Pendekatan dengan Alea berjalan dengan lancar. Kini mereka menjadi teman yang sudah 'sedikit dekat'. Tidak seperti kemarin-kemarin, kini mereka saling menyapa di jalan, saling mengobrol walau tak ada urusan penting, dan juga Revan telah di kenal baik oleh teman-teman dekatnya Alea. Bahkan mereka terkadang bermain bersama saat jam kosong seperti bermain bottle flip, kartu, tebak-tebakan, dan lain sebagainya. Untung ada Andre yang membantu Revan untuk bersosialisasi dengan teman-teman lainnya yang belum akrab dengan Revan.
Belum lama ini, grup berbalas pesan yang dibuat untuk berdiskusi terkait tugas menjadi grup yang isinya membahas hal-hal tidak penting di luar tugas sekolah.
"Hai guys," sapaan andalan dari para ciwi-ciwi untuk memulai topik obrolan. Revan awalnya malu untuk ikut dalam percakapan mereka, tetapi semuanya mengalir dengan lancar.
Hingga mereka membuat nama grup itu menjadi "Grup Yapping."
Hal ini membuat Revan senang karena dapat melihat sisi lain dari Alea yang ia kagumi. Revan benar-benar memperhatikan bagaimana dia berbicara, bagaimana dia ber lelucon dan tertawa, dan lain sebagainya. Bahkan sampai hal-hal kecil yang Revan baru tahu.
Tapi terkadang, saat ia mencoba melihat sisi lain Alea, ia malah melihat sisi lain yang rasanya berbeda. Sisi lain yang semakin membuat Revan penasaran.
Gadis itu seperti mempunyai hal-hal lain yang ia sembunyikan. Alea terkadang mempunyai emosi yang terkadang tak bisa Revan pahami secara langsung.
Namun hal itu masih menjadi sesuatu yang belum mau Revan telusuri lebih dalam. Dia sadar belum sepenuhnya dekat dengan Alea saat ini.
Ketika jam istirahat kedua, Revan sedang malas sekali untuk bergerak. Dia mengantuk mencoba untuk memanfaatkan waktu istirahatnya dengan melakukan hal yang receh.
Seperti sekarang dia sedang menggambar bola kusut di selembar kertas.
"Gabut... Males..." Revan bergumam pelan.
Bosan dengan gambaran bola kusutnya, Revan mencoba menulis kata-kata dalam pikirannya. Yang awalnya hanya kata-kata biasa, berubah jadi satu kalimat, dan tiba-tiba menjadi lebih dari dua kalimat.
Semua itu dia tulis berdasarkan hatinya yang bimbang pada dirinya sendiri.
"Aku masih mencari sesuatu yang tak bisa kutemukan hingga saat ini. Melihatmu, aku merasa bisa menemukan sesuatu itu. Alea, pernahkah kau menjalin hati dengan orang lain? Bagaimana rasanya? Bagaimana cara agar aku mengetahuinya?
Kenapa aku sibuk dengan perasaan ku sendiri di saat seharusnya aku sibuk mengenai masa depanku?
Aku tenggelam dalam pikiran yang tak bisa ku ukir, dan aku meminta pertolongan pada siapa saja yang bisa merasakan pertolonganku saat tenggelam. Mungkin itu kau, Alea. Haha, ga deh, aku ngarang."
Kalimat terakhirnya yang terkesan aneh tak selaras di coret olehnya secara asal-asalan.
"Eh, ada Bu Fani oi," ujar salah satu teman sekelas mereka.
Murid-murid yang tadinya berisik menjadi diam dengan perlahan saat guru mulai membuka pintu kelas dan masuk. Mereka kembali ke bangku masing-masing.
Revan yang tiba-tiba panik tidak sempat membuang kertas itu. Ia menggulungnya dengan asal dan melempar gulungan itu ke bawah kursi.
"Loh, kalau ada yang ngambil terus baca gimana?" Pikirannya baru bekerja, Revan tak sadar kenapa dia membuang kertas itu ke sembarang tempat.
Sebelum sempat mengambilnya kembali, ketua murid sudah meminta murid-murid agar siap untuk memberi salam dan berdo'a sebelum belajar.
Revan tak mau guru itu sampai menyuruh Revan mengulang do'a dan salam sendiri karena terlihat bergerak gerik di luar bangkunya.
"Nanti aja deh pulang sekolah."
----
Zaky bertingkah aneh sedari dia memperhatikan temannya— Revan mulai dekat dengan orang-orang di kelas. Dia merasa menjadi sedikit terabaikan oleh sahabatnya itu. Mereka tak sedekat biasanya dan itu membuat Zaky kadang sedikit tak suka.
Dia merasa terlupakan. Walau merasa dramatis, dia tak menunjukannya pada Revan.
Andre yang mudah berbaur tak peduli dengan perubahan Revan. Dia orang yang bisa menyesuaikan.
"Ndre, aku ini loh, kayak gimana gitu ya ke Revan," ucap Zaky pada Andre di pojok kelas sambil bermain game online.
"Kenapa lu?" tanya Andre. Zaky terdiam sebentar lalu menjawab,
"Kayak, aku ini terasingkan apa? Ga dianggep gini."
"Hah? Ahahaha!"
Mendengar perkataan Zaky, Andre malah tertawa terbahak-bahak.
Ia melebarkan mulutnya lebar-lebar dan tertawa lepas. Itu membuat Zaky bingung melihatnya.
"Lah, tiba-tiba ketawa, sehat Ndre?"
Andre tak mempedulikan perkataan Zaky dan masih tertawa. Hingga akhirnya ia merasa lelah sendiri tawanya pun berhenti.
"Aneh lu," ucap Andre pada Zaky.
"Napa si?"
"Gini bro, saran gua lu bergaul aja." Setelah mengatakan hal tersebut, Andre meninggalkan Zaky untuk keluar kelas sambil masih memainkan game online di ponselnya.
"Kemana?" Zaky bertanya, Andre pun menjawab tanpa menoleh.
"Berak."
Zaky berteriak sedikit kencang agar terdengar oleh Andre yang sudah berjalan menuju pintu.
"Cebok ya Ndre!"
Dia pun tertawa oleh perkataannya sendiri.
Tetapi mendengar Andre yang berbicara seperti itu membuat Zaky berpikir, apa dia yang kurang bergaul dengan teman-teman di kelasnya?
Selama ini dia memang tak begitu dekat dengan satu kelompok di kelasnya. Dari kelas sepuluh hanya ada Revan, Revan, dan Revan yang dia anggap sebagai satu-satunya teman terbaik yang ia miliki di SMA.
Sebenarnya ia merasa bosan dengan Revan yang muncul di benaknya tiap kali orang bertanya "Siapa sahabatmu?"
Ia ingin mencari teman lainnya untuk menambah relasi yang baik.
"Thank you mas Andre perkataanya," ujar Zaky berbicara sendiri.
Meski dia bosan dengan Revan, ia merasa sudah ditakdirkan untuk menjadi sahabat Revan, dan Revan menjadi sahabatnya.
Mereka merasa sudah menjadi satu kesatuan yang saling mengerti satu sama lain.
Zaky berharap pertemanan mereka tidak akan pernah terputus karena hal-hal sepele. Hubungan persahabatan yang kuat tidak ditentukan oleh seberapa lama mereka bertahan, tapi seberapa yakin mereka untuk saling mempercayai satu sama lain.
-----
Pagi yang tenang seperti biasanya berubah menjadi pagi yang menegangkan bagi Revan.
Baru saja masuk ke kelas ia sudah di sambut dengan Zaky yang segera menyeretnya untuk menjauh dari keramaian orang-orang. Revan terpojok, dia heran apa yang terjadi dengan temannya.
"Kenapa bro?" tanya Revan pada Zaky.
"Van, kau suka Alea ya?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Zaky membuat Revan melebarkan matanya sedikit terkejut.
"Kok dia bisa tau?" pikirnya saat itu. Zaky berbicara sambil tersenyum tipis menatap Revan yang hampir mengucurkan keringatnya.
"Ga." Jawaban yang singkat darinya tidak dapat membuat orang itu puas dan juga percaya.
"Jangan boong, ini liat yang ku punya." Zaky memberi Revan sebuah kertas putih kusut yang ketika Zaky buka dan menunjukkannya pada Revan, itu adalah kertas yang sama saat Revan membuang tulisannya ke sembarang tempat di kelasnya.
"Zak!"
Dengan cepat Revan merebut kertas itu dari tangan Zaky dengan kasar. Setelah mendapatkan kertas tersebut, dia merobeknya menjadi bagian-bagian kecil lalu membuang sobekan kertas-kertas itu pada tempat sampah.
"Santai Van, udah gua duga haha." Zaky menganggap ini adalah hal langka. Dia bisa mengetahui Revan sedang jatuh cinta pada seorang gadis di kelas.
Kemarin adalah hari Selasa, yang artinya Zaky piket hari itu. Dia mencoba untuk kabur, tetapi ketua murid memperhatikan gerak geriknya sehingga dia hanya bisa ikut membantu bersih-bersih sambil mengeluh dan cemberut.
"Zaky aku mau nyapu, kamu ambilin sampah di kolong meja aja," ujar salah satu teman perempuannya. Zaky hanya bisa mengalah dan memberikan sapu pada temannya itu.
Dia mengecek tiap kolong meja dari bangku paling belakang.
"Itu tuh sama sampah di lantai ambilin," suruh seksi kebersihan yang mengawasi anak murid piket dengan benar.
Zaky mangut-mangut sembari memungut sampah-sampah itu.
Bangku demi bangku dia bersihkan, sampai dia ada di bangku Revan.
"Tumben bersih nih kolong meja," ucap Zaky menyindir Revan yang biasanya menaruh apapun di kolong mejanya.
Zaky mengecek kolong meja Andre, menemukan satu sampah plastik dari bekas gorengan di kantin.
Melihat sekeliling, Zaky melihat satu kertas yang tak jauh dari bangku mereka berdua. Ia pun memungut kertas itu.
Entah darimana pikiran untuk membuka kertas itu ada, tapi Zaky melakukannya. Ia mengenali tulisan tangannya.
"Loh, tulisan Revan." Matanya membaca kata demi kata pada tulisan di kertas tersebut.
Semakin ia membaca tulisan itu, semakin besar pula matanya membaca kalimat-kalimat yang ditulis oleh Revan.
Zaky merasa ini adalah hal yang Revan sembunyikan sejak lama. Ia menyimpan kertas itu dalam sakunya dan kembali memungut sampah karena sudah di teriaki oleh seksi kebersihan.
"Cepet ambilin sampahnya!"
"Siap!"
Zaky benci piket, ia ingin segera pulang dan merebahkan dirinya. Serta, mencari tahu Revan yang mengagumi seorang Alea.
Senyum terukir di wajah Zaky, yang dilihat oleh seksi kebersihan di sampingnya.
"Make ni orang." pikir seksi kebersihan itu dalam hati.
"Argh, kenapa aku lupa ngambil kertasnya coba?" Revan menyesal dengan tindakannya kemarin yang langsung pulang begitu saja dan melupakan kertas yang ingin ia buang berisi tulisan yang dapat memicu sebuah perbincangan tak sedap yang akan beredar di sekolah.
"Ih, Revan suka sama Alea tau,"
"Orang kayak dia? Ih,"
"Berani banget ya..."
"Alea ga ilfeel gitu ya?"
Revan sudah memikirkan reaksi orang-orang jika mereka tahu kebenarannya. Ini bukan hanya berdampak padanya, tapi pada Alea juga.
"Jangan panik Van, aman sama aku mah," ucap Zaky dengan tenangnya. Revan merasa ini bukan hal yang harus sahabatnya ketahui. Dia masih merasa malu dengan hal itu.
"Pulang sekolah kita omongin ini oke?" Zaky mengajak Revan untuk meraup informasi lebih banyak tentang hal ini, dia sudah kelewat penasaran.
"Ah, gausah ga penting." Revan berjalan menuju kelasnya meninggalkan Zaky. Dia sedikit marah atas kesalahannya, dan juga pada Zaky yang telah mengetahui rahasianya.
Revan tidak akan menjawab jika dia sedang emosi seperti itu. Zaky memutuskan untuk mengirim pesan pada nomor Revan.
"Pulang sekolah nongki kita."
Revan yang melihat notifikasi di ponselnya tak menjawab pesan yang dikirim oleh Zaky. Itu adalah basa-basi, karena ia tahu bahwa sahabatnya ingin menggali informasi sampai dia puas.
Sepanjang jam pelajaran hari itu, Revan lebih banyak duduk diam di bangkunya. Kepalanya tertunduk di balik buku, bukan karena sibuk mencatat, tapi lebih pada usaha menyembunyikan raut gelisah yang makin sulit ia tahan. Ia bahkan tak melirik ke arah jendela, tempat biasanya ia mencuri pandang ke sudut bangku Alea duduk.
Pada hari ini pun, tatapan Zaky berubah. Tidak menuduh, tidak menghakimi—tapi tahu. Dan itu cukup membuat Revan ingin menghilang dari kelas.
Saat istirahat, Zaky cuma memukul pelan pundaknya, lalu duduk dengan ekspresi seolah dia tahu segalanya. Revan membalas dengan tatapan waspada, seperti maling yang tahu dirinya ketahuan.
“Ada PR Matematika?” tanya Zaky santai.
Revan mengangguk, singkat. Sebelum dirinya pergi beranjak kembali ke bangkunya, Zaky sempat menoleh pada Revan dan mengatakan lagi,
"Jangan lupa pulang sekolah."
Revan tersenyum dengan getir. Ia tak mau kelihatan marah depan Zaky.
"Iya," jawabnya singkat.
Café kecil di pinggir jalan itu ramai seperti biasa. Wanginya manis, menguar dari roti panggang dan cokelat panas yang dipesan pengunjung. Di sudut dekat jendela, Revan dan Zaky duduk berseberangan, masing-masing membawa gelas plastik berembun.
“Jadi,” kata Zaky sambil menyeruput es cokelat. “Sejak kapan kamu ngerasa... gitu?”
Revan menatap sedotan di tangannya. Mengaduk-aduk minuman yang sudah lama cair.
“Aku nggak tahu, Zak. Aku bahkan nggak yakin ini... suka atau cuma... ketertarikan biasa.”
Zaky mendongak. “Tapi kau nulis di kertas itu bagus Van, ga nyangka kali aku."
Revan menghela napas. “Itu cuma... kayak monolog. Aku juga bingung sendiri sama kepala ku sendiri. Alea tuh baik. Kadang menyebalkan juga. Tapi nyaman. Tapi juga... aneh.”
“Ya, ya, ngerti,” kata Zaky pelan.
“Kadang kita bukan nggak tau, tapi takut ngakuin. Takut kalau ‘suka’ itu ternyata cuma... rasa kagum. Atau lebih parah, cuma ilusi doang.”
Revan mengangguk pelan. “Aku juga ngerasa ga pantes di deket dia."
"Kenapa?"
Pertanyaan dari Zaky rasanya tidak bisa Revan jawab sepenuhnya. Revan memikirkan jawaban sembari meminum coklat panas dengan perlahan dan meneguknya hingga ke kerongkongan.
"Gatau," jawab lelaki itu. Dia tidak bisa memastikan kenapa ia merasa tak pantas. Entah karena dirinya yang terlalu tak mengerti soal percintaan, atau mungkin Revan memang tak mengerti dirinya sendiri.
Zaky terdiam sesaat. Tatapannya beralih ke luar jendela, ke arah lalu lintas sore yang padat. “Ku pikir, suka tuh bukan soal siap atau nggaknya kita ngungkapin. Tapi soal gimana kita ngehargain perasaan itu tanpa nuntut balasan.”
"Kelas king, kata-katanya." Revan mencoba mencairkan suasana, mereka terkekeh geli.
“Ya, kau pikirin aja pelan-pelan. Kalau ternyata itu cuma perasaan lewat, ya nggak papa. Tapi kalau emang makin jelas... jaga. Tanpa maksa, tanpa ganggu. Gitu aja," ucap Zaky.
"Kecewa aku cuk kau nyembunyiin kayak gini, aku kan bisa bantu kalau semisal kau bingung."
Revan tertawa getir, tapi ia juga merasa senang karena Zaky adalah orang yang bisa ia percaya untuk masalah seperti ini.
Sunyi menyusup sebentar. Musik instrumental dari speaker café menggema lembut.
Revan menyandarkan punggung, memandang langit sore yang mulai pudar. “Ya... bersyukur sih... Kamu nemu kertas itu.”
Zaky tertawa renyah. “Iya lah. Kapan lagi bisa nyandera seorang Revan pake puisi malu-malu?”
Revan ikut tertawa, untuk pertama kalinya hari itu tanpa beban. Tawa ringan, bukan karena semuanya selesai, tapi karena dia nggak sendirian di tengah bingungnya perasaan. Dia memang butuh seseorang, ternyata semesta juga mengatur itu untuk Revan.
Kadang, itu cukup.
----
Suara tawa bergema dalam satu rumah yang sedang di penuhi oleh kehangatan, bukan dari keluarga melainkan dari teman-teman yang sudah seperti menjadi bagian dari keluarga.
Mengobrol, bercanda, tertawa, lalu mengobrol kembali. Suasana seperti itu adalah suasana yang akan dirindukan ketika mereka sudah pulang dan tawa serta obrolan itu terhenti.
Alea bersama sobat-sobatnya Mia, dan Raisya sedang bermain di rumah Alea. Rumah gadis itu kosong pada hari ini. Hal itu memungkinkan dia temannya untuk bersikap sesuka mereka tanpa sungkan. Alea tak mempermasalahkan hal itu, dia malah senang dengan kehadiran mereka sebagai penghangat di rumah yang terasa dingin ini.
"Eh, eh lo jangan sembarangan ya!" Mia tertawa sambil menunjuk Raisya dengan jari telunjuknya.
Mereka sedang saling bercanda dengan menjodoh-jodohkan dengan teman-teman kelas mereka.
"Kau tuh sama dia," bantah Raisya yang tidak mau dengan salah satu lelaki di kelas.
Alea hanya tertawa mendengar dua temannya saling menunjuk satu sama lain. Mereka tidak asal menunjuk Alea karena mereka sudah mengenal dalam Alea. Mungkin hanya mereka yang benar-benar mengenal Alea.
"Eh, tapi ya Revan kayaknya suka sama Alea deh." Raisya mengatakan hal tersebut yang membuat dua temannya sedikit terkejut.
"Hah?" Alea masih tersenyum mendengar perkataan itu dari Raisya.
"Iya tau Al, dia tuh kayak deket-deket gitu sama kamu," ucap Mia yang menambah panas suasana.
Alea tidak seperti biasanya yang di jodohkan oleh orang lain akan emosi. Kali ini dia hanya tersenyum, tertawa dalam kebingungan.
"Perasaan kalian aja kali," katanya berusaha menepis argumen kedua temannya.
"Beneran Al, sifat dia beda gitu ke lo." Raisya meyakinkan perkataannya pada Alea. Hal ini membuat Mia bertanya kembali,
"Kalau dia beneran suka gimana?"
"Yaudah sih, ga gimana-gimana." Alea menjawab seadanya dengan menganggap hal ini hanya sebatas lelucon.
"Kalau lu suka sama dia gimana?" Mia seakan tidak puas dengan jawaban Alea terus memberikan pertanyaan yang bisa menimbulkan emosi.
"Haduh, ga mungkin aku suka sama dia. Kalau dia suka, aku gabakal suka, dia bukan tipe ku juga si."
Satu kalimat itu cukup untuk membuat Mia tak bertanya apapun lagi. Raisya pun mencari peralihan topik yang lain sebelum topik ini akan menjadi semakin dalam dan memicu kesalahpahaman.
Alea dikenal sebagai orang yang tidak menelan ludahnya sendiri. Termasuk perkataan terakhirnya tadi, dia tidak akan menyukai Revan.
Pada pikirannya, tipe yang dia idamkan dari seorang lelaki yang akan mencintainya bukan seperti Revan, melainkan... Seperti Damian.
Damian sudah ideal menurut Alea, tetapi terasa kurang. Seperti puzzle yang kehilangan kepingan-kepingan. Walau hilang sedikit, tapi kepingan itu terasa penting.
Alea ingin mencari cinta yang sempurna. Dia tahu tidak akan menemukannya di masa sekarang, sehingga Alea ingin menemukannya di masa depan.
Gadis itu akan menantikan hari di mana seseorang akan menjemputnya dengan kuda putih. Seorang pangeran yang akan membawa Alea keluar dari lingkaran setan di lingkungannya. Pangeran yang sesuai dengan tipe Alea.
Dan sekali lagi, Alea tidak akan pernah menyukai Revan.
Dibalik itu, Revan sendiri pun yakin bahwa Alea tidak akan menyukai dirinya.