yang berangkat jam 6 sore, sampe Malang sekitar jam 7 pagi ga perlu transit.” Pramudya mencari kereta yang berangkat bada dzuhur agar ia dan Nora masih punya waktu untuk pergi ke Trans Studio sesuai rencana awal.
“Aku ambil yang itu aja deh, kamu sekalian?” tanya Nora yang dibalas anggukan oleh Pramudya. Lelaki itu langsung memesan tiket untuk dirinya dan Nora.
“Maaf, ya, Bell. Aku nggak tau bakal ada urusan urgent gini, tapi kita tetep usahain buat ke TSB, sayang banget udah di sini,” ucap Nora.
Bella tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa, Noy. Lagian kita masih bisa pergi bareng lagi misal kamu pengin baliknya besok pagi,” ujar Bella.
“Kalian masih bisa, yang nggak bisa kan aku. Keknya akhir tahun aku nikah deh, pusing banget gila,” keluh Pramudya sembari mengacak rambutnya yang sudah kusut.
Bella dan Nora meringis melihat teman mereka yang terlihat frustasi dan tertekan. Padahal biasanya ketika liburan seperti ini, Pramudya ahlinya pergi sendiri, menghilang dan menghabiskan waktu entah dimana dan dengan perempuan yang entah siapa.
“Kayaknya tahun ini lagi jadi tahun hectic kita nggak sih?” Nora mengutarakan isi pikirannya. Menurutnya tahun ini memang jadi tahun tersibuknya di sepanjang karirnya. Jadwal operasi yang entah kenapa begitu padat hingga membuatnya jarang memiliki waktu untuk menghubungi orang tuanya.
Pramudya juga merasakannya. Dia memang kebanjiran banyak project dan itu merupakan sebuah keberuntungan dan rezeki yang berlimpah baginya. Namun di samping itu ia harus menghadapi Raisha yang entah kenapa tahun ini jadi banyak merengek soal pernikahan. Menikah belum ada dalam rencananya tahun ini, bahkan di tahun-tahun yang ia lewati dengan Raisha, Pramudya belum bisa membayangkan rumah tangga macam apa yang akan ia bangun dengan kekasihnya.
Bella pun sama. Ia terlalu banyak dibuat kecewa oleh Rakha. Sejak memutuskan balikan dengan lelaki itu, hidup Bella seolah diatur oleh Rakha. Apa yang Bella ingin harus diam-diam gadis itu wujudkan, dapatkan atau lakukan sendiri. Rakha jadi suka mengatur keuangan Bella. Bella masih ingat betapa inginnya ia membeli sebuah skincare yang tengah diskon, namun Rakha dengan tegas berujar, “Kalo kamu beli skincare yang harga ratusan itu, sayang tau uangnya. Uang seratus ribu itu bisa dipake buat aku makan seminggu loh, sayang.”
Masih banyak keinginan lain yang akhirnya Bella penuhi tanpa memberitahu Rakha. Padahal dulu sebelum mereka putus, Rakha selalu tahu apa yang Bella lakukan karena perempuan itu dengan suka rela menceritakan segalanya. Bahkan setiap liburan pun, Rakha pasti mengetahui dan mengecek pergerakan kekasihnya lewat aplikasi tracker.
“Curiga kalo abis dibikin hectic gini hadiahnya duit berjuta-juta,” ucap Bella yang mendapat tawa renyah Pramudya.
“Nikah aja, nanti pasti dapet duit berjuta-juta,” kata Pramudya.
“Konep pernikahan dia intimate wedding, Gas. Udah pasti yang diundang kita berdua.” Nora tertawa kencang melihat ekspresi Bella.
“Ish, aku juga masih punya temen lain kok,” sanggah Bella. Dia punya banyak teman seperti rekan kerja, meski tidak tergolong dekat untuk berbagi masalah pribadi, namun cukup untuk masuk ke list tamu undangan.
“Ucap seseorang yang kegiatannya cuma kerja, kerja, kerja. Nongkrong dong sayangku biar kamu dapet cowok baru. Sini biar aku ajarin caranya biar dapet cowok baru, mau yang speknya gimana nih? Duren mateng? Atau mau brondong aja,” ucap Nora.
Pramudya menggelengkan kepalanya. “Jangan diajarin yang aneh-aneh, Ra. Lagian kayaknya nggak ada momen yang bisa bikin Bella putus sama si arak-arakan itu,” tukasnya.
“Kalo aku beneran nikah tahun ini, kasih aku tiket honeymoon ke Labuan Bajo 4 hari 3 malem aja,” sahut Bella asal.
“Weh, beneran loh ya. Oke, catet tuh, Gas. Kalo Bella beneran nikah tahun ini, kamu pesenin paket honeymoon ke Labuan Bajo. Aku kasih kamu produk skincare korea lengkap sama elektronik andalan mereka,” ucap Nora serius.
Pramudya makin tertawa mendengarnya. Bahkan ia masih tertawa saat mobil sampai di depan hotel. Mereka turun dan memasuki hotel. “Kayaknya mustahil banget kalo Bella nikah tahun ini kecuali dia MBA,” ujar lelaki itu.
Bella mendelik mendengarnya ia reflek mencubit perut Pramudya membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. “Enak aja kalo ngomong. Atas dasar apa coba kamu kepikiran begitu, Pram? Aku juga bisa nikah dengan normal tanpa huru hara, ya! Ish, buang aja dia ke laut selatan, Noy. Udah bosen idup kayaknya,” omel Bella.
Nora terpingkal-pingkal selama mereka berada dalam lift. “Aduh udah ah, sakit banget perut. Kita masih punya agenda buat netlix and chill, Bell. Ayo jangan buang tenaga buat ngurusin Bagas yang mulutnya kadang asal ngomong ini,” tuturnya.
Setelah adegan marah-marah dan cubitan pedas Bella. Mereka masuk ke kamar masing-masing. Bella masih dengan rasa kesalnya, ia sampai mendiamkan Nora. “Udah ya, jangan kesel lagi. Kita nonton film yang bagus-bagus aja. Eh, nonton drakor aja nggak sih? Kayaknya liat Dear M seru,” bujuk Nora.
Nora sudah hafal dengan kebiasaan Bella yang jika sedang kesal kadang diam. Butuh waktu untuk meredam emosinya sendiri. Namun itu takkan berlangsung lama, mengingat durasi ribut mereka tadi juga tidak sampai 1 jam. “Mau makan ayam,” ucap Bella yang kemudian menghampiri ayam gorengnya.
Kedua gadis itu sudah kembali akur dan duduk di atas ranjang masing-masing sembari menonton drama pilihan Nora. “Kesel nggak sih sama Ro-sa yang manfaatin keadaan jadi keliatan dia yang pacarnya Ha-neul,” komentar Nora.
Bella mengangguk setuju. “Kalo jadi Ji-min udah aku lempar pake kecap asin seember tuh Ro-sa, kegatelan banget sama cowok orang,” tanggapnya.
Dering ponsel Bella menghentikan keasikan mereka dalam menonton. “Halo, Kha. Kenapa?” tanya Bella tanpa basa-basi.
Perempuan itu paling tidak suka jika aktivitas nonton drakor-nya diganggu meskipun itu oleh kekasihnya sendiri. “Oh, udah boleh pulang besok? Yaudah, cuma mau ngomong itu aja kan? Aku lagi nonton nih,” tutur Bella yang sesekali melirik ke arah layar televisi.
“Iya udah iya, besok aku transfer lagi. Iya nggak apa-apa, aman kok.” Bella mematikan teleponnya dan mengutak-atik ponselnya. “Noy, transfer 200 ada nggak?” lanjutnya. Nora mengiyakan, perempuan itu langsung mengirim uang tanpa bicara apapun lagi.
Mereka berhasil menamatkan 1 series pada pukul 2 dini hari. Keduanya kompak membereskan kekacauan kamar yang mereka buat. “Aku mau cuci muka duluan, Noy.” Bella langsung melesat ke dalam kamar mandi.
Sedangkan Nora ia bicara dengan Pramudya lewat telepon. Lelaki itu masih terjaga karena Raisha tantrum meminta sleep call. “Siapa, Noy?” tanya Bella ketika dirinya keluar dari kamar mandi.
“Bagas belom tidur, abis sleep call sama Isha,” jawab Nora.
Kening Bella berkerut. “Apa hukumnya menelpon cewek lain padahal abis sleep call sama ceweknya,” tutur Bella di samping Nora.
Pramudya tertawa di seberang sana. “Apa sih, Bell? Kamu iri pengin ditelpon juga? Nggak ditelpon sama pacarnya, ya?” ucapnya.
“Udah ditelpon tadi, udah dimintain duit juga sama si mokondo,” adu Nora yang membuat Bella mendelik sebal.
Pramudya meredakan tawanya. “Besok pas ditinggal aku sama Nora, kamu jangan main jauh-jauh, ya. Main ke BCW aja, terus kabarin aku sama Nora juga kalo butuh suntikan dana,” ucapnya serius.
“Oh, iya, setuju. Pokoknya kamu besok pas aku sama Bagas udah balik, jangan kemana-mana pas malem, ya. Pesen room service aja, biar nggak ribet keluar-keluar cari makan. Jangan makan yang aneh-aneh juga,” timpal Nora.
“Iya, Noy, Pram. Aku bakal baik-baik aja kali. Kayak bakal kena bencana aja kalo kalian ninggalin aku sendiri.” Bella menanggapi dengan tenang. Ia duduk anteng di atas ranjang dan menyelesaikan kegiatannya memakai skincare.
Pramudya mengakhiri telepon dan Nora pergi ke kamar mandi untuk melakukan night routine-nya juga meski ini sudah masuk waktu pagi. “Bell, kayaknya aku sama Bagas berangkatnya dimajuin deh. Aku ada jadwal operasi malem. Tolong bangunin aku subuh, ya, Bell,” pinta Nora sebelum Bella terlelap ke alam mimpi.
Hanya Bella yang dapat Nora andalkan. Meskipun Bella tidur di jam 2 pagi pun, perempuan itu tetap bisa bangun di waktu subuh dan melaksanakan ibadahnya meski setelahnya dia akan tidur lagi. “Oke, Noy. Aku udah setting waktu jam setengah 5. Koper kamu udah beres semua kan?” tanya Bella.
Nora mengangguk. “Udah kok, untung tadi saranmu kulakuin,” ucapnya.
Bella memang menyarankan Nora untuk segera membereskan koper agar tidak buru-buru. Jadilah Nora membereskan kopernya sembari menonton drakor tadi. “Kalo bisa, kamu putus aja sama Rakha. Besok aku kenalin sama cowok lain yang lebih proper buat jadi suami kamu. Rakha … he’s not good choice, he’s jerk, sama kaya Bagas,” gumam Nora sebelum benar-benar menutup matanya dan terlelap, meninggalkan Bella dengan pikirannya yang penuh dan berisik. Baik Rakha maupun Pramudya, keduanya sama-sama membuat Bella kesulitan untuk percaya dengan lelaki.
•••
-That's Why He My Man-