Loading...
Logo TinLit
Read Story - Andai Kita Bicara
MENU
About Us  

Semesta sedang menyiapkan sesuatu untuk seseorang yang sedang di tengah kebimbangan. Terkadang mereka tak langsung memberi jawaban, tapi mereka menyuruh kita untuk menemukan jawaban itu sendiri.

 

Revan yang di tengah kebimbangannya dalam menghadapi masa depan serta perasaannya sendiri setiap malam selalu mencari jawaban dalam pikirannya. 

 

Pada malam yang terasa sunyi, ia sedang melihat-lihat video dari sosmed. Tangannya terhenti saat melihat pencapaian orang-orang seumurannya. Dia menggerakkan jarinya kembali pada layar ponselnya dan tak lama kemudian muncul lagi pencapaian orang-orang yang mereka edukasikan pada netizen. Dia beralih pada konten lain, muncul lagi konten pencapaian manusia-manusia hebat yang telah mencapai segala prestasinya.

 

Semakin banyak konten yang sama bermunculan di akun sosial media Revan. 

 

Apakah ini adalah pengingat bagi Revan?

Lelaki itu tak dapat mengenali dirinya sendiri. Dia merasa tak begitu hidup selayaknya manusia lain. Dia masih bisa tertawa, masih bisa merasakan sedih, masih merasakan marah, dan emosi lainnya. 

 

Tapi dia merasa 'bukan dirinya'. Hampa. Dalam hatinya ia merasa hampa karena tak memiliki tujuan hidup.

Terkadang Revan hanya bengong di kamarnya sendiri dan berpikir apa tujuan hidupnya? Untuk apa dia dilahirkan? Apa sebenarnya makna dari kehidupan ini? 

 

Seakan Revan hanya menjalani hari-harinya dengan monoton, begitu-begitu saja tanpa ada alasan yang jelas, kenapa dia melakukan hal ini? Hal itu? Kenapa dia harus mengikuti ini dan mengikuti itu?

 

Dia seperti robot yang sudah di program hanya untuk menjalani kehidupan ini untuk mengisi kekosongan orang lain tapi tak mengerti dirinya sendiri.

Dia merasa tak bisa jadi siapa-siapa, tak bisa jadi apa-apa, dia juga berpikir, apakah akan selamanya Revan seperti ini?

 

Pada malam ini Revan akan bertekad pada dirinya sendiri untuk menemukan jati dirinya. Setidaknya dia akan tahu kemana hidup ini akan membawanya selain pada kematian.

Namun, ada sedikit yang mengganjalkan hatinya. Yaitu tentang Alea. Ada rasa sedikit kehilangan sesuatu semenjak mereka tak dekat lagi. Sesuatu yang rasanya aditif karena membuat Revan ingin terus dekat lagi, lagi, dan lagi. Dia ingin terus seperti itu walau akhirnya dia tahu tidak akan menang melawan orang yang lebih darinya.

 

Revan berdoa dalam posisi tubuhnya yang sudah terlentang di kasur. Berdoa supaya takdir ini mau berbaik hati mengatur agar yang diinginkan Revan diberikan. 

"Setidaknya, kalau deket sama dia aku janji bakal cari jati diri yang sebenarnya sedikit-sedikit."

 

Lelaki itu mendengar suara tali yang ditarik sampai putus di gendang telinganya. Revan sempat terkejut, ia memegang telinganya karena merasakan suara yang seharusnya tak ada.

 

Tanpa Revan ketahui, dunia ini akan berbaik hati kepadanya karena dia telah sedikit mempunyai niat untuk mengenal dirinya sendiri.

 

Takdir memang sedang baik.

 

Perlahan, mereka berdua mulai dekat kembali walau hanya sekedar saling menyapa jika berpapasan, menanyakan tugas, mengobrol beberapa kata dalam satu hari, tapi Revan menyukai itu semua.

Tak peduli dengan sedikitnya interaksi mereka, itu adalah anugerah baginya.

Hari ini pun begitu. Senangnya dalam hati Revan saat melihat nama kelompok yang terpampang di papan tulis.

Aleandra kelompok satu. Dan jika melihat nama-nama lainnya ke bawah, terpampang nama,

Revan.

Mereka satu kelompok lagi dengan hanya berisikan lima orang. Hati Revan bersorak ria, tapi dia tetap menahannya dan pura-pura tak peduli dengan mukanya yang datar datar saja.

 

Kali ini mereka akan membuat tugas membuat video cerita pendek. Revan tak menyukai tugas ini, dia orang yang anti kamera. Di sisi lain dia senang karena satu kelompok dengan Alea.

"Revan, punya kamera ga?" tanya Alea yang mendekat pada bangku lelaki yang sedang bengong itu.

"Eh, iya? Gapunya maaf," ucapnya gelagapan. 

"Yah, kelompok kita gaada kamera, aku pengen pake kamera soalnya." Alea cemberut karena ia ingin menggunakan kamera dalam pembuatan tugas video.

Revan yang penasaran bertanya padanya,

"Emang bisa pakenya?" 

"Bisa lah," jawab Alea.

"Masa si? Nanti malah rusak kameranya," ujar Revan bercanda sembari tertawa kecil.

"Ku cubit ya!" Alea menargetkan tangan Revan untuk mencubit dengan tangannya yang kecil. Revan dengan cepat menghindar, tapi Alea kembali ingin mencubitnya ke daerah tubuh lain.

"Eh eh!" Revan yang panik mencoba menghindar sebisa dia. 

Mereka berdua tertawa seperti orang konyol karena tingkah mereka sendiri.

 

"Aku mau beli kamera si, mau anter aku ga?" 

Revan serasa bermimpi. Dia? Diajak oleh Alea? Membeli kamera? Berdua? Revan terdiam beberapa detik sebelum kemudian dia menjawab dengan sedikit gugup namun cepat.

"Gas." 

 

Alea kembali ke bangkunya setelah urusan dia dengan Revan selesai. Jantung Revan berdebar sedikit lebih kencang saat ini, dia bisa merasakannya detakan demi detakan. 

 

Zaky memperhatikan Revan sedari tadi saat Alea mengobrol dengannya. Ia ingin menggoda Revan tetapi sepertinya temannya itu sedang bungah. Zaky tak mau menghancurkan suasana hati Revan.

"Dasar cowo puber," gumamnya.

 

Pagi itu Revan sudah menunggu di depan rumah Alea yang sederhana dengan cat berwarna coklat muda. Dia sedikit gugup karena hari ini dia akan membonceng Alea di motor butut kesayangannya. 

Pikirannya sedikit overthinking memikirkan bagaimana jika terjadi sesuatu di jalan, terjadi ini, terjadi itu, semua itu dia pikirkan supaya hari ini menjadi hari yang bahagia baginya, dan juga bagi Alea.

 

Terdengar suara pintu yang dibuka dari dalam, Alea keluar dengan pakaiannya yang serasi mengenakan cardigan berwarna ungu, memakai rok putih, dan juga tas kecil berwarna putih.

"Maaf nunggu ya," ucapnya saat melihat Revan sudah di depan rumah diatas motornya.

Revan tak menjawab, hanya mengacungkan jempol yang artinya "Aman."

 

Lelaki itu mulai menyalakan motornya dan memegang kemudi setir. Tangannya hari ini sedikit gemetar, rasanya canggung membonceng seseorang yang kita sukai.

Alea mulai menduduki jok motor sambil membenarkan rok putihnya. Setelah siap, mereka meluncur ke kedalaman kota yang akan menjadi kenangan di tiap sudut kota.

Perjalanan menuju toko kamera itu terasa begitu lambat bagi Revan, padahal kecepatan motornya tak berubah sedikit pun. Mungkin karena pagi ini terasa seperti sesuatu yang istimewa, seperti cerita-cerita yang ditulis oleh waktu dengan tinta yang tidak bisa dihapus.

 

Sesekali ia melirik spion, memastikan Alea baik-baik saja di belakang. Gadis itu diam, tapi dari pantulan matanya yang lembut, Revan tahu, Alea menikmati perjalanan ini. Sesekali gadis itu membenarkan rambutnya yang tertiup angin dengan indah. Serta angin-angin pagi itu di Bandung menyusup lewat sela-sela jaket tipis Revan, tapi rasanya tak sedingin biasanya.

 

Setelah perjalanan yang tak terasa, akhirnya mereka sampai di titik yang ditunjukan oleh map digital di handphone Revan.

Toko kamera itu terletak di sebuah sudut jalan yang tidak terlalu ramai, bersebelahan dengan kedai kopi kecil yang belum buka.

 

Mereka turun dari motor, dan Revan buru-buru membenarkan sedikit rambutnya yang berantakan tertiup angin. Alea tersenyum kecil melihatnya, lalu mendorong pintu kaca toko yang mengeluarkan bunyi lembut seperti menyambut.

 

Di dalam, aroma khas barang elektronik baru langsung menyambut mereka. Dinding toko dipenuhi rak berisi kamera berbagai jenis. Alea langsung menghampiri salah satu etalase yang memajang kamera mirrorless. Matanya berbinar. Revan mengikuti dari belakang, tangannya masih dingin. Bukan karena cuaca, tapi karena dia belum terbiasa berada begitu dekat dengan Alea.

 

Toko kamera itu tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman. Pendingin udaranya bekerja dengan baik, dan pencahayaan yang hangat membuat etalase kaca berisi kamera-kamera tampak lebih mengilap dari biasanya.

Alea berdiri di depan rak kamera mirrorless, matanya berbinar seperti anak kecil di toko mainan. Revan berdiri di belakangnya, memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaketnya. Ia memilih diam, membiarkan Alea tenggelam dalam pilihannya.

 

Tak lama, seorang pegawai toko mendekat. Seorang pria muda, mungkin akhir dua puluhan, memakai kemeja biru muda dengan logo kecil di dadanya.

 

"Butuh bantuan, Kak?" tanyanya ramah, senyumnya sopan.

 

Alea menoleh dan mengangguk cepat. "Iya, Kak. Aku lagi nyari kamera buat tugas sekolah, tapi sekalian yang bisa dipakai buat bikin konten juga. Budget-nya... pelajar, sih."

 

Pegawai itu tertawa kecil, lalu menunjuk ke etalase bagian tengah. “Kalau gitu, coba lihat yang ini, Kak. Ini Canon EOS M50 Mark II. Ringan, praktis, cocok buat pemula. Bisa buat ambil video juga, hasilnya jernih banget.”

 

Alea mengangguk-angguk, lalu menoleh ke Revan. “Kayaknya bagus, ya?”

Revan mengangkat bahu, canggung. “Kamu yang ngerti. Yang penting kamu suka, ‘kan?”

 

Pegawai itu mengambil kamera dari etalase, menyerahkannya perlahan ke tangan Alea. Gadis itu menerima kamera itu hati-hati, seolah sedang memegang benda berharga.

 

“Ini auto-focus-nya cepat,” lanjut si pegawai sambil menjelaskan, “Layar bisa diputar juga, jadi enak kalau mau vlogging atau take video sendiri. Banyak YouTuber pemula yang pakai ini.”

Alea mengangguk mendengar penjelasan dari sang pegawai toko. Revan ikut menyimak dan sesekali melihat paras Alea yang tanpa kamera dengan filter tambahan saja sudah se'bagus' itu.

"Cantik..." Revan bergumam tanpa sadar Alea mendengarnya.

"Kenapa Van?" tanya gadis itu. Revan panik namun mencoba untuk sedikit tenang.

"Eh engga, ini kameranya cantik." Dia berhasil mengeles, untung saja ada kamera yang terlihat cantik tepat di depan matanya.

 

Pegawai itu terus membantu Alea dalam memilih kamera. Ini akan memakan waktu yang lama tapi Revan menikmatinya. Biarlah sedikit lebih lama, dia malah tidak mau cepat-cepat pulang karena masih ingin bersama Alea.

 

Alea belajar tentang kamera dari papahnya sejak dulu. Kini dia diberi sejumlah uang untuk membeli kamera. Penjelasan dari pegawai itu cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana Alea.

Sebelum dia puas dengan satu kamera, tangan dan matanya mengarah ke kamera lain, bertanya lagi, beralih lagi, melihat yang lebih bagus, beralih dan bertanya lagi, terus begitu sampai tak memperhatikan waktu.

 

Waktu terus berjalan, Alea masih bimbang dengan kamera yang akan ia pilih. Revan tidak mengeluh apapun, ia hanya mengikuti Alea kemanapun ia pergi untuk mencari kamera lain. Satu per satu pengunjung mulai berdatangan dan membuat toko ini sedikit lebih ramai.

 

"Mending yang mana Van?" Alea bertanya pada Revan untuk memilih kedua kamera yang akan Alea pilih.

Revan tak tahu apa-apa hanya bisa mengangkat bahu dan menurunkannya. 

"Yang menurut kamu bagus aja," ucapnya.

Alea mengangguk, ia mencoba memutar layar kecil dari kamera yang sedang ia pegang, lalu mengintip lewat jendela bidik. Tiba-tiba ia mengangkat kamera, mengarahkannya ke Revan yang sedang memperhatikan jam dinding toko.

Cekrek.

Revan terperanjat. “Hey!”

Alea menahan tawa. “Cuma ngetes. Kamera ini cepet banget nangkep momen spontan.”

 

Revan sedikit tak nyaman dengan hal itu sedari dulu. 

"Jangan kayak gitu." Revan mencoba untuk tidak marah. 

"Kenapa?" tanya Alea dengan ekspresi muka yang bingung.

"Aku agak kurang suka di foto," jelas Revan singkat. 

 

"Ooh, gapapa dong?" Bukannya mengerti dengan permintaan Revan agar tak memfotonya secara diam-diam, Alea malah mencoba untuk memotret Revan sekali lagi.

 

Revan dengan cepat menghindari mukanya dari kamera dengan berputar. Alea sedikit terkekeh dengan itu.

Dia menurunkan kameranya dan berkata dengan pelan, 

"Nanti kamu juga tau kenapa orang-orang suka foto-foto."

 

Revan tanpa ekspresi hanya memandang wajah Alea dan mendengarkan perkataannya. Dia hanya tidak bisa berpose dengan baik saat berfoto, karena itu dia sedikit anti dengan kamera.

Mereka menuju kasir. Sementara pegawai toko menyiapkan nota, Alea berdiri di sebelah Revan. Ia menatap kamera yang kini resmi jadi miliknya dengan mata penuh kebahagian dan rencana yang telah ia pikirkan saat membawa kamera ini ke rumah.

 

Motor tua Revan kembali meraung pelan menyusuri jalanan Bandung sore itu. Angin menyusup di antara jaket mereka, dan sinar matahari mulai melunak, membias di sela gedung-gedung kota.

 

Alea duduk tegak di jok belakang, kardus kamera masih ia dekap erat. “Kalau ini jatuh, langsung putus asa sih aku,” katanya, setengah serius.

“Nggak usah drama. Aku nyetir kayak ninja hari ini,” sahut Revan, mencoba terdengar meyakinkan walau tangannya tadi sebelum berangkat.

 

Mereka melaju pelan melewati gang sempit, keluar menuju jalan utama yang mulai dipenuhi lalu lintas sore. Sambil menyetir, Revan sesekali melirik ke spion.

 

“Kalau kamera kamu rusak gara-gara dibonceng naik motor ini, jangan nyalahin aku ya.”

Alea bersandar pelan, menahan kamera dengan hati-hati. “Tenang aja. Kamera ini dilatih keras dari pabrik. Motor kamu cuma level training ringan.”

Revan menghela napas dramatis. “Motorku tersinggung, tahu.”

 

Alea hanya tertawa, lalu menunjuk ke sebuah baliho besar di pinggir jalan. “Eh tuh, ada diskon es krim. Beli dua gratis satu. Kapan-kapan kita ke sana, ya?”

“Kapan-kapan tuh biasanya besok nggak jadi, lusa lupa, minggu depan ilang niat.”

“Eh, bener juga.”

 

Lampu merah menyala. Revan menghentikan motor, dan mereka berdiri diam bersama banyak kendaraan lainnya. Hening sejenak, sampai Alea nyeletuk, “Kamu sadar nggak sih, helm kamu tuh kayak bantal tempur. Udah gitu agak miring ke kiri terus.”

“Emang ini helm warisan,” kata Revan, bangga. “Udah nemenin aku dari zaman masih belajar nyetir. Miring-miring gitu bagian dari gaya.”

“Helmnya miring, hidup kamu juga?”

“Persis. Nggak pernah lurus.”

Mereka tertawa bersamaan. Saat lampu hijau menyala, motor kembali melaju perlahan membelah jalanan Bandung sore itu. Hanya dua teman kelas yang sedang berbagi udara, suara mesin, dan obrolan receh yang mungkin akan mereka ingat lebih lama dari yang mereka kira. 

 

“Pernah nggak sih kamu mikir, kita tuh kayak karakter NPC di game?” ujar Alea tiba-tiba, serius.

Revan menoleh sedikit, tertarik. “Maksudnya?”

 

“Ya, bangun pagi, sekolah, PR, kadang ketawa-ketawa garing. Terus kayak… ya udah. Hari berlalu aja gitu.”

 

Revan mengangguk pelan, memikirkan. Malam-malam kemarin, baru saja ia memikirkan hal ini. “Iya juga sih. Bedanya, NPC nggak punya tugas buat balesin chat grup kelas tiap malam.”

 

Alea tertawa lagi. “Dan mereka nggak pernah disuruh ngerjain presentasi dadakan jam sebelas malam.”

 

Lampu kembali hijau. Mereka melaju pelan, membelah arus lalu lintas yang mulai lengang. Tidak ada obrolan penting. Hanya canda receh, balasan santai, dan tawa kecil yang tercipta di atas jok motor yang sempit itu.

 

Lucunya, kadang momen paling ringan justru yang paling lekat. Tanpa musik latar. Tanpa bunga-bunga. Hanya dua teman biasa yang sama-sama sedang tumbuh.

 

Revan telah sampai di rumah Alea dengan selamat. Ia bersyukur hari ini tidak ada neko-neko kejadian yang dia alami bersama Alea. Mereka hanya menghabiskan waktu berdua untuk membeli sebuah kamera.

 

"Revan makasih yaa." Alea tersenyum manis pada Revan sebagai ucapan terima kasih. Revan mengangguk pelan.

"Besok langsung bikin video?" tanya Revan terkait tugas kelompok mereka.

"Iya, jangan lupa dateng ya." 

Hari itu akan diingat oleh Revan semalaman ini. Hal yang paling dia senang adalah ketika melihat Alea tersenyum karena dia, bukan karena orang lain.

"Semoga aku bisa mengukir lebih banyak senyuman untuk kamu, Alea."

 

Revan melaju dengan motornya menuju rumah untuk sampai di kamarnya yang nyaman. Dia akan bercerita tentang hari ini pada tembok kamar. Iya, teman Revan saat bercerita. Percuma saat bercerita pada orang lain. 

Mereka tak bisa dipercaya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Fragmen Tanpa Titik
42      38     0     
Inspirational
"Kita tidak perlu menjadi masterpiece cukup menjadi fragmen yang bermakna" Shia menganggap dirinya seperti fragmen - tidak utuh dan penuh kekurangan, meski ia berusaha tampak sempurna di mata orang lain. Sebagai anak pertama, perempuan, ia selalu ingin menonjolkan diri bahwa ia baik-baik saja dalam segala kondisi, bahwa ia bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bantuan siapa pun, bahwa ia bis...
Help Me Help You
1666      975     56     
Inspirational
Dua rival akademik di sebuah sekolah menengah atas bergengsi, Aditya dan Vania, berebut beasiswa kampus ternama yang sama. Pasalnya, sekolah hanya dapat memberikan surat rekomendasi kepada satu siswa unggul saja. Kepala Sekolah pun memberikan proyek mustahil bagi Aditya dan Vania: barangsiapa dapat memastikan Bari lulus ujian nasional, dialah yang akan direkomendasikan. Siapa sangka proyek mus...
Broken Home
29      27     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Langkah yang Tak Diizinkan
162      138     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Kelana
624      465     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
Konfigurasi Hati
451      318     4     
Inspirational
Islamia hidup dalam dunia deret angka—rapi, logis, dan selalu peringkat satu. Namun kehadiran Zaryn, siswa pindahan santai yang justru menyalip semua prestasinya membuat dunia Islamia jungkir balik. Di antara tekanan, cemburu, dan ketertarikan yang tak bisa dijelaskan, Islamia belajar bahwa hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan logika—karena hati pun punya rumusnya sendiri.
Let Me be a Star for You During the Day
965      500     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Warisan Tak Ternilai
454      165     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Batas Sunyi
1812      815     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
GEANDRA
399      314     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...