-That's Why He My Man-
•••
Maaf jika
Belum seturut yang dipinta
Maaf jika
Seperti tak tahu arah
Aku sudah dewasa
Aku sudah kecewa
Memang tak seindah yang kukira
(Takut – Idgitaf)
Arabella Zahra, S. Pd.
Nama perempuan tersebut lagi-lagi tercantum di bagian ketua panitia kegiatan. Dirinya kembali menempati posisi ketua panitia SPMB sekaligus sekretaris. Sang empunya nama hanya mampu mengangguk tanpa bantahan. Padahal ia sudah sangat terbantu dengan kehadiran Pak Hanung yang mau mengambil posisi tersebut menggantikan Bella. Tetapi tahun ini Pak Hanung harus berangkat haji. Kekosongan posisi harus segera diisi mengingat libur semester hampir dekat.
“Berhungung Pak Hanung sedang melaksanakan ibadah haji, jadi untuk ketua SPMB kembali pada Bu Bella. Silahkan dikoordinasikan kembali untuk kegiatan SPMB-nya,” tutur Bu Tari.
Kepala Bella pening bukan main saat rapat tadi. Setelah posisi itu kembali pada dirinya, ia masih didapuk untuk menjadi ketua panitia kegiatan pelepasan kelas 9. Itu baru tugas utama, masih ada tugas tambahan lain berupa administasi PAT yang harus selesai di pertengahan bulan Mei ini. Bella ingin mengumpat rasanya, terlebih saat melihat 12 anak yang tengah ia awasi justru sibuk bertukar jawaban.
Bella mendecak sengit. “Mencontek nggak menjamin nilai kalian jadi bagus, justru Bapak Ibu guru kalian makin ngurangin nilai kalian. Ingat, kalian masih pada punya hutang ke saya. 100 soal itu harus dikumpulkan ke saya maksimal besok pagi,” ucapnya datar.
Kepalang kesal karena diabaikan, Bella kembali berujar, “Hp kalian saya sita 1 bulan mau?”
“Nggak mau, Bu Bell. Udah ayo cepetan semua dikerjain sendiri aja, cepet!” komando Nizam cepat.
Bella mendecih lirih. Anak-anak jaman sekarang mengapa tiada takutnya pada guru sih. Mereka bahkan terang-terangan mencontek di hadapan pengawas ujian. Kesabaran guru muda seperti Bella sangat diuji. Di jamannya dulu, mana ada anak seperti ini. Mereka saja takut pada guru, mana mungkin berani mencontek terang-terangan.
Kadang Bella pikir, sikap mereka adalah bentuk dari hasil pola asuh orang tua mereka. Attachment style, dua kata itu berputar di pikiran Bella. Dulu di masa remajanya, tak sekalipun Angger melepas Bella. Bella yang kadang bandel itu terus Angger arahkan untuk bisa jadi pribadi yang tidak egois.
Masa remaja adalah masa dimana seorang anak melihat dunia hanya dari sudut pandang dirinya. Semua yang dia lakukan, di matanya adalah kebenaran. Itulah mengapa orang tua harus dapat membimbing mereka dalam mengambil sebuah keputusan yang tepat agar tidak terjebak dalam masalah. Dengan cara memberikan perspektif atau sudut pandang lain agar anak bisa menyadari bahwa dunia tidak hanya berpusat dan berjalan sesuai keinginanya.
Angger mendidik Bella untuk jadi anak yang percaya diri. Pria itu lah yang akhirnya menerapkan planning keuangan bulanan guna mendidik Bella untuk belajar caranya mengelola uang yang Bella pikir tidak akan pernah habis. Sejak saat itu Bella rajin mengadakan rutinitas kumpul setiap bulan dan mengikuti bagaimana orang tuanya mengatur keuangan. Mereka akan berkumpul dan menceritakan hal-hal apa saja yang mereka lewati selama satu bulan tersebut. Kadang mereka menghabiskan waktu bertiga saja, tanpa kedua adik Bella.
Kegiatan bulanan itu berubah jadi sebuah rapat keuangan biasa sejak kepergian Angger. Ketidakhadiran Angger di kehidupan Bella membuat perempuan itu ketakutan setiap bertambah umur. Bella benar-benar kehilangan sosok yang berharga dalam hidupnya, cinta pertamanya. Ia tidak lagi mendapati dirinya bersenang-senang dengan Angger. Padahal dulu, Bella selalu menantikan momen sebulan sekali itu. Perempuan itu akan senang hati memilih lagu untuk menemani kegiatan mereka. Kemudian mereka akan menghabiskan waktu dengan nonton film bersama. Rumah itu seolah kehilangan cahaya terangnya bersama dengan ketiadaan Angger. Kedatangan Damar bagi Bella memberikan sebuah penerangan meskipun samar, persis seperti nama pria itu.
Bella spertinya harus menambah pembelajaran parenting di list kegiatannya nanti. Ya, itupun jika beruntung akan terlaksana. Inginnya sih dia ajak Rakha untuk ikut webinar tentang parenting. Tetapi melihat mood Rakha yang akhir-akhir ini sepertinya sedang buruk, sepertinya Bella lebih baik mengurungkan keinginannya itu.
“Bu Bell, selesai!” Nizam mengangkat lembar jawab serta naskah soalnya ke meja pengawas. Anak itu mengumpulkannya dan langsung pergi keluar ruangan. Setelahnya, satu per satu anak mulai mengikuti Nizam. Bella merapikan lembar jawab serta naskah soal tersebut. Perempuan itu meninggalkan ruang ujian dan masuk ke ruang guru.
“Bu Ketu ada usul soal souvenir buat pelepasan kelas 9?” tanya Humaira yang ditugasi menjadi sekretaris.
“Sesuaikan sama keinginan Bu Tari aja, percuma juga aku kasih usulan tapi ujungnya ditolak.” Menurut Bella, tak ada untungnya dia jadi ketua, semua usulannya selalu ditolak oleh kepala sekolah. “Tadi Bu Tari minta mug tapi cangkir gitu kan? Iya udah kita pakai itu aja. Nanti biar aku sama Bu Mima yang riset harganya masih sama apa nggak,” putus Bella yang langsung disetujui oleh Humaira.
“Bu Humai, aku minta tolong jangan pakai kata wisuda lagi, ya? Acara kita pelepasan. Wisuda kayaknya dipakai buat di kampus aja,” pesan Bella.
“Noted, ada lagi?” tanya Humaira.
Bella menggeleng. “Belum ada,” jawabnya. Isi kepala Bella saat ini berantakan, wajah perempuan itu kusut, bahkan ia tidak berselera makan.
“Nanti baliknya beli seblak mau, Bell?” tanya Jemima.
Bella sebenarnya tak minat, namun ia tak punya alasan untuk menolaknya ketika hari ini dirinya memang harus pulang dengan Jemima. “Okey, Bu Mima. Aku mikir dulu mau beli topping apa,” jawab Bella seadanya.
Tak ada satupun topping yang terlintas di pikiran Bella. Perempuan itu memikirkan hal lain yang lebih urgent. Memasuki bulan Mei, semua yang terlihat di mata Bella seolah menjadi beban pikiran tak berkesudahan. Mei jadi bulan yang Bella tidak sukai dan patut diwaspadai.
“Bu Bella, saya minta laporan perkembangan kegiatan PPDB ada?” tanya Bu Tari saat memasuki ruang guru.
Bella mengangguk. “Mau dalam bentuk apa, Bu? Soft file? Har─”
“Saya butuhnya sekarang, lisan saja. Di ruangan saya,” potong Bu Tari cepat kemudian melenggang pergi. Untung saja beliau tidak melihat betapa frustasinya ekspresi wajah Bella.
Bella meninggalkan mejanya dengan membawa buku notulen, menuju ruang kepala sekolah. Perempuan itu berdiri di hadapan Bu Tari dan menyerahkan notulennya. “Ijin laporan, ya, Bu. Sebelumnya, di bulan februari usai kita mengadakan lomba tingkat SD/MI kemarin, Pak Hanung memasrahkan ke panitia untuk TL-nya. Hanya saja, dari 20 surat permohonan ijin sosialisasi yang disebarkan, baru ada 13 sekolah yang kita sambangi, Bu. Sisanya belum ada balasan lagi. Sementara itu, agenda SPMB kita terhenti ketika bulan Ramadhan kemarin kita juga terfokus untuk PTS, kebetulan libur kita memang lumayan lama. Masih ada sisa surat yang belum diedarkan, Bu. Namun kegiatan kita setelah lebaran ternyata cukup padat. Persiapan US tertulis dan praktik, kemudian sekarang ada PAT dan juga pelepasan. Timeline kegiatan SPMB kita tahun ini agak kacau, Bu. …”
Bella menjelaskan semuanya dengan runtut dan jujur tanpa ada yang ditambah maupun dikurangi. “ … untuk dana juga kita baru dapat dari Yayasan minggu kemarin. Itu pun sudah dipakai untuk pemesanan kaos olahraga. Yayasan baru memberi 25 persen dari dana yang kita minta, Bu. Yayasan hanya memberi uang untuk seragam dan insentif yang diberikan pada beberapa komite yang membawa siswa. Sedangkan, untuk pengeluaran selama lomba kemarin, saya pikir itu juga akan jadi tanggung jawab Yayasan, mengingat di rapat sebelumnya, kita juga sudah dengan jelas mendengar persetujuan Yayasan kalau mereka sanggup memberikan dana 100 persen.”
“Masih bisa dikejar atau tidak untuk sisa surat itu?” tanya Bu Tari.
Dengan tegas Bella mengangguk. “Bisa, Bu. Hanya saja kita nggak menjamin bahwa sekolah akan langsung memberi ijin, mengingat sebentar lagi mereka punya agenda US. Kita juga sebentar lagi PAT,” tuturnya mengingatkan.
Bu Tari menganggukan kepalanya. “Ya, sudah boleh keluar,” ucapnya.
Bella pamit undur diri dari ruangan Bu Tari. Perempuan itu bernapas dengan lega kemudian membereskan mejanya. “Jadi beli seblak, Bu Mim?” tanya Bella.
“Jadi dong, Bu Humai jadi ikut?” tanya Jemima.
Humaira memberikan jempolnya. “Tunggu bentar mau ngasih RAB ke SMK,” ucapnya sebelum menghilang menuju parkiran motor.
Bella mengecek kembali isi tasnya. Perempuan itu menghela napasnya lagi. Pusing di kepalanya bertambah. “Kenapa ya, makin ke sini kaya makin berat aja hari-harinya,” gumam Bella.
Papanya pasti dulu bercanda tentang kehidupan dewasa yang menyenangkan. Bella tidak menemukan arti dari kata menyenangkan yang papanya bilang. Pekerjaan dan hubungan romantisnya seolah berjalan tidak berarturan sejak usianya menginjak kepala dua.
Jika dirating, tahun ketiga Bella di sini ini adalah yang terburuk dari 2 tahun sebelumnya. Entah hanya perasaannya saja atau memang tahun ini seolah jadi tahun yang cukup hectic baginya. Masalah datang silih berganti bahkan untuk menyelesaikannya tak cukup waktu sehari atau dua hari. “Kok ya masalah betah banget mampirnya, apa nggak bosen, ya?” gumam Bella lagi.
Bella memang kadang suka bermonolog, tak peduli dirinya di mana dan dengan siapa. Ia pasti akan bermonolog tanpa sadar. Bahkan di dalam kamarnya sekalipun, Bella sanggung bermonolog berjam-jam lamanya. Awalnya Jemima pikir rekan kerja mudanya itu agak gila. Namun makin ke sini, di mata Jemima, Bella memang kadang gila. Tetapi Bella tak peduli selama tak ada yang mengusik dunianya, itu sudah cukup baginya.
Ting!
Sunshine
Sayangg, kamu tau nggak? Jari aku sobek kena pecahan gelas
Bella menatap notifikasi pesan tersebut cukup lama sebelum ia mengetikkan balasan.
Bella
Udah diobatin? Minta P3K ke temen kosmu
Sungguh, Bella tak ingin mengurusi drama baru hari ini. Ia sudah lelah dengan pekerjaanya, tidak bisakah orang-orang diam dan tidak memberinya masalah baru lagi. Tetapi semesta sepertinya memang suka mengerjai dirinya, mereka memberikan Rakha sebagai pelengkap kacaunya hari jum’at ini.
Sunshine
Susah mau masak, soalnya tangan kanan yg kena
Bella
Yaudah aku tf nanti ya?
Uangmu pasti udah kepake buat bayar kos sama makan kemarin kan?
Sunshine
Tf buat apa sayangg?
Bella
Biar kamu beli makan aja, gausah ribet masak
Sunshine
Nggak ngerepotin?
Bella
Nggak lah, nanti ya, aku masih ada urusan sama temenku soalnya
Bella menutup obrolannya tanpa peduli dengan balasan Rakha. Perempuan itu ingin tidur saja rasanya. Ia janji setelah sampai rumah nanti, Bella akan memuaskan diri dengan tidur siang. Akan ia abaikan tugas-tugas menggunungnya untuk sementara waktu. Meskipun itu hanya sebuah kemustahilan baginya.
Ting!
Ayah
Bell, kamu mau makan siang apa? Nanti sehabis jumatan ayah belikan
Bella
Mau katsuuuu
Ayah
Okay, hati-hati pulangnya yaa
Bella tersenyum membaca pesan Ayahnya. Damar mengusahakan apapun yang Bella inginkan, meski hanya sebuah makanan, bagi Bella itu berharga. Hanya saja ingatan tentang Papanya memang kerap kali datang dan membuat dirinya sedih. Kadang kali Bella bertanya-tanya, kenapa Damar memang seolah tidak ingin memenuhi semua ekspetasi yang Bella harapkan. Haruskah Bella tanyakan langsung pada ayahnya itu?
Ting!
Shadira
Kak Bella, aku nitip masker duckbill yaa
Punyaku abiss
Bella
Siap, ndoroo
“Yuk gas,” ajak Jemima saat melihat Humaira sampai di ruang guru. Jemima, Humaira dan Bella langsung bergegas pergi dari kantor sebelum mereka terjebak dan harus pulang lebih siang lagi.
Siang itu, saat Bella menatap tanah lapang di depan warung seblak tempatnya bersenda gurau dengan kedua rekan kerjanya. Sebuah pertanyaan asing terlintas dipikirannya, mengapa Tuhan menciptakan dan menurunkan manusia ke bumi ini jika pada akhirnya manusia lah yang mengotori bumi ini?
•••
-That's Why He My Man-