# Email 005 – 31 Desember 2022
To: in_ara@email.com
Subjek: Sunyi yang Aku Pilih Sendiri
Hai, Ra.
Kau baik-baik saja di sana? Aku tahu pertanyaan itu mungkin terdengar sinis, tapi aku benar-benar ingin tahu. Apakah malam-malam ini terasa sepi, atau justru terasa ringan karena tak lagi dipenuhi suara yang membuatmu ciut?
Kosanku belum terasa seperti rumah. Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bisa bernapas tanpa takut. Tak ada suara pintu dibanting, tak ada tatapan yang menguliti. Hanya sunyi, dan dengus kecil dari kipas angin rusak yang kadang mengeluarkan suara seperti helaan napas panjang. Mungkin itu napasmu, yang selama ini kau tahan.
Hari ini aku mencoba menata rak kecil dengan buku-buku, satu-satunya benda yang kubawa tanpa ragu. Mungkin karena mereka tak menuntut, hanya menemani. Di antara halaman-halaman tua, aku menemukan sesuatu yang tak kusangka—surat. Amplop polos, sedikit menguning, tanpa perangko. Hanya ada tulisan kecil di sudut: Untuk Inara.
Aku tertegun, meski sudah lama sejak melihat huruf-huruf indah itu tapi aku masih ingat, ini adalah tulisan papa.
Tanganku gemetar saat membukanya. Aku tak berharap banyak—sejujurnya, aku bahkan nyaris lupa bahwa aku pernah punya ayah yang hidup bersamaku di rumah yang sama. Kita seperti dua orang yang saling melintas di koridor, tanpa menyapa, tanpa bicara. Sejak hari aku menyalahkannya karena membiarkan ibu pergi, kita berhenti menjadi keluarga. Aku yang memulai diam itu. Aku yang memberi jarak. Kupikir, dia pun tak lagi peduli.
Tapi surat ini... pelan-pelan mengikis sesuatu di dalam dadaku.
"Inara...
Papa nggak tahu harus mulai dari mana. Mungkin surat ini pun terlambat. Tapi kalau kamu baca ini suatu hari nanti, itu berarti kamu sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri. Dan mungkin Papa sudah nggak ada lagi untuk bilang semua ini secara langsung.
Papa sering diam, bukan karena nggak sayang. Tapi karena Papa takut... takut kalau setiap kata yang Papa ucapkan justru makin bikin kamu jauh. Kamu selalu jadi anak yang kuat, dan kadang... Papa pikir kamu nggak butuh Papa lagi. Padahal mungkin itu cuma cara Papa menenangkan diri sendiri.
Papa minta maaf karena nggak bisa jadi ayah yang pandai menunjukkan sayang. Tapi tiap kali Papa lihat kamu lewat di rumah, atau dengar kamu tertawa kecil di kamar, rasanya... itu cukup. Meskipun kita jarang bicara, Papa selalu perhatikan kamu. Selalu.
Jangan takut tumbuh, Nak. Kadang pohon memang harus berdiri sendiri supaya bisa melihat langit lebih luas.
– Papa"
Dan entah kenapa, di situlah tangisku pecah. (oh tidak, aku gak kuat menulis ulang suratnya, tangisku benar-benar pecah). Bukan karena kehilangan, tapi karena ternyata aku masih menyimpan rindu untuk sosok yang kupikir tak pernah benar-benar kucintai. Mungkin kami berperang dalam diam, tapi surat itu seperti suar yang menandakan: Ayah juga tersesat. Sama sepertiku. Kupikir aku membencinya. Tapi ternyata aku hanya terlalu kecewa. Dan kecewa itu menunggu waktu yang tepat untuk berubah jadi rindu.
Sunyi ini, ternyata, bukan hanya milikku. Ia pernah punya Papa juga.
Dan mungkin... mungkin selama ini aku terlalu sibuk menjaga luka agar tidak membesar. Tanpa kusadari, hal itu justru menambah luka yang lebih dalam untuk Papa. Aku mengira dengan membenci, aku terlindungi. Aku pikir, dengan menolak, aku akan sembuh. Tapi nyatanya, aku hanya memperdalam luka yang tertanam di diri masing-masing.
Mungkin ini cara sunyi mengajarkanku untuk pulang, bukan ke rumah—tapi ke bagian diriku yang lama kutinggalkan.
Salam hangat,
—Inara