Chapter 5
Payung Hitam
***
Sudah aku duga dengan siapa Mauren berkelahi. Sahabat batakku itu memang tidak akan pernah akur jika sudah bertemu dengan Dion. Mereka berdua berasal dari suku yang sama, hanya saja kampung halaman Mauren di Sidikalang dan Dion berasal dari Samosir. Aku menarik napas panjang sebelum menarik kerah kemeja Mauren dari belakang.
"Ngeributin apa lagi sekarang, Ren? Malu banget, please. Banyak orang nih!" bisikku di telinga Mauren.
Gadis tembam itu menoleh ketika merasa kerah bajunya kutarik. Mimik wajah Mauren masih sengit pertanda amarahnya belum reda. Biar kutebak apa penyebab kericuhan ini, pasti tidak jauh-jauh tentang makanan.
"Kamu tau gak, Ra? Si kutu kupret ini tadi nyerobot antrian sotoku. Padahal aku yang pesan duluan. Emang dikira dia aja yang lapar, aku udah hampir pingsan," cerocos Mauren.
Dion berdecak tidak mau kalah. Tangannya yang sedang memegang sendok menunjuk Mauren tepat di wajah. "Bah! Kau tuh udah makan semangkok, kalau mau nambah lihat-lihat dulu yang lain belum kebagian. Dimana hati nurani kau itu? Dikira warung soto punya nenek moyang kau!"
Aku tersenyum simpul sambil melirik Arina di sebelah kiri. Kami berdua seolah bicara lewat telepati. Benar bukan ini hanya perkara "makanan".
Aku kembali berbisik di telingan Mauren. "Ren, nanti kita beli cimol bojot di Gang Haji Naim. Aku rela antre buat kamu asal kita cabut dari sini, ya?"
Mata amarah gadis batak itu sudah berganti dengan binar-binar bahagia. Makanan itu adalah favorit nomor satu Mauren setelah merantau kuliah di Bandung. "Deal! Lagian soto di sini gak enak-enak amat. Semangkok aja cukup."
Lentari dan Senjani menghela napas lega. Dua gadis itu terlalu lemah lembut untuk menahan Mauren berkelahi. Aku maklum jika mereka panik dan malah mencariku dan Arina.
Kami berlima bergegas meninggalkan warung soto menuju Gang Haji Naim yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari kampus. Perlu berjalan sebentar sampai ke jalan utama untuk naik angkot. Sebenarnya aku, Arina dan Senjani membawa kendaraan pribadi. Akan tetapi, demi cimol bojot kesukaan Mauren kita rela bolak-balik kampus. Mencari tempat parkir adalah tantangan tersendiri jika memakai kendaraan pribadi karena tempatnya berada di tengah gang.
"Kamu mau brem? Hitung-hitung penahan lapar sampai kita dapetin tuh cimol bojot." Arina kembali mengeluarkan sekotak brem kebanggaan. Dia menyodorkan pada Mauren yang kini berjalan di belakangnya.
"Kalau aku doyan sama tuh gabus, udah dari lama aku abisin dari tas mu, Na."
Arina memberengut. Mungkin di dalam hatinya dia kesal tidak ada satu pun dari kami yang menggemari makanan favoritnya itu.
"Lagian makanan kayak gitu kamu makan setiap hari, bisa sakit tenggorokan," celetukku seraya merangkul pundak Arina yang lebih pendek dariku.
Mauren menyela rangkulanku pada Arina. Gadis itu meraih tanganku dan Arina untuk digandeng. Senyum lima jari tersemat apik di bibirnya. "Kalian gak usah sok romantis gitu. Kan, aku juga mau digandeng."
Aku dan Arina sama-sama tertawa. Meski sering melakukan hal-hal brutal, nyatanya Mauren lebih manja daripada kelihatannya. Sedikit aku menoleh ke belakang, Senjani dan Lentari tengah seru membahas idola artis Korea kesukaan mereka. Aku tersenyum hangat tanpa sadar. Bolehkan aku berharap mereka selamanya bersamaku? Jauh di dalam lubuk hati, aku takut. Ada rasa cemas untuk merasakan kebahagiaan, karena semesta bisa saja menariknya saat aku terlena.
"Ra, lagi mikirin apa? Ayo naik ke angkot!"
***
Benar saja antrean cimol bojot di sini sudah seperti ular. Mungkin saja karena bertepatan dengan jam pulang sekolah karena kebanyakan pembeli adalah siswa SMP sampai SMA. Terbesit rasa sesal karena tadi aku menawarkan untuk mengantre pada Mauren. Jika begini aku bisa berdiri kurang lebih 30 menit lebih. Aku benci menunggu. Kepalaku menengadah untuk melihat langit yang menggelap. Cuaca di Bandung memang terkadang aneh, pagi sampai siang panas dan sisanya akan hujan lebat.
"Nah, sementara kamu antre. Kita bertiga mau beli alpukat kocok yang di perempatan Dago," ujar Mauren semangat. Jika sudah di daerah ini dia akan mengabsen seluruh pedagang kaki lima.
"Terserahmu, Ren. Lebih baik aku antre sendirian daripada dengar kamu ngoceh," sahutku sambil mengambil headset dari dalam tas.
Perlahan antrean ini berjalan. Sesekali aku menoleh ke depan dan bedecak kesal saat ada satu orang yang membeli 10 bungkus sekaligus. Dalam hati aku mendumal, untuk ukuran pedagang yang ramai seperti ini harusnya ada aturan batas pembelian setiap orang. Kegiatan mengomel dalam hatiku terjeda karena tetes air hujan perlahan mengenai kepalaku. Gerimis ini semakin membuatku jengkel. Aku benci menunggu dan juga aku benci hujan.
"Kalau bukan demi mencegah Mauren adu mulut, gak bakal aku begini," gerutuku sambil menengadahkan telapak tangan sebagai payung darurat. Badanku sedikit bergeser untuk merapat ke tembok rumah warga. Mataku berkedip heran karena merasa tidak ada tetesan air hujan yang mengenai kepala.
"Perasaan gak ada kanopinya," ucapku sambil mendongak. Aku terkejut mendapati payung hitam melindungiku dari hujan.
Aku menoleh ke belakang segera. Wajah dingin nan datar yang aku jumpai di ruang UKM itu kini tengah menatapku dengan alis terangkat.
"Payungku lebar, kalau cuma ngajak kurcaci berteduh masih muat."
Kurcaci katanya? Aku mendengkus spontan. Aku akui dia sangat tinggi untuk ukuran laki-laki Indonesia. Namun, aku juga tidak sependek kurcaci seperti yang dia katakan. "Aku gak perlu payungmu. Pakai aja sendiri," ucapku kesal.
"Selain susah bilang 'makasih', kamu juga keras kepala," balasnya datar.
"Ngapain kamu ada di sini?" Lagi-lagi pertanyaan retorik keluar begitu saja dari mulutku.
Sempat aku lihat dia bibirnya tersungging kecil, tetapi tidak lama mimik wajah datar itu kembali.
"Antre gas melon," balasnya singkat. Namun, sedetik kemudian dia menimpali lagi. "Apalagi memangnya kalo bukan beli cimol. Rumahku ada di luar gang ini, pinggir jalan Dago. Warna tembok abu-abu monyet yang rumahnya paling gede."
Aku kembali menggerutu dalam hati. Siapa memangnya yang bertanya? Lagi pula aku tidak butuh informasi itu. Mau rumahnya warna hijau telur asin juga aku tidak peduli.
"Kalau mau ngomel gak usah ditahan-tahan," celetuk lelaki itu dari belakang.
Dari mana dia tahu aku menahan diri untuk tidak mendumal? Aku melirik ke arah kiri sedikit dan aku bisa melihat pantulan wajahku dari jendela rumah warga. Ternyata wajahku memang memiliki "subtitle". Aku tidak menyahutinya. Untung saja aku menggunakan headset jadi bisa berpura-pura tidak mendengar. Aku tidak ingin terlibat percakapan apa pun dengan dia. Bukannya aku orang aneh yang tidak suka terhadap seseorang tanpa alasan, hanya saja perangai lelaki ini membuatku tidak nyaman sedari awal bertemu. Antrean di depan semakin menipis, kini aku hanya berharap akan tiba giliranku.
"Katanya kamu anggota UKM musik, kenapa kemarin kamu gak ada?"
Tanpa sadar aku mendesis kesal. "Aku ada urusan. Lagian kamu belum tentu diterima di UKM Musik. Meski berprestasi kamu harus tetap ikut aturan."
"Aku sudah diterima jadi anggota. Gak usah terlalu kaku untuk hal-hal yang masih bisa dibicarakan. Aku tahu kamu ketua UKM itu, tapi bukan berarti egomu harus diikuti semua orang."
Alisku bertaut. Dari mana dia tahu jika aku ketua? Dan sekarang ego katanya? Aku hanya berusaha untuk taat pada peraturan yang ada. Meski memang salah satu pertimbanganku menolak dan begitu kaku adalah karena memang kurang respect padanya.
"Kak Bima!"
Atensiku terenggut oleh teriakan Arina. Gadis itu berlari dalam hujan seraya menenteng asinan dan alpukat kocok. Di belakangnya ada Mauren yang terlihat sibuk menenteng banyak kantong plastik. Sementara itu Senjani dan Lentari tidak kelihatan batang hidungnya.
"Wah! Gak nyangka bakal ketemu di sini. Ini Adhira yang aku ceritain tempo hari waktu rapat, Kak. Kalian ngobrol, rupanya udah saling kenal?" cerocos Arina dengan mata berbinar. Karena saking bersemangatnya, dia sampai tidak sadar hampir menabrak Mauren yang kini berdiri di belakangnya ketika melangkah mundur.
Rasa jengkelku semakin menjadi. Aku sudah tidak tahan lagi berada di sini. Kehujanan dengan kaki yang pegal karena berdiri membuatku cepat emosi. Terlebih eksistensi Bimantara sekarang benar-benar menggangguku. Melihat lelaki itu mendapat atensi spesial dari sahabatku menyebabkan sentimen pribadi ini semakin menjadi.
"Aku mau balik ke kampus ambil motor terus pulang, Na. Tolong gantian antre."
***
SEMANGAT KAK SAKUU!!
Comment on chapter Lima Sekawan