Hari terus berganti. Senin menjadi Selasa, Selasa menjadi Rabu, dan hari-hari lainnya. Terkadang hari-hari itu memang membosankan, tetapi kita akan melihat dunia yang berbeda di hari-hari itu disaat kita sedang jatuh cinta.
Setiap harinya penuh kejutan. Entah di hari itu si 'dia' mendekat, atau ada kejadian yang membuat tidak bisa tidur, atau malah kejadian yang bisa teringat sampai berhari-hari lamanya.
Revan telah mencoba melihat warna di hidupnya semenjak ada kehadiran Alea. Mereka telah naik menjadi satu tingkat dalam pertemanan, yaitu menjadi sahabat.
Pada awalnya Revan hanya bertanya pada gadis tersebut, "Kamu anggep aku apa emang?" Pertanyaan itu hanyalah lanjutan dari topik-topik mereka sebelumnya di sela-sela kesibukan saat menyatat rangkuman dari buku paket—tugas dari pelajaran Bahasa Indonesia.
Guru sedang tidak masuk, murid-murid mengerjakan tugas sesuka mereka. Beberapa hari kemarin bangku Alea dan Revan kini berjarak dekat. Dengan Alea dan Raisya di depan, Revan dan Andre di belakangnya.
Ceritanya panjang, tetapi Alea yang meminta agar dua orang yang tidak pernah mau duduk di barisan bangku ke dua dari depan untuk maju dan meninggalkan bangku belakang mereka.
Beginilah mereka, hari-hari lebih penuh canda tawa karena ada Andre yang dapat menghibur Alea, Raisya, dan Revan. Candaannya selalu mengundang tawa.
"Aku anggep kamu... Sahabat si," saut Alea menanggapi jawaban Revan. Tak lama kemudian ia menanyakan hal itu balik pada Revan.
"Kalau kamu anggep aku apa?"
Revan menghentikan tulisan di buku catatannya karena ada yang salah, ia mengambil tipe-x untuk menghapus coretan tinta yang salah sembari berkata,
"Sahabat juga si."
Status mereka sebagai sahabat memang benar adanya. Dan itu berlaku untuk Andre, Raisya, Mia, serta Zaky yang baru saja bergabung dalam kelompok pertemanan dadakan.
Mereka menjadi lebih se frekuensi saat ber-enam. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk menjadi lebih akrab dari kemarin-kemarin. Malah, semakin hari mereka semakin dekat.
Revan tak pernah merasakan hal seperti ini. Bersahabat dengan perempuan adalah pertama kali baginya. Selama ini dia hanya bersahabat dengan lelaki saja.
Terkadang Andre memberi arahan bagi Revan saat sedang berkumpul dengan para perempuan.
Yang Revan ingat adalah, jangan bercanda berlebihan terlebih lagi dengan fisik mereka, jangan ungkit-ungkit kesalahan mereka karena mereka lebih mengingat setiap detik kesalahan yang kita para jantan lakukan, jangan mencari masalah duluan, dan berbagai tips lainnya dari Andre.
"Dan yang paling penting bro, jangan baper sama mereka."
Arahan dari Andre bagian ini adalah bagian tersulit bagi Revan.
"Udah baper duluan Ndre..."
Mata Revan selalu tertuju pada Alea. Dia tidak menyukai dan baper pada perempuan lain, hanya Alea. Perasaannya kini semakin terbentuk. Ia semakin yakin bahwa ini memang cinta yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Begini kah rasanya? Sedikit menyenangkan memiliki perasaan ini, tetapi juga membingungkan.
Menyenangkan saat memiliki perasaan di mana ternyata orang lain begitu spesial di mata kita sendiri. Kita dapat merasakan jika ia senang, kita pun ikut senang. Merasakan jika ia marah, kita ikut kesal, dan merasakan saat dia merasa sedih, kita akan merasa empati dan ikut dalam perasaan sedihnya.
Ini membantu Revan untuk lebih mempelajari emosi dari manusia lain, bukan hanya sekedar dari Alea. Dia berharap bisa menjadi orang yang lebih peka pada orang lain.
Kedekatan Revan semakin terlihat oleh teman-teman Alea lainnya. Raisya sering menyebutkan bahwa Revan memang menyukai Alea.
"Sumpah Al, itu udah bener-bener nunjukin dia suka sama looo." Raisya sudah lelah mengatakannya pada Alea berkali-kali tentang ini sedangkan jawaban Alea hanya,
"Ah, ga mungkin."
"Ngarang ih."
"Yaudah lah Sya."
Alea tidak ingin menanggapi lebih lanjut, tetapi sebenarnya ia juga memiliki firasat yang sama dengan Raisya.
Kedekatan Revan sebagai 'sahabat' sedikit berlebih. Dari caranya berbicara, menatap Alea, mengedepankan kemauan Alea, memperlakukannya, dan banyak yang Revan lakukan mempererat firasat Raisya dan Alea.
Meski begitu, Alea tetap menganggap Revan sebagai sahabatnya, tak lebih dari itu.
Seperti katanya beberapa waktu lalu, "Ga mungkin aku suka sama dia."
Dan mungkin Alea tidak akan memperkenalkan dirinya pada cinta yang akan membuatnya sedikit gila. Ya, semua orang yang sedang jatuh cinta akan setidaknya 0,000,000,000,1% kemungkinan gila, percayalah.
Hari ini awan sudah mendung serta angin yang dirasakan oleh orang-orang sedikit lebih dingin dari biasanya. Pertanda akan hujan sudah tak bisa dielakkan. Para murid yang akan pulang sebentar lagi dihimbau untuk langsung menuju rumah masing-masing agar tak terjebak hujan.
"Jangan keluyuran, nanti kalian hujan-hujanan, sakit gabisa masuk sekolah," guru pelajaran ipa sedang memberikan sepatah dua patah katanya sebelum para murid diizinkan pulang.
Alea sudah siap-siap akan menuju rumahnya, tapi satu notif mengubah rencananya untuk langsung pulang ke rumah.
"Hari ini ketua ekskul kumpul dulu ya."
Notifikasi dari ponselnya berasal dari grup para ketua ekstrakurikuler di sekolah. Salah satu seksi bidang di organisasi sekolah yaitu OSIS selalu mengadakan pertemuan dadakan seperti ini. Alea adalah ketua dari ekskul sahabat perpus sehingga ia perlu mengikuti pertemuan tersebut.
Alea membuang nafasnya dengan berat.
"Males nyaaa," keluh Alea.
Di saat yang lain sudah akan pulang ke rumah mereka masing-masing, para ketua ekskul berkumpul di ruang OSIS untuk membahas perkembangan ekstrakurikuler mereka. Para ketua-ketua di sana memaparkan perkembangannya masing-masing serta kendala yang mereka hadapi selama satu bulan ini.
Tiba saat giliran Alea di tanya sebagai ketua dari ekstrakurikuler sahabat perpus, ia menjelaskan dengan baik dan mencoba untuk dimengerti oleh para anggota OSIS tersebut.
Alea melaporkan bahwa perkembangan ekskulnya tidak begitu signifikan, malah bisa dikatakan belum ada perkembangan. Para anggota selalu tidak hadir saat ada kumpul, tidak berkontribusi besar pada sekolah, tidak begitu aktif, dan permasalahan lain yang Alea ceritakan. Menjadi ketua membuatnya sedikit lelah, terlebih ada di ekstrakurikuler yang menarik baginya tetapi tidak begitu menarik banyak minat siswa siswi di sekolah.
Meski begitu, kepemimpinan Alea terlatih di sini. Dia bisa menjadi tegas pada para anggotanya dan mengatur semuanya sendirian. Ya, wakil ketua afk.
Karena ia juga tidak mau merepotkan orang lain, semua Alea kerjakan sendiri. Terkadang dia berpikir, untuk apa dia melakukan ini untuk orang lain? Kalau Alea mau, dia bisa saja tidak peduli dengan semua masalah yang ada di ekstrakurikuler nya. Tetapi dia ketua.
Ikan busuk dari kepalanya, sebagai ketua kita yang bertanggung jawab, kita yang menanggung resiko, dan kita yang siap menghadapi berbagai tantangan.
Alea menjadi ketua ekstrakurikuler, tetapi dia tidak bisa menjadi ketua bagi pengendalian dirinya sendiri.
Sebaik-baiknya ketua adalah mereka yang bisa menjadi ketua bagi diri mereka sendiri.
Alea? Dia tak yakin bisa menjadi ketua bagi dirinya. Emosi-emosi itu terus mengganggunya, suasana di dunia ini yang tidak pernah stabil selalu mengusiknya, trauma masa lalu terus menghantuinya.
Lelah...
Pertemanan akhirnya selesai. Alea kali ini benar-benar ingin segera merebahkan diri di kasurnya. Ia harus menahan keinginannya itu karena hujan belum juga reda. Alea menunggu di lobby sembari memainkan ponselnya membalas pesan yang di kirim di grup teman-temannya.
Melihat pesan-pesan yang telah di kirim pada obrolan grup, gadis itu jadi tahu bahwa Revan sedang berada di rumah Zaky. Dia terjebak hujan di rumah sobatnya itu sejak pulang sekolah. Kebetulan, rumah Zaky jaraknya dekat dengan sekolah mereka. Hanya perlu beberapa langkah dan tidak memakan banyak waktu.
Alea memotret pandangan di depannya menggunakan kamera belakang dan mengirimnya pada obrolan grup tersebut.
"Kejebak hujan..."
Revan mengetik sesuatu di keyboardnya untuk membalas Alea.
"Neduh dulu?" tanyanya melalui pesan.
"Iya, bosen di sekolah."
Mereka berbalas pesan dalam beberapa menit. Setelah percakapan yang tidak dilanjutkan, Alea membuka aplikasi media sosialnya untuk menghilangkan rasa bosan sembari menunggu hujan reda.
Andai hari ini adalah hari terakhir sekolah di hari Jumat, ia pasti sudah menerobos hujan tak peduli dengan tas dan sepatu yang basah.
"Cuih, kenapa hujannya hari kamis gini sih?" gumam Alea.
Zaky kembali dari dapurnya dengan membawa dua mangkuk dengan dua sendok dan dus garpu berisi mie instan kuah dengan telur rebus setengah matang. Asap kebul terlihat dari mangkuk mie yang baru diangkat dari panci. Aroma dari rasa ayam bawang itu terhirup ke seluruh ruangan di depan pintu, membuat perut berbunyi karena mendadak menjadi lapar.
Zaky memberi mangkuk satunya kepada Revan. Revan mengambil dengan hati-hati dengan kedua tangannya karena masih dalam kondisi panas.
"Makasih bro," ucap Revan pada Zaky.
Zaky tersenyum sembari mengangguk-ngangguk kecil. Ia duduk di kursi yang tersedia, mengaduk mie kuah dengan sendok dan garpu.
"Emang paling enak tuh hujan-hujan gini makan mie kuah, beuh!" Zaky kegirangan karena dapat merasakan sensasi seperti ini lagi setelah sekian lama tidak turun hujan ditemani oleh mie kuah.
Ia mengambil ponselnya dan membuka kamera belakang. Memotret isi mangkuk dari atas yang terlihat begitu menggoda dan mengirimnya pada grup obrolan.
Alea mendapati notifikasi dari ponselnya saat ia melihat sebuah video dari media sosial. Ia melihat Zaky yang mengirim foto mie kuah dengan telur. Alea memegang perutnya sendiri, ia juga merasa lapar terlebih saat melihat foto yang di kirim Zaky. Alea teringat dia belum makan lagi sejak istirahat kedua.
Dia mengetik di keyboard dan mengirimnya pada grup obrolan.
"Aku belum makan ih laper :("
Hujan masih belum berhenti bahkan setelah menunggu lama. Alea kesepian karena melihat banyak yang sudah dijemput dengan kendaraan bermotor.
Hanya ia yang tersisa di lobby bersama dengan beberapa orang yang berkumpul dengan tenang ditemani oleh teman.
"Nerobos hujan aja gitu ya?" Pikirnya yang sudah kebelet ingin segera pulang.
Karena tekad Alea yang masih bimbang, ia memutuskan untuk mengecek pesan yang masuk. Lagi-lagi, dari grup itu. Mereka membahas hal-hal yang tidak penting sekalipun.
Alea ikut bergabung untuk mengurangi rasa jenuh.
Percakapan mereka cukup ramai, setidaknya bisa mengalihkan pikirannya dari suara gemuruh dan rintik hujan yang semakin deras. Tapi tak lama, sebuah notifikasi yang paling tidak disangka muncul di layarnya.
Kuota anda telah habis.
Alea menatap ponselnya dengan hampa. Rasanya ingin menjerit. Sudah terjebak hujan, kuota habis, dan pulang pun belum jelas kapan. Apa lagi yang kurang?
Tapi sebelum notifikasi itu muncul, Revan sempat mengirim pesan. Katanya, Alea boleh berteduh di rumah Zaky yang hanya berjarak beberapa meter dari sekolah. Revan juga menambahkan kalau ia akan ada di rumah Zaky hingga hujan mereda ikut meneduh. Zaky tidak lupa dengan godaannya,
"Nanti dimasakin mie kuah sama Revan tuh."
Alea sempat bimbang. Tawaran itu menggoda, tapi hujan masih deras. Ia memandangi jalanan di depan sekolah, lalu kembali memeluk tasnya erat-erat.
"Masa aku hujan-hujanan ke rumah dia sih?" gumamnya pelan.
"Gausah deh."
Alea memilih untuk tidak beranjak dari lobby sekolahnya hanya untuk pergi ke rumah Zaky dan mencari kehangatan lain selain dari mie kuah, yaitu kehangatan kebersamaan dengan teman.
Mengerikan sekali terjebak sendirian.
Namun entah dorongan dari mana datangnya, ia berdiri, mengencangkan tali tas, dan mulai berlari menerobos hujan. Roknya harus ia angkat sedikit agar langkahnya lebih cepat, sementara air hujan tanpa ampun membasahi seragam sekolah yang ia kenakan.
Langit sedang tidak ingin diajak kerja sama. Hujan justru semakin deras saat langkahnya semakin jauh dari sekolah, dan ia tak menemukan tempat berteduh.
Sampai akhirnya, di sebuah persimpangan, ia melihat satu warung kecil dengan atap seng—cukup untuk menghindari dinginnya hujan.
Alea menuju warung tersebut dan berhenti, membungkuk sedikit, serta menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Nafasnya tersengal, tubuhnya dingin, dan dadanya dipenuhi rasa kesal yang tak jelas arahnya. Ia merasa bodoh telah memilih berlari tanpa kepastian. Kenapa tadi tidak diam saja di sekolah? Kenapa begitu yakin untuk pergi?
Besok masih masuk sekolah, ia tidak mungkin masuk dengan keadaan sepatu basah, seragam basah, dan tas basah.
"Lawak amat."
Saat ia mencoba menenangkan diri dan menoleh ke kanan dan kiri, semesta seakan punya rencana lain.
Dari balik tirai hujan, seseorang datang—memakai jas hujan merah, dengan sepayung hitam di tangan kanan.
Ia berdiri di depan Alea sambil tersenyum, tatapannya tenang seolah hari sedang baik-baik saja. Senyuman itu... tidak berlebihan, tapi cukup untuk menghangatkan dada Alea yang sempat dingin dan gelisah.
Alea menatapnya, terkejut. Ia bahkan tidak sempat meminta pertolongan, namun Revan tetap datang.
Revan tidak berkata apa-apa. Hanya mengangkat payungnya sedikit, mengisyaratkan Alea untuk mendekat. Ia tertawa pelan melihat ekspresi kebingungan gadis itu, sementara Alea justru diam, masih mencoba memahami kebaikan yang tiba-tiba datang begitu saja.
"Van! Ngapain?" Alea mencoba mencerna semua yang ada di hadapannya saat ini. Revan terlihat kebingungan melihat respon Alea dan berkata,
"Loh? Ga liat pesan? Zaky bilang aku bakal jemput kamu."
Mendadak Alea merasakan panas di seluruh tubuhnya. Pikirannya terasa seperti jatuh dari ketinggian, dan dadanya makin merasakan debaran jantung yang semakin lama semakin cepat.
Alea tidak paham dengan situasi ini—Revan juga tidak, sehingga mereka tertawa bersama diselimuti oleh hawa dingin di sekitar mereka.
Revan memberikan payung pada Alea. Gadis itu menerimanya dengan anggun. Mereka mulai berjalan menuju rumah Zaky yang sebentar lagi akan sampai.
Awalnya mereka berjalan dengan memberi jarak diantara mereka, tetapi perlahan mulai mendekat dan Revan sedikit jail dengan menendang genangan air memakai sendal yang ia pinjam dari Zaky.
"Revan!" Alea yang terkejut segera memarahi lelaki itu. Revan hanya cengengesan. Melihat hal tersebut dirasa menyenangkan bagi Alea, ia ikut menendang genangan air yang ada dengan pelan, tak peduli dengan sepatunya yang basah.
Mereka berdua bagai menari dibawah langit hujan. Menciptakan dunia ilusi yang hanya ada mereka di dalamnya.
Dan di tengah derasnya hujan, saat jalanan tergenang dan udara dingin menusuk kulit, Alea merasa hatinya justru menghangat. Mereka berjalan berdua, Revan memayungi Alea dengan tenang, membiarkan dirinya sendiri tetap diterpa hujan di bawah jasnya yang sudah basah.
Revan membetulkan bagian penutup kepala jas hujan sambil menoleh ke Alea yang berjalan di sampingnya. Seragam Alea sudah setengah basah, tapi wajah Alea malah cerah, seperti anak kecil yang baru saja menang lomba makan kerupuk.
“Kamu bahagia banget ya kehujanan,” sindir Revan pelan.
Alea mendongak sambil senyum lebar. “Iya dong. Kapan lagi hujan-hujanan di SMA, siapa tahu nanti jadi kenangan SMA yang paling aku inget.”
Revan mendengus. “Yang kamu inget paling juga sepatu kamu yang bocor.”
Alea tertawa keras. “Iya juga sih! Ini sepatu udah mangap-mangap solnya.”
Mereka melangkah pelan di trotoar. Jalanan masih ramai, air hujan menetes dari ujung payung. Revan tetap diam beberapa detik, lalu bersuara lagi.
“Kamu yakin gak masuk angin?”
Alea menoleh. “Kalau masuk angin, kamu tanggung jawab ya.”
Revan melirik ke samping, ekspresinya datar. “Tanggung jawabnya dalam bentuk transfer tolak angin?”
“Boleh. Asal bukan tanggung jawab nikah.” Alea cekikikan sendiri, lalu buru-buru melanjutkan, “Eh, becanda-becanda. Jangan serius.”
Revan hanya geleng-geleng kecil.
Sesaat mereka terdiam, sampai akhirnya Alea bersuara lagi. “Eh, ngomong-ngomong... kamu udah tau minat bakat kamu belum?”
Revan mendongak sedikit. “Belum.”
“Masih belum? Padahal waktu tes minat bakat juga kamu jawabnya ‘gak tahu’, masa sekarang masih juga?”
Revan mengangkat bahu. “Ya emang belum tau. Aku bingung. Kayaknya aku bukan tipe yang punya mimpi besar gitu deh.”
Alea menoleh sambil memiringkan kepala. “Tapi kan pasti ada hal yang kamu suka?”
Revan berpikir sebentar. “Aku suka ngamatin orang. Bukan yang aneh ya... Tapi lebih kayak... mikirin gimana orang berpikir, kenapa mereka bisa ngelakuin sesuatu.”
“Hmm... psikolog?”
“Kayaknya nggak cocok. Aku nggak sabaran orangnya. Kamu kan yang mau psikolog?”
Alea tersenyum tipis. “Tapi kamu sabar banget lho barengin aku kehujanan gini.”
Revan menatapnya sebentar, lalu menatap ke depan lagi. “Ya...gapapa deh."
Alea tertawa pelan. “Kamu tuh... yaudah sih, yang penting kita selamat dulu deh sampai rumah kamu. Soal cita-cita, nanti bisa dibahas lagi. Mungkin aja jawabannya datang dari hal-hal kayak gini.”
Revan meliriknya. “Kehujanan maksudnya?”
Alea angguk mantap. “Iya. Mana tahu kamu nanti jadi penjual payung.”
Revan mencibir. “Kalau gitu kamu jadi pelanggannya. Langganan tetap.”
"Engga ah, mending aku kehujanan."
Mereka tertawa bersamaan, langkah kaki ringan, suara hujan masih deras, tapi terasa lebih hangat saat itu.
Momen itu sederhana. Tapi bagi Alea, hari itu menjadi awal dari sesuatu yang pelan-pelan tumbuh tanpa ia sadari. Sebab hanya ada mereka berdua, dan hujan yang menyaksikan semuanya.