Mereka berdua telah sampai di rumah Zaky dengan selamat. Yang tidak selamat adalah sepatu Alea yang telah basah sempurna karena terkena genangan air beberapa kali. Ingin di lepas pun tanggung, dari awal dia berlari untuk mencapai rumah Zaky sepatunya sudah basah duluan.
Zaky mengambil satu handuk untuk Alea mengeringkan rambutnya. Revan tidak perlu handuk saat ditawari oleh Zaky.
Revan membuka jas hujannya dengan perlahan dan menghela nafas lega saat melihat baju seragamnya kering tidak terkena air hujan karena tertutupi oleh jas hujan.
Sedangkan Alea tengah mengeluarkan buku dari dalam tasnya untuk mengecek apakah buku catatan sekolahnya terselamatkan atau tidak.
Melihat Alea yang mengeluarkan buku-buku itu dengan tangan kecilnya Revan tergerak untuk sedikit membantu mengeluarkan buku-buku tersebut.
Ia melihat Alea yang masih memakai sepatunya yang basah.
"Lepas sepatunya Al," ucap Revan tanpa menatap gadis itu. Alea yang sadar masih mengenakan sepatu segera melepaskan tali-talinya dan melepas sepatu dari kaki Alea yang terasa lembap. Ia juga melepaskan kaos kakinya.
"Eugh, gaenak banget kaos kaki basah," keluhnya saat melepas kaos kaki.
"Hahaha, emang enak?" Revan meledek temannya itu.
Alea sudah mengancang-ancang akan memukul Revan, lelaki itu pun segera menjauh dan mendekati Zaky. Alea memasang muka kesal, sedangkan Revan seperti biasa hanya cengengesan.
Mereka bertiga menghabiskan waktu dengan menyenangkan selagi hujan belum berhenti. Alea memasak mie dengan satu telur karena perutnya sudah berbunyi beberapa kali sejak ia duduk di kursi pada ruang tamu.
Saat aroma dari mie kuah menyelimuti ruangan, dengan cepat ia mengambil mangkuk mie itu dari tangan Revan. Ia benar-benar menikmati makanannya dengan sangat baik. Dalam sekejap mangkuk itu ludes dengan kuah-kuahnya.
Tidak hanya makanannya saja yang nikmat, tetapi juga suasananya hangat menambah perasaan bahagia Alea. Zaky dan Revan selalu memecah keheningan dengan obrolan-obrolan mereka yang receh.
Menikmati percakapan dua orang tersebut sambil menikmati mie kuah yang dibuat oleh Revan benar-benar menyenangkan. Alea tidak bisa melepaskan senyum bahagianya selama di rumah Zaky.
Dengan tiba-tiba di saat suasana sedang hening sesaat, Zaky mengajak Revan untuk bermain game online bersama supaya tak jenuh.
"Mabar gas?"
"Gas."
Alea yang tidak bermain game online memilih untuk melihat kedua temannya itu bermain dari belakang mereka berdua. Ia melihat pergerakan tangan mereka berdua yang cepat saat bermain. Seolah tangan mereka sudah terlatih sejak lama. Alea juga mendengar beberapa kalimat yang tidak ia mengerti dilontarkan satu sama lain.
Gadis itu mencoba untuk mengerti mekanisme game yang Revan dan Zaky mainkan. Seorang sepertinya tidak pernah bermain game online seperti battle royal, game FPS, dan game lainnya yang teman-teman kelas Alea mainkan. Alea lebih memilih untuk bermain game santai seperti visual novel hanya untuk menghilangkan rasa kebosanan yang tiba-tiba datang.
Bahkan untuk menyentuh game, Alea hanya melakukannya beberapa kali dalam seminggu.
Tetapi ia tertarik saat melihat Revan yang memainkannya. Ada rasa ketertarikan yang tiba-tiba saja datang entah dari mana.
"Eh, nama gamenya apa?" tanya Alea pada kedua teman di hadapannya.
Revan menengok ke belakang dan berkata,
"Kenapa Al? Mau nyoba?"
Alea menggeleng pelan tidak yakin apakah dia ingin mencoba game tersebut atau tidak.
Revan menyebutkan game yang sedang ia mainkan sembari matanya tetap fokus pada layar ponselnya.
Diam-diam Alea menulis nama game online tersebut pada catatan di ponselnya sendiri karena kuotanya telah habis, dia tidak bisa menggunakan internet.
Suasana di rumah Zaky menghangatkan mereka bertiga tanpa gangguan dari apapun termasuk hujan yang sedikit demi sedikit mulai mereda. Rumahnya sepi, tidak ada orang tua Zaky yang datang.
"Sepi banget rumah kamu Zak," ujar Alea yang baru sadar kalau sedari tadi ia tak melihat orang tua ataupun anggota keluarga Zaky.
"Biasalah, orang sibuk," jawab lelaki itu dengan santai tanpa beban. Alea tak mau memusingkan hal ini walau dia tahu emosi yang sedang dirasakan oleh Zaky mengenai keluarganya.
Memang setiap orang mempunyai masalah mereka masing-masing. Ketiga orang ini punya masalah dalam topik yang sama, yaitu keluarga.
Seharusnya, keluarga adalah tempat paling aman dari dunia luar. Tetapi nyatanya masih banyak mereka yang hancur dari keluarga mereka sendiri.
Mereka bertiga merasakan hal yang sama sehingga Alea, Revan, dan Zaky ingin mencari 'keluarga kedua' yang bisa mendekap mereka. Persahabatan seperti ini contohnya.
Hangat, kehangatan yang tak dapat mereka rasakan dari keluarga mereka sendiri.
----
Revan membuka pintu kamarnya dengan pelan. Tercium aroma pewangi ruangan yang baru saja Revan beli di minimarket dekat rumahnya. Ia menyimpan tas, membuka seragam sekolah yang sudah bau apek.
"Akhirnya..." Ia senang melihat kasurnya telah menyambut kedatangan Revan dengan baik.
Saat hujan reda, Revan dan Alea segera pulang ke rumah mereka masing-masing. Ia sempat mengantarkan Alea sampai depan rumahnya. Gadis itu membayar dengan senyuman yang terus Revan ingat sepanjang jalan. Bayaran itu sudah lebih dari cukup tak memerlukan kembalian apapun.
Tubuhnya jatuh dalam kapuk yang empuk. Dalam sekejap matanya sudah bisa tertutup dan memimpikan sesuatu dari alam bawah sadarnya. Tetapi Revan ingat dia belum mengganti celananya. Ingin sekali ia beranjak dari kasur itu tapi rasanya sudah tak memiliki tenaga.
Revan pun tak bisa bangun karena medan kekuatan kasur begitu besar. Ia terlelap dalam sekejap hanya dengan hitungan menit.
Revan bermimpi hal yang ia tak bisa mengerti. Orang-orang dalam mimpinya menanyakan hal yang sama berulang kali sampai rasanya Revan ingin memuntahkan isi perutnya saat dipaksa menjawab oleh orang-orang. Pertanyaan itu sederhana, tapi saat sampai pada Revan pertanyaan itu menjadi rumit.
"Revan cita-cita kamu apa?"
Setiap lelaki itu menjawab, "Tidak tau." Sesuatu menariknya dari belakang dengan begitu keras melewati lorong-lorong hitam yang berliku-liku dengan kecepatan tinggi sampai akhirnya ia sampai di tempat lain dan bertemu dengan orang lain—orang-orang yang ada di hidup Revan.
Mereka melontarkan pertanyaan yang sama. Revan mencoba tak menjawab, tetapi mereka terus melontarkan pertanyaan tersebut, memaksa Revan untuk menjawab.
Muak dengan pertanyaan sama dari orang yang sama, Revan menjawab kembali, "Tidak tau." Sesuatu menariknya kembali dengan kecepatan tinggi.
Revan terjebak dalam mimpi yang berulang itu sampai fajar tiba.
Bangun dari tidur benar-benar seperti sehabis di hantam habis-habisan. Seluruh tubuhnya terasa berat dan pegal luar biasa.
Keringat bercucuran dari dahinya menciptakan suasana tubuh yang sangat tak nyaman.
Melihat jam di dinding kamarnya menunjukan pukul 05.15, Revan memilih untuk menutup matanya kembali dan menarik selimut. Badannya terasa panas tetapi merasakan hawa dingin.
Hari itu tak tampak batang hidung Revan di kelas. Andre dan Zaky selaku sobatnya menanyakan kabar Andre di grup kelas namun tidak ada yang tahu. Mereka mencoba menelepon Revan tetapi tidak diangkat.
"Kemana sih si Revan?" Andre bertanya setelah melihat beberapa panggilan teleponnya tidak terangkat.
"Ntah," jawab Zaky singkat—ia sedang fokus bermain game.
Alea diam-diam mulai bertanya-tanya pada pikirannya. Apakah Revan sakit? Kemarin ia mengantar Alea sampai ke rumahnya, siapa tau ia masuk angin.
Masuk angin? Ya, Revan tak menggunakan hoodie nya karena ia memberikan hoodie itu pada Alea.
Sebelum mereka beranjak berangkat, Alea mengeluh tentang seragamnya yang basah dan belum begitu kering.
"Nanti masuk angin Al," ucap Revan dengan nada khawatir.
"Ya gimana lagi? Ga bawa jaket." Alea tak mempermasalahkan hal itu karena ia kebal dengan masalah kesehatan. Jarang sekali baginya untuk terkena sakit bahkan demam sekalipun.
Meski begitu, Revan masih saja khawatir dengan Alea sehingga ia mendadak membuka hoodie berwarna hitam yang sedang ia pakai dari atas.
Setelah terlepas, Revan memberikan hoodie tersebut kepada Alea.
"Apa nih?" Alea heran mengapa lelaki di hadapannya memberikan hoodie yang sedang ia kenakan padanya.
"Pake."
Revan menatap wajah Alea dengan berani—tak seperti biasanya ia yang tak berani menatap wajah gadis tersebut. Alea yang ditatap merasa malu untuk bertatap mata dengan Revan lama-lama.
"Terus kamu gimana?" tanya Alea yang ikut mengkhawatirkan Revan.
"Aku? Aman, nih." Ia memaksa Alea untuk tetap mengenakan hoodie tersebut dengan melempar hoodienya kearah Alea dengan jarak yang kecil.
Gadis itu menangkapnya dengan baik dan mulai mencoba memakai hoodie hitam tersebut.
Begitu mencium wangi dari hoodie Revan, mendadak ia menjadi tersipu malu. Terlebih saat Alea memakai hoodie itu dengan baik, mukanya menjadi memerah Semerah bara api.
Ia memakai pakaian lelaki, ini adalah pertama kalinya. Dan ada sesuatu yang bergetar dari dalam hati Alea hari itu.
"Kamu gapapa Al?" Revan bertanya saat melihat wajah Alea yang mulai memerah dengan mendadak, Revan berpikir gadis itu mungkin alergi memakai hoodie—ya, pemikiran yang sedikit aneh.
"Eh, gapapa kok!" Dengan cepat Alea mengkondisikan wajahnya sendiri.
Dua orang tersebut melaju dengan kecepatan motor yang dikendarai oleh Revan. Dingin dari angin yang diterpanya tidak mempengaruhi kecepatan berkendara Revan. Di sisi lain, Alea khawatir dengan Revan yang tak memakai apapun saat berkendara. Papah selalu bilang bahwa setiap berkendara di jalan pastikan memakai jaket supaya tidak kedinginan dan masuk angin.
"Van, kamu dingin ga?"
"Hah?"
Revan tak mendengar Alea karena tertutup suara angin diatas motor.
"Dingin ga?" Alea sedikit mengeraskan suaranya.
"Dingin," jawabnya dengan singkat.
"Ih, ini atuh jaket kamu pake," Alea menjadi tidak enak saat Revan merasa kedinginan tetapi ia lebih memberi hoodie miliknya pada Alea.
"Gapapa, aku mah kuat," saut Revan tak mempedulikan kondisi tubuhnya yang sedikit menggigil.
Alea berkata kembali,
"Boong banget." Ia sedikit cemberut terlihat dari kaca spion motor. Revan tersenyum manis dengan mencoba melambatkan sedikit kecepatan motornya saat keadaan di depan terlihat macet.
Motor itu terus melaju mengikuti jalan-jalan untuk sampai di rumah Alea. Tentang suasana sehabis hujan, kota Bandung memang juaranya.
"Eh, turun di sini aja Van," pinta Alea untuk menurunkan dia saat ini juga. Ia tidak mau semakin memberatkan Revan untuk mengantarnya sampai depan pintu rumah.
"Hah? Kenapa di sini?" tanya Revan yang masih belum mematikan mesin motornya itu.
"Gapapa ah, udah turunin."
Revan mengikuti kemauan Alea dengan menurunkannya. Alea turun dari motor dengan perlahan dan hendak melepaskan hoodie yang ia kenakan.
Sebelum ia beres melakukan hal tersebut, Revan segera meminta Alea untuk menghentikannya.
"Eh, Al!" Suara Revan sedikit mengejutkan gadis itu.
"Apa ih? Kaget," timpalnya. Revan segera berkata kembali sambil menyiapkan stang motornya untuk segera beranjak dari tempat itu.
"Hoodienya, di kamu aja dulu."
"Hah?"
Alea masih belum mengerti tetapi Revan sudah mulai menjalankan motornya ke arah depan.
"Eh, woy! Van! Ini hoodienya!"
Alea tidak sempat untuk mengejar Revan yang sudah mengendarai motornya dengan tiba-tiba.
Revan berteriak dari arah jauh, "Di kamu dulu!"
Alea berdiam diri di tempat tak dapat membalas apa-apa. Dia masih mencerna segala kejadian yang terjadi pada Revan dan Alea di hari ini.
Rasanya ada sesuatu yang menusuk hati Alea dengan lembut saat lelaki itu melakukan tindakan kecil yang membekas di hati.
Dari mulai menjemputnya menggunakan jas hujan dan payung, Alea sudah menganggap Revan sebagai penyelamat kecilnya. Andai waktu itu ia tidak akan mau menjemput Alea, ia akan sendirian di tengah hujan lebat itu.
Mengingat kejadian tersebut saja sudah membuat sekumpulan darah berkumpul di wajahnya. Jantungnya pun berdebar kencang dengan tiba-tiba.
Hal-hal kecil yang menurutnya tidak perlu tetapi Revan melakukannya. Hal yang tidak pernah Alea bayangkan ada orang yang akan menolong tetapi Revan menolongnya.
Di sepanjang jalan pulang, Alea tersenyum-senyum sendiri mengingat perlakuan Revan terhadapnya. Aneh, padahal hanya dengan satu kejadian itu, tetapi rasanya berkesan besar.
Alea menginjakkan langkah kakinya dengan senang seperti tidak ada beban. Ia menikmati tiap langkah sembari tersenyum dan menari diatas jalan komplek perumahan yang sepi itu.
Begitu menyenangkan rasanya diawal jatuh cinta. Meskipun rasa ini muncul hanya karena hal kecil, ia senang. Ternyata tidak perlu sesuatu yang besar untuk membuat seseorang jatuh cinta.
Hanya dengan perasaan yang tulus, itu sudah cukup. Percayalah, sudah cukup.
Begitulah kondisi Revan sebelum pada akhirnya hari ini dia tidak masuk sekolah. Tak lama kemudian sebuah pesan masuk di ponsel Alea. Ia segera mengecek pesan dan ternyata pesan itu datang dari Revan.
"Alea, maaf aku izin hari ini sakit demam, makasih."
Feeling Alea ternyata benar, Revan jatuh sakit pada hari ini. Pikirannya mulai berpikir kemana-mana dan Alea mulai sedikit menyalahkan dirinya karena memakai hoodie yang diberikan Revan.
Alea segera membalas pesan tersebut bersamaan dengan pesan minta maafnya.
"Revan, maaf! Gara-gara kemarin kamu ngasih hoodienya ke aku yaa? Jadi kamu sakitt, maaff banget."
Pesan itu terkirim. Alea menunggu balasan dari Revan tetapi tak kunjung di balas. Pesan darinya diacuhkan begitu saja. Hal ini membuat ia berpikir kalau Revan marah karenanya.
"Aduh, gimana ini..." Melihat Alea yang panik sendiri membuat Raisya bertanya padanya.
"Kenapa Al?"
"Revan marah kayaknya sama aku," jawab Alea sambil memandangi pesannya yang belum juga terbalas.
Raisya yang terlanjur penasaran pun bertanya lebih lanjut.
"Emang ada apa?"
Alea tidak langsung menjawab temannya itu. Malah ia menutup layar ponselnya dan melempar ponsel itu ke meja di depannya.
"Kenapa Al?" Raisya bertanya lagi tapi masih belum digubris oleh gadis itu.
"Ih gitu!" Raisya yang ikut ngambek memilih untuk diam saja di kursinya tanpa bertanya kembali pada Alea.
"Kemarin tuh ya," keluh Alea, ia mulai menceritakan kejadian kemarin pada Raisya.
Dari mulai ia kehujanan saat akan ke rumah Zaky, kejadian saat Revan menjemput Alea dan membawakannya payung, kejadian pulang bareng, hingga hari ini Revan jatuh sakit—menurut Alea itu adalah kesalahannya sendiri.
Raisya bukannya bersimpati kepada Revan yang jatuh sakit dan telah melakukan hal-hal kecil bagi Alea, ia justru berekspresi senang dengan senyum yang begitu lebar.
"Dih, ngapain senyum lebar gitu?" Alea kesal melihat teman di hadapannya menunjukan ekspresi yang tidak diharapkan.
"Umm, cieeee," goda Raisya pada Alea setelah mendengar kejadian kemarin.
"Hah? Apaan?" Alea memiringkan kepalanya, ia dibuat bingung dengan respon Raisya.
"Lucu banget Al lu sama Revan, gilaa, udah sejauh ini hubungan kalian?"
Alea dengan cepat mengambil satu buku catatan yang ada di mejanya dan mengancam Raisya akan menamparnya dengan buku catatan tersebut.
Raisya kaget dan sedikit takut dengan ekspresi Alea yang seakan akan menunjukan bahwa dia tidak akan membiarkan Raisya pulang dengan selamat hari ini.
"Eh! Maaf, maaf, kanjeng ratu!" Raisya menyatukan kedua telapak tangannya dan meminta maaf pada Alea sambil cekikikan.
Namun kali ini berbeda, Alea tidak menunjukan emosi yang berlebihan saat ia dipasangkan dengan lelaki. Hari ini Alea ikut tertawa bersama Raisya setelah menunjukan mimik wajah yang menyeramkan.
Raisya mengangkat alisnya tinggi-tinggi dan membuka matanya lebar-lebar. Mulutnya pun sedikit ternganga karena terkejut dengan respon Alea hari ini.
Wajah Alea pun sedikit memerah saat itu juga, membuat Raisya semakin yakin bahwa hubungan mereka memang sudah berkembang.
"Al... Ini beneran lu kan?" Raisya bertanya tidak percaya dengan respon Alea pada saat itu. Alea mengangguk pelan tanpa berbicara.
Mereka saling bertatapan satu sama lain dalam beberapa menit.
"Pertama kalinya Sya, aku nelen ludah aku sendiri."
Alea berbicara pelan dengan malu-malu. Hatinya sudah tidak bisa berbohong dengan perasaannya saat ini. Memang tiba-tiba, tetapi dia merasa semakin lama pun perasaan ini akan semakin menjadi-jadi.
Kenapa harus menunggu waktu lama? Dia bisa mengungkapkan perasaannya saat ini juga.
Alea, telah jatuh cinta pada Revan. Secara cepat, secara tiba-tiba, dan Alea yakin dengan perasaannya ini.