-That's Why He My Man-
•••
You don't know how to love me when you're sober
When the bottle's done, you pull me closer
You're saying all the things that you're supposed to
But you don't know how to love me when you're sober
(Sober – Selena Gomez)
“Agenda sekolah mulai senin hari ini sampai jum’at besok ialah ujian praktik bagi kelas 9 yang jadwalnya sudah saya bagikan sejak minggu kemarin di grup, dan sudah saya tempel pula di madding. Khusus mapel saya, anak-anak diharapkan mengumpulkan catatan IPA kalian mulai dari kelas 7 sampai kelas 9. Catatan tersebut saya harap bisa menjadi pengisi kekosongan kolom nilai kalian. Terutama untuk anak perempuan yang tidak pernah mau mencatat materi di jam pelajaran saya, silahkan menemui saya untuk mengambil naskah soal berjumlah 100 butir untuk dikerjakan. Selain itu …” Bella menghadap ke arah timur. Berdiri membelakangi tiang bendera yang sudah mengibarkan benderanya. Amanat kali ini ia akhiri dengan cepat karena ia malas berbicara dengan suasana gerah yang sudah menyelimutinya.
“Sekian dari saya, Nashrun minallahi wa fathun qarib wa basyiril mu'minin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Tidak ada 10 menit, amanat Bella selesai.
Upacara berdurasi singkat selalu dimenangkan oleh Humaira dan Bella. Amanat mereka tidak sampai 10 menit rasanya sudah selesai, bahkan mungkin tidak sampai 5 menit. Keduanya sama-sama tidak ingin melawan teriknya matahari di senin pagi yang terlalu menyorot tubuh mereka. Tidak pandai berkata-kata dan tidak suka berdiri terlalu lama adalah kuncinya. Maka petugas upacara paling suka jika Bella dan Humaira yang menjadi pembina upacara.
“Bu Bella bukannya saya sudah bilang kalau amanat itu yang panjang agar─”
“Bu Tari, saya udah sering merelakan jam saya terpotong karena upacaranya melebihi jam yang sudah terjadwal. Tolonglah sekali saja ketika saya yang jadi Pembina, jam saya bisa utuh. Saya kehilangan waktu di jam pelajaran saya, Bu. Meskipun bagi ibu mungkin hanya 10-15 menit, tapi buat saya itu berharga, Bu,” potong Bella.
Bu Tari terdiam lalu melenggang pergi. Bella memutar matanya, paling banter Bu Tari akan pergi ke TU dan mengadukan perbuatan bawahannya. Kanisa dan menahan tawa melihat reaksi sang kepala sekolah.
“Bu Bell, kamu … wow, tumben?” Jemima sampai takjub dengan anak muda itu. Bella tertawa pelan. “Lagian harusnya beliau tuh bersyukur, aku udah mau gantiin dia yang lagi malas maju jadi Pembina. Malah nyalah-nyalahin,” ujarnya.
Pagi tadi, Bella sudah sibuk menyiapkan petugas, mengecek ulang perlengkapan mereka, persiapan upacara dan menata anak-anak. Setelah puluhan langkah kaki ia lakukan, ternyata ia masih harus berdiri di tengah llapangan yang hari ini terasa lebih panas dari hari biasanya. Semua itu karena satu kalimat yang membuat Bella seketika ingin rasanya memukul samsak.
“Bu Bellaa, haus.”
Lufi dan teman-temannya yang lain merengek pada Bella. Perempuan itu memberikan selembar uang 5 berwarna hijau pada anak itu. “Beli minum. Terus masuk kelas,” pesan Bella sebelum ia keluar dari kantor dan pergi ke kelas 7.
“Berdoa dulu, yuk,” ujar Bella ketika ia sudah masuk ke kelas 7A.
“Kita hari ini langsung latihan soal aja, ya? Buat persiapan PAT.” Bella mulai menuliskan beberapa contoh soal tentang kecepatan dan percepatan serta pembahasannya di papan tulis. Perempuan itu menjelaskannya sekilas kemudian membagikan lembar latihan soal pada anak-anak.
“Dikerjakan sendiri-sendiri, kalo ada yang belum paham, tanya aja. Soal itu sama cara mengerjakannya dengan soal di papan tulis ini, itu Cuma beda angka saja jadi jangan bingung.” Bella duduk sejenak, mengistirahatkan jarinya yang lelah menulis. Ketenangan menyelimuti kelas 7A sebelum satu celetukan menghancurkannya. “Bu Bella, aku malas nulis,” ujar Sania.
“Iya, Bu. Ini banyak banget 10 soal, Bu. Nanti tangan aku keriting. Waktunya juga ga cukup, pasti ga selesai deh,” timpal Julia.
“Gausah di tulis, ya, Bu?” pinta Rendi.
“Bu Bell, aku ga bisa nomor 3.”
“Bu Bell, nomor 5 gimana, Bu? Apa caranya sama kaya di papan tulis?”
Bella mengulas senyum. “Langsung dikerjakan saja, Sania. Tidak usah kamu tulis ulang soal-soalnya,” ujarnya sabar.
“Ambil lem di kantor untuk nempelin soal-soal latihan itu ke buku kalian.”
“Nomor 5 sama kaya di papan tulis, hanya beda angka.”
“Nomor 3 mana coba sini maju kamu, Jidan.”
Jidan sang ketua kelas maju dan mengambil kursi. Anak dengan perawakan tinggi diantara teman-temannya yang lain itu selalu punya keberanian untuk bertanya ketika tidak bisa.
“Bagian mana yang kamu belum paham, Jidan?”
“Gimana cara masukin ke rumus kaya punya Bu Bella di papan tulis?”
Bella menganggukan kepalanya memahami kebingungan Jidan. “Oh, I see. Oke, dengerin baik-baik, ya. Kita re-calling memory minggu lalu, ya? Kamu masih inget rumus cari kecepatan?” tanya Bella.
“Jarak dibagi waktu, Bu?”
“Betul. Nah, simbol dari jarak itu s, sedangkan waktu itu. Kita lihat sekarang di soal kamu udah nemu jarak sama waktunya belum?”
“Udah, Bu. Jaraknya 100 meter, kalo waktunya 10 detik.”
“Sip. Tulis dulu nih, apa aja yang diketahui …”
Jidan mulai menuliskan apa yang diinstruksikan oleh guru mudanya.
“Oke, sekarang yang di bagian ditanya, kamu tulis yang dicari itu apa?”
“Kecepatan berarti v, Bu?”
Bella mengangguk. Jidan menuliskannya lagi.
“Sekarang masuk ke cara jawab. Tulis dulu rumusnya, v sama dengan s dibagi t, …” Bella menunggunya dengan sabar. “Masukin angkanya sesuai simbol yang tadi udah diketahui,” lanjutnya.
“Berarti v sama dengan 100 dibagi 10, Bu?”
“Betul sekali. Nah, udah sampe sini aja. Kamu cari hasilnya sendiri di bangkumu.”
Jidan mengangguk-anggukan kepalanya patuh. “Ternyata gampang, ya Bu. Tadi keliatannya susah banget. Makasih, ya, Bu Bell,” ujarnya.
Bella mengulas senyumnya dan mengangguk. Perempuan itu berdiri dari duduknya dan mulai berkeliling kelas. Mengecek satu per satu muridnya. Mengajari mereka satu per satu agar mereka mudah mengerti. Meski rasa pegal tentu menggelayuti betisnya yang terlalu lama diajak berdiri serta tumitnya yang harus seimbang karena hak 5 cm-nya itu.
2 jam pelajaran habis, anak-anak selesai dengan soalnya. Mereka mengumpulkan buku catatan dan melakukan peregangan. “Alah, abis ini masih ada matematika yang lebih menguras otak,” tutur Windi dengan nada frustasinya.
“Eh, ada PR 2 soal dari Bu Billa kemarin. Udah pada dikerjain belum?” tanya Lani.
Kelas 7A seketika rebut saling menyalahkan karena tidak ada yang mengingatkan satu sama lain. Bella menggelengkan kepalanya, merasa tak heran lagi dengan kebiasaan anak-anak yang memang sibuk dengan ponsel mereka. “Saya tutup dulu pertemuan kita hari ini, sekian dari saya, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” pamit perempuan itu sebelum keluar dari kelas 7A.
Bella memasuki kantor dan meletakan buku catatan milik kelas 7A di mejanya. Perempuan itu segera keluar menuju kelas 7B karena ini sudah pergantian mata pelajaran. “Astagfirullahaladzim, kelas kalian baru dibersihin? Tadi pagi ngapain aja?” Bella melotot melihat Zara tengah menyapu kelas yang kotor.
Zara meringis. “Lupa, Bu,” ujarnya.
Bella mengusap kepalanya. “Selesaikan dulu, Zara. Saya ke kantor dulu aja kalo gitu, kalo sudah selesai panggil saya, ya,” tutur Bella yang kemudian berlalu setelah Zara mengangguk patuh.
“Nggak jadi masuk, Bu Bell?” tanya Humaira.
Bella menggeleng dan menjawab, “Kelasnya Bu Mima lagi di piketin. Aku mau duduk sama minum dulu deh.”
Ponsel Bella berdering. Perempuan itu melirik identitas penelpon yang ternyata Ibunya. “Halo, Bu? Ada apa? Tumben nelpon jam segini,” sapanya.
“Kamu sibuk, Bell? Ibu mau cerita dong. Ibu sama bapak tadi abis ke asramanya Dira. Terus nggak sengaja ketemu sama Pak Agam yang jadi donatur di sekolah Dira. Kamu tau sendiri kan, Pak Agam itu orangnya gimana? …”
Kening Bella berkerut mendengar penuturan Ibunya. Ini maksudnya apa sih? Bella harus kenalan sama Pak Agam gitu? batin Bella.
“… Nah, kalo Pak Agam aja sebaik itu apa lagi keturunannya, iya kan?”
Bella tersenyum kecut, mulai menyadari arah dari cerita ibunya.
“Nggak mau, Bu. Mau dikenalin ama anaknya kek, adiknya kek, sepupunya kek, atau cucunya kek, aku tetep nggak mau,” ujar Bella.
“Astagfirullahaladzim, Bella. Kamu nih, anak siapa sih? bandel betul ih. Ibu kayaknya dulu nggak sebandel kamu deh,” sungut Isabel dari seberang telepon.
“Pokoknya aku nggak mau.”
“Pikir-pikir lagi, ya, Bell. Kamu mau, ya, kenalan sama cucunya Pak Agam? Orangnya baik, sopan, pinter, katanya udah punya usaha juga. Apa tadi ya? baju koko gitu lah. Terus dia juga kerja jadi apa tadi, Yah?”
“Konten kreator,” ujar Damar.
Bella menghela napasnya. “Nggak mau, Bu. Lagian ibu nggak kasian sama pacar Bella? Kalo dia denger ibu jodoh-jodohin Bella sama orang lain, dia pasti sedih loh, Bu,” ujarnya.
Terdengar suara ibunya mencebik. “Yah, anakmu ini loh,” adu wanita itu.
“Makanya ibu jangan begitu,” tukas Ayah Bella.
Bella terkikik geli mendengarnya. “Jangan ketawa kamu, Bella. Lagian kalo kamu nggak ngadu, pacarmu juga nggak bakal tau,” ujar Isabel.
“Loh, tapi kan Bella ngaduan kaya Ibu,” balas Bella.
“Yah, ini loh Bella.”
“Bella, intinya kamu nggak mau?” Suara penelpon berganti menjadi Damar.
Bella menggelengkan kepalanya meski Damar tak bisa melihatnya. “Nggak, Yah. Lagian kasian juga pacar Bella nanti sakit hati kalo tau kek gini,” tukas Bella.
“Tapi dia beneran ada, Bell? Ah, nggak, maksud Ayah, pacar kamu kapan bisa ke rumah?” tanya Damar.
Bella terdiam sejenak. “Dia pasti dateng kok, Yah. Nanti biar Bella diskusiin lagi sama pacar Bella,” jawabnya.
“Akhir tahun ini kamu sudah bisa berkeluarga sendiri, Bella?”
Tepat saat Damar menanyakan itu pada Bella. Zara masuk ke ruang guru dan mengajak Bella untuk masuk ke kelas. “Yah, Bella masuk kelas dulu, ya. Udah ditunggu nih. Bahas nanti aja, Yah. Assalamu’alaikum,” pamit Bella cepat lalu mematikan sambungan telepon tanpa menunggu balasan salam dari ayahnya.
Bella keluar dari ruang guru diikuti oleh Zara. “Bu Bella hari ini kita belajar apa?” tanya anak itu.
“Tadi kelas 7A latihan soal buat persiapan PAT. Soalnya abis ujian praktik nanti, kelas 9 ada ujian sekolah. Kalian pasti libur terus materinya jadi nggak kelar dan nilai kalian kosong. Jadi, kita banyakin latihan soalnya aja, ya?” jelas Bella.
Zara mengangguk. “Okey, Bu,” ucapnya.
Bella sampai di kelas dan langsung memulai kegiatan belajar tanpa apersepsi terlebih dahulu. Waktunya sudah cukup banyak yang terbuang. Perempuan itu melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan di kelas sebelumnya. Tak lupa, ia juga berkeliling mengecek setiap anak yang terlihat kesulitan mengerjakan soal.
Bel istirahat berbunyi. Anak-anak berlari meninggalkan kelas, sedangkan Bella masih di kelas. Perempuan itu memilih tinggal di kelas tersebut. Istirahat hanya 15 menit, kadang tidak cukup untuk dirinya. Jika ia keluar sekarang, ia harus melewati banyak anak-anak yang kadang suka bertanya dan membuatnya terlalu lama membuang waktu istirahatnya.
“Ibu mau?” tawar Syifa.
Bella menggeleng.
Syifa berkerut kening kemudian menawarkan jajan selain kentang goreng yang ia beli. “Ini mau, Bu?” tanya anak itu sembari menyodorkan permen rasa coklat.
“Boleh, Syif?” tanya Bella memastikan.
Syifa mengangguk. Anak itu memberikan satu buah permen coklat pada gurunya. Bella menerimanya sembari berujar, “Terimakasih, Syifa. Tadi ada yang belum kamu ngerti? Nanti biar saya jelasin ke kamu pelan-pelan.”
Syifa menggeleng. “Aku cepet paham kok, Bu. Jadi Bu Bell ajarin yang lain aja, nanti aku juga bantu Bu Bell buat ajarin temen-temen biar cepet paham,” ucapnya.
Bella tersenyum lebar. Syifa adalah anak yang cukup rajin. Anak itu penurut dan pintar. Meski kadang kata yang keluar dari bibirnya itu minim filter, namun Bella cukup terbantu di setiap sesi mengerjakan latihan soal. Syifa akan senang hati membantu Bella mengajari teman-temannya yang belum mengerti.
Bella menatap ponselnya, memandangi room chat milik Rakha. Pesan Bella masih belum dibalas dari semalam. Bella mendengkus pelan, ia menutup aplikasi chat dan beralih pada aplikasi lainnya. Dulu Bella pasti akan selalu membombardir Rakha setiap lelaki itu hilang kabar, namun sekarang tidak lagi. Bella menyadari dirinya juga kadang lelah membaca banyak pesan, maka dari itu Bella tidak lagi melakukan spam chat ketika pacarnya itu lama membalas pesannya.
Bel masuk berbunyi, anak-anak yang sudah dalam ruangan masih sibuk menghabiskan jajan mereka. “Dihabiskan dulu terus diselesaikan tugasnya, kalo udah kelar langsung kumpulin, ya. Jangan dicontekin ke siapa-siapa, ngajarin boleh, contekin jangan,” ucapnya.
Jam menunjukkan pukul 11 ketika Bella berhasil keluar dari ruang kelas 7B. Bella melangkah membawa 15 buku catatan IPA menuju ruang guru. Sesampainya di sana, perempuan itu hanya meletakkannya saja, belum ada niatan untuk mengoreksi dan memberi nilai.
Pikiran Bella justru melalang buana ketika teringat obrolannya tadi dengan sang ayah. Haruskah perempuan itu tanyakan kapan Rakha bisa datang ke rumah? Bagaimana caranya bertanya tanpa terlihat memaksa?
Ting!
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Rakha mengirim pesan pada Bella.
Sunshine
Sayang maaf
Hp aku ketinggalan di kosan
Jadi aku kabarin lewat dm hehe
Bella
It’s okay
Kamu sibuk nggak? Aku pengin tanya
Sunshine
Tanya apa sayang?
Bella
Ibu sama Ayah mendadak tanya
Kapan kamu bisa ke sini
Sunshine
Yaampun dipikir biaya dari sini ke situ ga mahal kali ya
Ayah sama Ibu kamu ada ada aja deh
Lagian aku juga masih mau mikir mikir lagi soal nikah
Masa iya aku mau nikah. Tapi nanti kamu hidup susah
Bella
Tapi tadi aku udah bilang kok, kamu kebetulan lagi sibuk
Jadi belum bisa ke rumah
Sunshine
Ok kayanya lebih baik gitu. Yaudah aku lanjut kerja yaa
Byee sayang
Bella tidak membukanya. Perempuan itu memijat pelipisnya. Ia tak boleh menyerah membahas pernikahan dengan Rakha. Kalau sampai akhir tahun nanti, Bella tak membawa pacar. Apakah Ayah dan Ibunya akan menjodohkannya dengan Cucu Pak Agam itu? Jangankan cucunya, Pak Agam saja, Bella tidak tahu yang mana.
Bisa dikatakan Bella tidak sering mengunjungi adik bungsunya di asrama. Sejak lulus sekolah dasar, Dira langsung masuk ke boarding school. Sudah hampir 7 tahun lamanya, Dira juga hanya pulang saat liburan semester. Itupun jarang-jarang memiliki banyak waktu untuk berinteraksi dengan Bella.
Bella sudah cukup sibuk setiap akhir semester, kadang perempuan itu bahkan memilih untuk pergi keluar kota setelah piketnya berakhir. Mencari kedamaian di kota lain adalah jalan ninjanya dalam melepas penat.
Bella mencari nama Pak Agam di papan peramban. Tak banyak yang keluar, pria itu hanya seorang pensiunan anggota militer yang memiliki usaha penginapan yang cukup sering dikunjungi para pelancong karena letaknya di daerah dataran tinggi yang sejuk dan menawarkan view yang menarik.
“Nggak ada info soal cucunya,” ujar Bella. Tepat sesuai dugaannya, sebagai mantan anggota pasukan khusus, Pak Agam pasti memproteksi semua akses terhadap keluarganya.
Ting!
Pramudya
Bell, udah dapet rincian RAB sama proposal kan?
Ada yang mau direvisi nggak?
Bella
Sementara ini belum
Nanti coba aku cek lagi
Pramudya
Btw, bukan tahun ini kan?
Bella tahu arah pembicaraannya. Pramudya dengan Bella pernah berbagi cerita. Keduanya bahkan berniat untuk tidak menikah─setidaknya tidak tahun ini. Tetapi, itu bisa saja berubah bukan? Banyak keadaan yang memaksa keduanya berpikir keras soal pernikahan.
Pramudya sudah cukup mapan di usianya, kekasih pemuda itu juga kadang kali merengek minta dinikahi. Tetapi lelaki itu memahami dirinya sendiri yang belum bisa meninggalkan dunia lajangnya. Masih berat jika harus fokus pada satu perempuan untuk seterusnya.
Bella
Bukan, Pram. Santai aja.
Pramudya
Okey, deh
Bella menyukai lelaki berparas tampan. Pramudya tampan dan Bella akui dengan gamblang ia pernah menyukai lelaki itu. Namun kini keduanya akrab sebagai teman, orang-orang pasti akan mengira keduanya adalah pasangan. Bella tidak lagi menyimpan perasaan pada lelaki itu. Perempuan seperti Bella dan Nora yang dekat dengan Pramudya sudah terlanjur hafal seluk beluk jalan kehidupan lelaki itu. Mereka jelas menolak jika Pramudya berniat menjalin hubungan lebih dari sekedar pertemanan.
“Kita bertiga lebih cocok temenan, Gas, ga cocok jadi pasangan. Aku dan Bella, we can handle your attitude, not your ego. Males banget ngasih makan ego cowok kaya kamu, bikin eneg.” Begitu kiranya yang diucapkan Nora ketika ketiganya menghabiskan waktu bersama di Jatim Park 1.
Pramudya dengan segala egonya yang meminta dijunjung tinggi itu─tidak akan cocok bersama Bella ataupun Nora yang sudah sibuk dengan pekerjaan dan kehidupan mereka. Baik Bella maupun Nora butuh lelaki yang hadirnya memberikan ketenangan, bukan malah membuat keduanya merasa kelabakan dan bertambah lelah. Mereka butuh tempat bersandar, meski dilarang menggantungkan kebahagiannya pada orang lain. Tetapi, memiliki seseorang yang bisa diandalkan dan tidak membuat hati resah, tidak dilarang kan?
Ting!
Sunshine sent you a reels
Sayang kamu kalo pake ini cantik kayaknya
Jadi pengin cepet-cepet nikah
Bella membuka pesan tersebut dan mendelik melihat reels yang dikirim Rakha. Gaun tidur minim bahan berwarna hitam yang ukurannya memang cocok dipakai dirinya. Pipi Bella memerah, perempuan itu meletakkan ponsel dan membaliknya.
Ting!
Sunshine
Sayang, kok diread doang
Bella
Emang aku harus gimana?
Sunshine
Ya, apa gitu. Kamu ga tertarik kirim foto pakai tanktop gitu
Kan kamu punya, kenapa ga pernah kamu pake?
Aku kan pengin liat
Bella
Nikah makanya
Bella mematikan sambungan internetnya dan meletakkan ponselnya dengan kesal. Perempuan itu mendadak kesal dengan Rakha. Bella paham, Rakha lelaki normal yang tentunya masih punya nafsu. Rakha memang kadang mesum, tapi Bella hanya menanggapinya seperti tadi. Tetapi tidak ada hal-hal lain lagi yang terjadi, mungkin jika Rakha dalam keadaan sensitive, lelaki itu pasti akan merajuk ketika Bella membalas seperti itu.
Pernah terbesit dalam pikiran Bella tentang Rakha yang hanya menjalin hubungan dengannya karena tubuh Bella. Tetapi semua pikiran buruk itu Bella tepis karena ini sudah hampir 6 tahun keduanya bersama. Jika Rakha memang benar hanya memanfaatkan Bella, harusnya Rakha tidak menolak saat Bella ingin menemui lelaki itu. Tetapi lelaki itu selalu saja menolak, setiap Bella menawarkan diri untuk menemui Rakha di kota tempat tinggal lelaki itu. Jadi tidak mungkin kan, Rakha seburuk apa yang ada di sudut pikiran Bella? Kadang Bella merasa dicintai, kadang Bella tidak dipedulikan. Bella bingung, namun untuk memprotes, Bella tidak bisa. Ia tidak ingin rebut dengan Rakha.
•••
-That's Why He My Man-