Para murid telah mengganti baju seragam mereka mengenakan baju olahraga saat jam istirahat. Setelah Istirahat, mereka akan memasuki pelajaran PJOK. Para murid menyukai pelajaran ini karena guru yang asik saat dia mengajar. Namanya pak Herman. Pak Herman adalah guru yang baik pada murid-muridnya. Ia selalu mendengarkan keluhan dan masukan dari para murid terkait pelajarannya.
Terkadang, pak Herman dapat mendengar curhatan kehidupan para anak-anak di sekolah.
Seperti saat Alea yang sedang termenung di kantin seorang diri beberapa waktu lalu. Pak Herman datang menghampiri.
"Ngelamun aja Alea," ucap pak Herman yang mengejutkan Alea.
"Astaga pak, kaget." Alea terkekeh. Ia meneguk minuman kemasan yang ia pegang di tangan kanannya.
"Ada masalah? Lesu gitu mukanya neng." Pak Herman terlihat khawatir dengan kondisi Alea yang tampaknya ada sesuatu. Alea yang tidak mau menyebarkan masalahnya hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum sedikit terpaksa.
"Gapapa pak," ujarnya.
Pak Herman tidak percaya begitu saja. Dia ikut duduk di dekat Alea dan mulai bertanya kembali.
"Yakin?" Tanyanya.
Alea bimbang. Dia ingin mencurahkan masalahnya, tapi dia juga takut dan merasa tak mau begitu percaya dengan pak Herman.
"Saya sudah denger banyak keluhan dari murid, sebagian dari mereka teratasi. Kalau kamu mau, kamu juga bisa bapa bantu." Tawaran dari pak Herman benar-benar membuat Alea tergiur, terlebih karena ia sudah tak punya tempat untuk bercerita pada siapapun.
"Umm... Iya pak."
Dari situ, Alea mulai menceritakan hal-hal yang mengganggunya. Terlebih masalah di rumah yang rasanya tak kunjung selesai. Dia berusaha untuk menceritakan apa adanya namun masih ia batasi karena takut begitu oversharing pada seorang guru. Perlahan, Alea merasakan kehangatan yang di beri oleh pak Herman. Dia menanggapi dengan baik, menganggukkan kepala dengan pelan sambil mendengarkan Alea yang terus bercerita panjang lebar.
Saat bercerita seperti ini, Alea bisa merasakan emosi dari orang lain di sekitarnya. Alea merasa emosi dari pak Herman, berbeda.
Ia, sama sekali tidak bersimpati.
Alea merasa ini hanya kesalahpahaman tentang perasaan emosi pada orang lain yang dimiliki oleh Alea. Sampai ia merasa sudah tidak aman untuk menceritakan apapun lagi, Alea berhenti.
"Bapa turut prihatin Al, pasti berat banget buat kamu, nak."
Alea hanya menatap dengan tatapan yang sedikit tajam pada ujung kaki pak Herman sampai bola mata mereka bertemu.
Pak Herman mengatakan beberapa kata yang dapat menenangkan Alea. Ia juga pandai dalam memberi solusi hingga memecahkan permasalahan yang Alea ceritakan. Terlihat mudah sekali baginya untuk memecahkan masalah orang lain.
"Tapi ga pasti semudah itu kan pak? Buat memperbaiki masalah," ucap Alea yang meragukan saran yang diberikan pak Herman.
"Alea, hidup ini gaada yang mudah. Kamu pasti ngerti, kan? Bapak hanya menyarankan saja, selebihnya kamu yang melakukan."
Sedari situ, Alea hanya manggut-manggut saja mendengarkan ceramah dari pak Herman. Hingga bel pulang berbunyi.
"Alea pulang dulu ya pak, terima kasih untuk sarannya." Alea memberikan tangannya untuk salim pada pak Herman. Saat hendak melepaskan tangan dari pak Herman, lelaki itu tidak mau melepaskan tangan Alea.
"Alea, mau bapa anter?" ucapnya dengan wajah yang terlihat suspicious
Mendengar kalimat itu membuat pikiran Alea menjadi sedikit kacau.
"Maksudnya pak Herman apa? Kenapa wajahnya seperti itu? Kalau aku pulang sama dia gimana? Aneh ga si? Kurang ajar ga si? Kok dia gamau lepasin tangan? Jijik. Jauh-jauh, emosinya ga bersimpati dan prihatin sama sekali. Pak? Pak? Pak?"
Alea perlu mempertahankan kewarasannya saat ini. Dia mencoba sadar dari alam pikirannya yang sudah sangat merasa tak nyaman dengan pak Herman.
"Gapapa pak, Alea sendiri aja."
Setelah mengatakan hal tersebut sembari tersenyum, Alea mencoba melepaskan genggaman tangan dari pak Herman dengan paksa.
Kakinya melangkah cepat untuk keluar dari situasi itu. Sambil berjalan menjauh dari pak Herman pikiran Alea makin berisik meminta ketenangan. Tatapan matanya kosong dan kepalanya terasa berat.
Pagi hari besoknya adalah pagi yang membuat suasana hati Alea tidak karuan.
Tiba-tiba semua guru merasa iba padanya. Mereka semua mendadak menjadi orang 'sok tahu' yang mengetahui masalah yang Alea alami.
Mereka menasehati Alea tanpa alasan, seakan mereka adalah orang tua yang kolot.
Bukan hanya satu-dua guru, tapi hampir semua guru yang Alea temui hari ini.
"Eh Alea, sehat-sehat ya nak, kalau ada masalah cerita ke temen-temen kamu."
"Ya ampun Alea, berat banget ya buat kamu?"
"Alea fokus sekolah saja ya, masalah lain jangan terlalu kamu pikirin."
Mereka sok tahu.
Alea yang muak dengan guru-guru yang mendadak seperti itu mengetahui apa yang terjadi.
Ini ulah pak Herman. Dia yang menyebarkan masalah yang ia ceritakan kepada guru-guru. Alih-alih menjadi guru yang mau mendengar keluhan dan curhatan muridnya, ia hanya guru yang suka bergosip dan membagikan informasi pribadi pada orang lain.
Saat jam pelajaran Alea izin pada guru untuk pergi ke toilet. Rasanya ia ingin muntah. Mendengar guru-guru yang mereka bilang prihatin pada muridnya, Alea merasa ingin muntah.
Pada jam istirahat kedua, Alea duduk memeluk lutut di ruang kelas, tepatnya di bangkunya. Napasnya pendek-pendek, dadanya terasa sesak, seperti ditindih oleh beban tak terlihat. Matanya memerah, bukan hanya karena menangis—tapi karena kecewa, marah, takut, dan bingung, semuanya datang bersamaan.
Ia merasa dikhianati. Guru PJOK-nya—yang pada murid bilang satu-satunya orang yang bisa mereka jadikan tempat bercerita di sekolah, satu-satunya tempat ia berani membuka luka yang tadinya ingin ia tutup dan rasakan sendiri—ternyata membicarakan masalah pribadinya ke guru-guru lain. Alea merasa terpapar. Terbuka. Telanjang di tengah ruang yang penuh tatapan.
Emosinya meledak dalam diam. Ia menggigit bibir hingga nyaris berdarah, berusaha menahan teriakan yang ingin keluar. Otaknya berisik—satu sisi ingin marah besar, sisi lain merasa bersalah karena mungkin terlalu bereaksi. Tapi itulah dirinya... pikirannya tak pernah stabil.
"Kenapa aku harus peduli? Tapi kenapa sakit banget?" batinnya berputar-putar.
Ia merasa ingin menghilang. Bukan mati, tapi tak terlihat. Setidaknya, agar rasa malu, sakit, dan marahnya ikut hilang bersama dirinya.
Bagi Alea, ini bukan masalah tersebarnya masalah yang ia alami di luar sekolah, tapi ini soal harga diri Alea. Kini guru-guru akan menganggap Alea sebagai siswi yang menyedihkan.
"Sialan, mereka gatau apa-apa, mereka gatau apa-apa, mereka gatau apa-apa."
Semua murid menyukai pak Herman, tapi tidak dengan Alea.
Dan satu hal yang Alea tidak tahu dari awal. Orang-orang yang menceritakan curhatan mereka pada guru itu, tidak pernah dekat lagi dengannya. Mereka seakan menjauh perlahan sampai menganggap itu guru yang buruk.
Bahkan di saat masalah pribadi mereka tersebar, para murid tidak berani menyebar informasi yang tidak baik tentang pak Herman.
Sialnya, hari ini Alea harus kembali melaksanakan pelajaran olahraga. Semenjak kejadian tersebarnya masalah pribadi Alea, dia menjadi malas untuk mengikuti pelajaran ini.
Tapi mau bagaimana pun, Alea hanyalah seorang gadis rapuh yang tak memiliki tempat berlindung. Dia harus tetap menjalankan hal-hal yang tidak ingin dia lakukan. Ingin rasanya dia melaporkan hal ini kepada guru BK di sekolahnya, tapi dia pun merasa itu tak'kan mengubah apapun.
----
Pelajaran olahraga selesai. Para murid segera kembali ke kelas untuk mengambil seragam lalu menggantinya di toilet. Alea yang masih malas untuk mengganti baju hanya duduk termenung di kelas.
"Al, mau ganti baju sekarang?" tanya Raisya dari depan pintu kelas. Alea menggelengkan kepalanya.
"Nanti nyusul."
Kelas pun hening saat mereka tengah mengganti pakaian. Ini yang ia inginkan. Kepalanya butuh sesuatu yang tenang. Ia menidurkan kepalanya di atas meja. Tanpa sadar ada seseorang yang menghampiri.
"Ga ganti baju?"
Alea menoleh kearah suara itu dan mendapati Revan yang juga belum mengganti bajunya.
"Males," jawab Alea singkat.
Revan terkekeh. Dia mengambil asal kursi dari bangku temannya yang lain untuk duduk di dekat Alea.
"Males di toilet banyakan tuh, bau keringet." Revan mencoba mencairkan suasana. Alea tertawa kecil mendengarnya.
"Udah ini pelajaran Bahasa Sunda ya? Ada Peer ga si?" tanya Alea sembari mengecek ulang buku catatan yang ada di tasnya.
"Gaada deh seinget aku." Revan mencoba mengingat kembali tugas yang diberi seminggu lalu.
"Oh, ada!" Revan membesarkan suaranya yang membuat Alea terkejut.
"Ish, apa?"
"Canda deh hehehe."
Alea mengambil pulpen yang berada di dekatnya dan ancang-ancang akan memukul Revan. Mereka berdua terkekeh.
"Kenapa dah, kagetan banget?" Revan bertanya penasaran. Selama ini yang Revan tahu, Alea adalah orang yang mudah sekali terkejut bahkan terhadap hal-hal kecil.
"Ya, gatau juga," ucap Alea yang tak mempedulikan hal tersebut.
Keduanya saling mengobrol satu sama lain sembari menunggu teman-temannya sudah selesai mengganti baju. Mereka jarang sekali mendapati moment seperti ini, dan juga ini adalah keuntungan bagi Revan untuk mendekati Alea.
Perlahan percakapan mereka mulai merambat untuk menarik topik-topik lainnya.
“Aku nggak ngerti sih,” gumam Alea sambil menekan-nekan ujung pensil mekaniknya,
“kenapa orang-orang bisa percaya kucing tuh ngerti kalau kita lagi sedih. Aku nangis, kucingku malah tidur di atas novel.”
Revan mengerutkan kening sok serius. “Itu berarti kucing kamu tuh sebenernya literate. Dia juga capek sama ceritanya.”
“Ciee, yang nggak pernah baca novel tapi sotoy.”
“Eh, itu fitnah. Aku tuh pernah baca satu buku!”
Alea menoleh, mengangkat alis. “Buku apa?”
Revan menatap langit-langit. “Buku menu di warteg.”
Tawa Alea pecah, dia menyukai humor Revan yang selalu membuatnya tertawa. Suara yang membuat Revan ikut tersenyum, meski hanya separuh. Hari itu, semuanya terasa biasa saja. Tidak terlalu cerah, tidak terlalu suram. Hanya ada mereka, dalam momen yang sempit tapi hangat.
Saat Alea menyibakkan rambut pendeknya ke belakang telinga, lengan dari baju olahraga yang ia lihat tersingkap sedikit. Tak banyak.
Tapi cukup bagi mata Revan yang kebetulan sedang memperhatikannya, untuk menangkap gores-gores tipis memanjang di permukaan kulit tangan kirinya. Beberapa memudar, beberapa tampak lebih baru, samar namun jelas.
Seperti coretan yang ingin disembunyikan dari dunia.
Revan tidak langsung berkata apa-apa. Ia hanya diam, tertegun dalam sepersekian detik yang terasa lebih panjang dari biasanya. Pikirannya berputar, menolak untuk langsung percaya. Tapi matanya tak pernah salah. Ia mengenali pola itu. Ia tahu apa artinya.
Alea cepat-cepat menarik kembali baju lengan olahraganya dengan gerakan tenang, seolah itu tidak disengaja.
Mereka masih duduk bersebelahan, tapi kini ada jeda yang tak kasat mata. Sunyi kecil yang baru saja tercipta
Revan mencoba bersikap biasa saja. Ia tidak ingin mengusik. Tidak ingin terlihat panik, namun dadanya sedikit terasa sesak oleh rasa ingin tahu dan cemas yang beradu.
“Eh, Al,” ujarnya, pura-pura iseng,
“Kamu pernah nonton film ‘Inside Out’ nggak sih?”
Alea mengangguk pelan. “Yang tentang emosi-emosi itu, kan?”
“Iya. Aku suka yang warna biru... Sadness. Lucu, tapi... kadang kayak relatable, gitu, ya ga si?"
Alea menoleh sekilas. Matanya tak seterang tadi. Tapi ia tersenyum kecil.
“Hmm... iya, aku juga suka dia.”
Dan entah kenapa, hanya dari kalimat pendek itu, Revan tahu bahwa ada banyak hal yang tidak dia tahu. Tentang Alea. Tentang apa yang sedang disimpannya diam-diam.
Tapi hari itu, dia memilih untuk tidak langsung bertanya. Bukan karena tidak peduli. Justru karena dia peduli—dan takut menyentuh luka yang belum siap dibuka.
Untuk sekarang, ia hanya ingin tetap di samping Alea. Tetap bercanda receh. Tetap jadi tempat yang ringan, ketika dunia mungkin terasa terlalu berat untuk Alea jalani sendiri.
"Emang aku pantes ya untuk ada di samping kamu?"
Pertanyaan yang tidak bisa Revan tanyakan.
Alea terus menunggu sembari memainkan ponsel dengan jari-jarinya. Saat bosan bermain ponsel yang tidak memiliki kepentingan apapun, ia mencoba melihat orang-orang sekitar berlalu lalang. Kini ia sedang duduk di tempat duduk panjang di bawah pohon dan trotoar. Jaraknya saat ini tidak jauh dari mall serta jalan raya di belakang punggungnya.
Ia melihat jam pada ponsel beberapa kali. Alea menghitung berapa lama 'orang gila' yang disebutkan oleh Revan akan datang.
Biarlah, Alea tidak mengharapkan apapun. Dia kini sedang mencari ketenangan yang dapat menenangkan pikirannya. Alea tidak tahu harus ke mana lagi sehingga dia berjalan tanpa arah, hanya mengandalkan kakinya yang bergerak entah membawa Alea ke mana. Hingga akhirnya sampailah dia di sini. Duduk sampai ia akan merasa bosan. Pulang ke rumah pun rasanya enggan, dia masih ingin di luar rumah.
Merasa bosan, kedua telapak tangan Alea menutupi seluruh wajahnya. Ia menunduk dengan perlahan.
Alea mempertahankan posenya yang seperti itu untuk beberapa saat hingga ada suara yang familiar terdengar di telinganya.
"Alea," panggil orang itu. Tidak lain dan tidak bukan adalah Revan. Nafasnya tampak terengah-engah dan keringatan nampak di dahinya.
"Oh, ini orang gilanya?" saut Alea mengingat percakapannya dengan Revan di saluran telepon.
Lelaki itu tertawa, diikuti oleh Alea yang ikut tertawa juga.
"Jauh banget ke sini, ngapain?" Revan bertanya penasaran. Dalam ucapannya masih terdengar hembusan nafas yang berat— ia terlihat lelah.
Alea yang sadar akan hal itu menawarkan minum dari botol yang ia ambil dari tas sekolah.
Revan mengambil botol minum itu, membuka tutupnya dan meminum air di dalamnya dengan cara tanpa bersentuhan langsung antara mulut botol dengan mulutnya.
Ia hanya meminum sedikit air karena takut Alea masih membutuhkan air tersebut.
"Makasih," ucapnya lembut.
Alea tersenyum.
Mereka berdua saling terdiam beberapa saat.
"Eh, aku ngapain ke sini ya?" Revan mendadak menjadi orang ling-lung yang tak memiliki tujuan untuk menghampiri Alea.
"Loh? Aku juga bingung kenapa kamu mau ke sini." Alea memiringkan kepalanya, bingung.
"Dasar kaki, gerak sendiri ini." Revan seolah menyalahkan kedua kakinya yang mengarahkan dia untuk menemui Alea.
"Baik banget tau kakinya mau nyamperin aku," timbal gadis tersebut.
Revan berbicara kembali dengan tersenyum, "Jelas, kaki aku tuh baik."
Alea menggeser tubuhnya kearah kiri untuk memberi ruang bagi Revan duduk di sebelahnya.
Melihat Alea yang menawarkan Revan tempat duduk membuat hatinya sedikit luluh dengan kebaikan kecil itu.
Ia pun duduk di samping Alea. Seketika membuat debar jantung Revan menjadi lebih kencang.
Lelaki itu mencoba mencari topik-topik kecil yang dapat memancing mereka agar mengobrol dengan lancar. Soal basa-basi memang ia jagonya.
Alea pun menanggapi semua topik receh yang dibawakan oleh Revan dengan baik.
Setelah keadaan tidak sedingin di awal, Revan mulai berani untuk menanyakan keadaan Alea saat ini.
"Kamu, gapapa Al?" Pertanyaan yang bisa membuat orang bimbang dalam menjawabnya. Sebagian orang akan menjawab "Gapapa" padahal diri mereka sedang hancur-hancurnya. Padahal tidak apa-apa untuk sesekali jujur untuk perasaan diri sendiri.
"Gapapa." Alea menjawab sesuai standar. Dia tak bisa bercerita apapun kembali karena pengalaman bercerita tentang masalahnya kepada pak Herman masih membekas. Alea takut bahwa Revan akan sama seperti pak Herman.
"Gausah cerita lah ya," dalam hati Alea berkata demikian.
"Kamu, lagi banyak masalah ya?" tanya Revan memastikan. Alea menggelengkan kepalanya tak mau menjawab.
"Masa sih?"
"Iya."
Ada keraguan dalam diri Alea untuk menceritakan masalahnya. Dia tidak ingin orang lain tahu, mereka tidak perlu tahu, karena mereka akan menjadi sok tahu.
Atau kemungkinan besar mereka akan membandingkan masalah dari hidup mereka sendiri.
Yang Alea mau bukan itu...
"Aku liat kemarin, di tangan kiri kamu," ucap Revan tanpa menatap pada Alea. Ia lebih memilih untuk mengalihkan pandangan dan mengepalkan tangannya. Berharap pertanyaan ini tidak menyinggung Alea.
Alea tidak terkejut, dia sudah mengira pasti Revan melihatnya.
Keheningan terjadi diantara mereka berdua dalam beberapa saat. Hanya terdengar suara kendaraan bermotor di belakang mereka dan menghirup udara yang bercampur dengan polusi kota.
"Aku..."
Revan mencoba memecah keheningan. Mata Alea melirik padanya dengan tatapan mata yang sayu.
"Aku ga pernah tau rasanya, tapi pasti berat buat orang yang ngelakuin hal itu ke diri mereka sendiri."
Revan menggigit bibirnya sendiri, ia takut salah berbicara pada Alea.
"Aku juga gatau kenapa aku ke sini, tapi aku mau mastiin kalau luka di tangan kiri kamu ga bertambah lagi," ujar Revan yang perlahan memberanikan diri menatap wajah Alea. Saat ia menatap wajah gadis itu, ia terkejut karena raut wajah Alea berubah seratus delapan puluh derajat.
Matanya melebar dan berkaca-kaca, alisnya mengkerut sampai membentuk kerutan di dahi, bibirnya membentuk ukiran ke arah bawah.
Revan awalnya ikut melebarkan bola matanya, merasa bersalah karena mengatakan hal tersebut. Tapi ia memilih untuk merubah mimik wajahnya dengan senyuman yang tulus pada seorang gadis di sampingnya.
"Jangan lakuin hal itu lagi ya Al? Aku tau aku gaada hubungannya sama masalah kamu, tapi..."
"Tolong, udah cukup ya?"
Alea menutup mulutnya yang ternganga dengan kedua tangan yang ia silangkan dan taruh di depan mulutnya.
Dalam hati Alea, ia merasa ada keyakinan yang entah dari mana datangnya, bahwa Revan tidak akan seperti orang-orang di luar sana.
Mengingat Revan yang jauh-jauh datang hanya untuk menemuinya, memberikan senyuman yang pertama kali Alea lihat dari wajah Revan, dan kata-kata yang dapat membuat Alea tercengang, semua itu dapat membuat Alea yakin.
Langit Bandung sore itu dilukis warna oranye pudar. Udara mulai sejuk, dan trotoar kota dipenuhi bayangan panjang pepohonan dan orang-orang yang bergegas pulang.
Di belakang mereka, kendaraan lalu-lalang semakin ramai.
Alea menunduk, tangannya menyatu di pangkuan. “Revan… kamu pernah ngerasa kayak... Kamu tuh gak pernah cukup jadi versi yang orang lain mau?”
Revan melirik sekilas, menunggu Alea melanjutkan.
“Mamah itu, bukan orang jahat. Tapi ekspektasi dia... itu kayak dinding tinggi yang harus aku panjat tiap hari. Aku anak tunggal. Harus nurut. Harus ngerti bahkan sebelum disuruh dan juga harus... gak bikin malu.”
Tangan Alea sedikit bergetar sesaat setelah dia memulai bercerita.
“Kamu tau kan? Aku mau ambil jurusan Psikolog. Dia bilang, 'Kuliah itu mahal! Lama kuliahnya, mamah keburu gaada yang ngurusin! Mikir dong, Al!’ Dan sejak saat itu, tiap hari aku ngerasa bersalah cuma karena punya mimpi.”
Revan mengangguk pelan. Ia tak memotong.
“Suatu malam, dia marah karena aku pulang agak telat habis kerja kelompok. Padahal aku udah bilang. Tapi dia tetep ngomel. Katanya, ‘Kamu tuh kayak gak punya rasa tanggung jawab.’”
“Sejak itu, aku ngerasa... mungkin aku emang gagal. Dan entah kenapa, menyakiti diri sendiri bikin aku ngerasa ‘pantas’. Pantas buat disalahin. Pantas buat kecewa sama diri sendiri.”
Revan menggenggam tangan di pangkuannya sendiri, berusaha menahan gemuruh empati.
"Aku yakin, mereka yang ngelakuin hal kayak gini punya alesan sendiri. Aku pengen jadi psikolog supaya ngebantu orang yang yaa... kayak aku gini."
"Tapi emang korban kayak aku bisa jadi psikolog ya? Hahaha... Lebih cocok jadi pasien kayaknya."
Revan mencoba memikirkan kata-kata untuk menanggapi Alea.
“…Aku nggak terlalu ngerti gimana rasanya jadi kamu,” Revan akhirnya membuka suara, tubuhnya memutar, matanya menatap lalu lintas yang lewat di belakang mereka.
“Tapi... kalau kamu ngerasa capek, yaudah istirahat aja dulu.”
Ia menarik napas pelan. “Kamu nggak harus bikin semua orang senang terus, Alea. Nggak bisa juga. Kadang ya... emang ada aja orang yang nggak akan pernah puas, termasuk orang yang paling deket sama kita.”
Revan menggeser posisi duduknya sedikit, tapi masih tak menoleh. “Aku bukan orang yang pinter ngomong. Tapi... menurutku, kamu udah cukup. Kalau kamu ngerasa gagal, ya nggak apa-apa. Nggak harus jadi kuat terus.”
Ia akhirnya menatap Alea sejenak, suaranya lebih tenang.
“Kalau kamu mau diem aja, aku juga bisa duduk di sini nemenin. Nggak usah cerita, nggak usah senyum juga nggak apa-apa. Tapi jangan bikin dirimu sakit, cuma buat nunjukin kamu sanggup.”
Itu adalah satu-satunya kalimat dari hidup Revan yang benar-benar tersusun dengan baik keluar dari mulutnya.
Alea bisa mendengar setiap kata yang diucapkan lelaki itu dengan baik. Alea tersenyum manis pada Revan, ia pun merasa terharu karena masih ada orang seperti Revan, yang tidak menghakiminya. Yang tidak berkomentar lebih tentang hidup Alea.
Revan sendiri terkejut dia bisa mengatakan kalimat semacam tadi. Baginya, kehidupan seseorang adalah pilihan. Orang lain tak bisa memaksakan pilihan orang lain, cukup urus saja pilihan hidupnya sendiri.
Melihat senyum Alea terukir dengan manis membuatnya tidak jadi menyesal untuk tidak membawa motor ke sekolah.
Tolong hitung teks diatas ada berapa kata?