# Email 004 – 27 Desember 2022
To: in_ara@email.com
Subject: Trauma yang Masih Mengikat
Ada satu teori dari psikologi yang aku pelajari tempo hari. Namanya trauma bonding.
Sederhananya, kamu bisa tetap terikat secara emosional dengan seseorang yang menyakitimu karena di sela-sela luka itu, pernah ada rasa aman atau kasih sayang, walau kecil.
Aku kira aku nggak mungkin ngerasain itu. Tapi ternyata, iya.
Hari ini aku benar-benar memindahkan semua barangku dari rumah itu ke kosan.
Sebenarnya kemarin aku sempat pulang—hanya untuk mengambil baju dan beberapa buku. Kupikir, mungkin Ibu akan menyambutku dengan pelukan lagi, atau setidaknya bertanya aku tinggal di mana sekarang. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.
Ibu menatapku lama, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu yang berat. Lalu tiba-tiba ia menunduk, kedua ibu jarinya saling menggosok gelisah, dan dengan suara pelan berkata,
“Maafin Ibu ya. Tapi Ibu ngerasa… sejak kamu pindah ke rumah ini, banyak masalah rumah tangga yang muncul. Ibu nyuruh kamu keluar karena… Ibu pengen semuanya baik-baik aja.”
Ia tidak menatap mataku saat mengatakan itu. Tangannya gemetar, suaranya bergetar, tapi tetap tak satu pun langkah yang ia ambil untuk mendekat. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamarku—seperti sedang menjaga batas.
Dan aku... aku berdiri di dalam kamar itu, membeku. Sejenak aku ingin percaya bahwa ia menyesal. Tapi kata-katanya tidak sampai ke sana. Ia seperti sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri, bukan menjelaskan padaku. Kata-katanya menamparku lebih keras dari apapun. Ternyata benar. Aku tidak salah dengar waktu itu. Ibu benar-benar menyuruhku pergi bukan karena ingin melindungiku, tapi karena menganggap kehadiranku membawa masalah.
Dan di saat itu juga, semua pelukan yang dulu terasa hangat berubah jadi kenangan yang dingin.
Buat apa dulu Ibu bersedih? Buat apa memelukku erat-erat, meminta aku tinggal bersamanya setelah Papa tiada... kalau akhirnya malah begini?
Apa artinya semua tangis itu kalau ternyata aku cuma dianggap beban yang bikin rumah tangganya goyah?
Sambil menelan ludah yang terasa berat, aku berkata pelan, “Baik. Maaf sudah merepotkanmu.”
Tanpa pikir panjang, aku segera mengemas barang-barangku—dengan amarah yang entah tertuju pada siapa.
Aku memandangi Ibu cukup lama, berharap ia menatapku balik. Tapi tidak. Bahkan ketika aku berjalan melewati ruang tamu, ia masih di tempat yang sama. Tangan kirinya mencengkeram dinding, sementara tangan kanannya memeluk tubuhnya sendiri—seolah menggigil. Tapi tak satu pun langkah mendekat. Tidak ada pelukan. Tidak ada kata “hati-hati”.
Dan hari ini, aku kembali lagi, mengambil semua barang yang tersisa. Aku pindah ke kosan. Sendirian. Membawa dua koper, satu kardus, dan sekeping hati yang masih mencoba percaya bahwa hidup tidak akan selalu sesakit ini.
Ra, kamu tahu? Trauma bonding itu nyata.
Ternyata bahkan ketika aku disakiti, ditolak, dibuang, aku masih mengharapkan Ibu menahan aku pergi. Masih berharap ada yang berubah.
Dan itu yang paling menyakitkan: berharap, tapi tidak diberi harapan.
Tapi tidak apa-apa. Aku akan mulai dari sini. Dari ruang kecil di pinggir kampus, yang bahkan belum ada hiasan di dindingnya. Setidaknya, tidak ada teriakan di sini. Tidak ada piring pecah. Tidak ada tatapan jijik dari seseorang yang seharusnya menjadi ayah sambung.
Hanya ada aku.
Dan aku pikir, kali ini itu cukup.
—Inara