Rumor yang tersebar di kelas dan luar kelas sudah seperti virus yang cepat menyebar. Hanya mengandalkan beberapa mulut dan kata-kata "Jangan kasih tau siapa-siapa ya." Berita akan langsung menyebar dalam hitungan hari.
Rumor Alea dan Damian berpacaran semakin menyebar tanpa kejelasan yang pasti. Walau orang-orang membahas rumor itu hanya sekilas saja seperti,
"Eh, mereka pacaran ya?"
"Alea sama Damian pacaran?"
Dan sebagainya.
Tapi hal itu benar-benar membuat Alea muak. Setiap kali ada yang mengatakan hal seperti itu, dia menjadi tidak senang dan bahkan terkadang sedikit mengeluarkan emosinya.
Damian.
Lelaki yang sekilas memang sempurna dalam pandangan orang-orang, termasuk Alea. Bisa dekat dengannya adalah salah satu keuntungan yang besar bagi para perempuan.
Di kelas sepuluh, Alea dan Damin berpacaran. Mereka menjalani hari-hari dengan mesra di sekolah membuat iri hati teman-temannya. Orang-orang mulai menyadari kedekatan mereka, dan tersebarlah bahwa Damian berpacaran dengan Alea.
Beberapa ada yang tak setuju, terutama mereka yang mengagumi Damian. Mereka berkata, "Alea ga cocok sama Damian," ucapnya. Tapi dalam suatu hubungan kita tak hanya mencari kecocokan, kita mencari kenyamanan.
Alea tak ambil pusing dengan itu, Damian pun tidak. Terkadang, mereka saling membalas cemburu satu sama lain jika sedang bertengkar— memang hubungan yang belum dewasa.
"Semoga kamu jadi lebih baik, Dam," ucap Alea sambil menatap mata Damian dengan penuh makna.
Damian membalas tatapan yang serupa dengan perkataan,
"Makasih Al, buat semuanya."
Pada hari itu pun, mereka berpisah tanpa sepengatahuan orang-orang.
Hingga saat ini, orang-orang ada yang masih menganggap mereka berpacaran. Tetapi juga ada yang beranggapan bahwa mereka sudah putus, terlihat dari interaksi mereka yang semakin tak terlihat kembali.
Hingga beberapa hari yang lalu, muncul lah rumor yang tidak diinginkan.
Alea tengah di kamarnya, bingung ingin melakukan apa. Saat ia kebingungan, pikirannya tertuju pada buku catatan harian miliknya.
Alea pun duduk di kursi yang dekat dengan meja belajarnya. Tangannya meraih pulpen yang sudah tergeletak di meja, ia mengetuk-ngetuk pulpen itu ke kepalanya sendiri sebelum memulai menulis.
Sampai akhirnya dia mendapatkan ide untuk menulis sesuatu.
"Hai, Damian. Surat ini tidak akan pernah di baca oleh siapapun, jadi aku hanya berharap tulisan ini mewakili semua perasaanku. Kau orang yang dulu aku bangga-banggakan. Kau orang yang dulu ternyata pernah mengisi hari-hariku supaya menjadi lebih bermakna.
Aku menemukan dunia baru di mana aku bisa menemukanmu kala itu. Tapi aku rasa, cukup sama di sini. Perlahan perasaan kita semakin tak dapat dikendalikan. Apakah benar itu yang namanya cinta? Aku bahkan tidak tahu. Ketika kau mengatakan hal-hal yang tak pantas padaku, apakah itu cinta? Ketika kau menyuruhku melakukan sesuatu yang hina, apakah itu cinta? Ketika kita tak lagi saling menyayangi karena perasaan tapi karena nafsu, apakah itu juga cinta?
Damian, aku harap kau terus menjadi lebih baik dari hari kemarin. Aku mengerti, dirimu saat ini seharusnya jadi lebih baik dari kemarin.
Salam hangat, Alea."
Tinta itu terhenti di titik, dan Alea mengenang kebersamaanya bersama Damian di waktu dulu. Air mata sedikit lagi akan keluar dari matanya, tapi ia menahannya agar tidak jatuh.
Dalam ruangan kamar lain, Revan tengah sibuk mengotak-atik layar ponselnya. Ia mencari-cari informasi yang ingin ia dapatkan, yaitu informasi tentang hubungan Alea dan Damian.
Setelah ia mengetahui rasa itu adalah cemburu, Revan tak bisa tinggal diam. Dia harus meredakan rasa cemburunya, dan dia pikir itu bisa teratasi dengan mencari tahu kebenaran hubungan mereka berdua.
"Jika mereka benar-benar pacaran bagaimana?" Terlintas pertanyaan dalam pikiran Revan, tapi ia menyangkalnya dengan "Yaudah sih." Meski hatinya terasa begitu panas dan tak nyaman bahkan hanya dengan memikirkan nya.
Revan mencari akun Instagram Alea, teman-temannya, Damian, dan teman-temannya, demi mencari satu clue terkait hubungan mereka.
Revan bahkan tak segan-segan untuk bertanya pada Andre yang gaul di sekolah, barang kali dia pernah mendengar rumor tentang mereka berdua.
Andre hanya menjawab, "Rumor ga menarik kek gitu jarang gua dengerin, tanya yang lain dah." Seketika membuat Revan kecewa.
Tangannya terus mencari, dan otaknya bekerja sepenuhnya di saat seperti ini. Andai saja otaknya bekerja pada saat ujian, Revan akan mendapat nilai diatas rata-rata. Sayang, dia tidak begitu mempedulikan naik turunnya nilai diri dia sendiri.
"Lulus dulu aja dah, lagian gatau mau jadi apa nanti." Pikirannya saat ini berkata begitu.
Pernah mendengar orang yang tak tahu mau jadi apa setelah besar? Sebagian orang akan menemukan yang seperti Revan bukan hanya satu, tapi banyak yang akan seperti itu.
Mereka adalah orang-orang yang kesulitan menemukan jati diri mereka sendiri, dan terkadang hanya mengikuti arus ke mana mereka akan di bawa.
Setelah jarinya sudah lelah mencari informasi yang tak pasti, Revan menemukan satu clue. Terdapat dari sorotan salah satu teman Alea menunjukan foto dia dan pacarnya, serta Alea dan Damian. Mereka seperti sedang melakukan double date, dengan matching warna baju yang sama.
Walau sorotan itu sudah lama terunggah, Revan masih yakin bahwa mereka masih menjaga hubungan mereka walau tak ditunjukkan pada publik.
Mengetahui fakta itu, perasaan Revan semakin diselimuti oleh rasa tak senang, rasa iri dengki, dan juga rasa sakit. Sakit? Ini tidak seberapa, toh Revan sendiri yang memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam.
Hatinya terasa sedikit tertusuk oleh duri-duri kecil. Sedikit menyakitkan... Revan baru pertama kali merasakannya.
-----
Revan mencoba melupakan perasaan tidak jelas ini yang menganggu kesehariannya. Pikirannya tidak ingin tercemari oleh Alea, Alea, dan Alea. Dia bukan siapa-siapa, perasaan ini bahkan seharusnya tidak perlu ada.
Setiap malam rasanya otak seperti bercanda, menyuruh kita untuk mengingat hal-hal kecil yang menusuk itu. Damian dan Alea.
Revan muak dengan pikirannya setiap malam, dia mencoba mengalihkan ke hal lain dengan tidur harus mendengarkan podcast.
Ia mendengar podcast berisi edukasi, karena jika podcast tentang orang curhat permasalahan hidupnya, Revan malah akan memikirkan masalah hidup orang lain dibanding dirinya sendiri.
Ia juga menjauhi buku hariannya karena terdapat banyak tulisan yang mengarah pada Alea. Revan ingin menyobek halaman itu, tapi dia merasa sayang dengan tulisannya sendiri.
Di sekolah pun, Revan berusaha untuk menjaga pandangannya agar tidak melirik ke arah Alea. Itu akan membuat pikirannya mengingat gadis itu kembali.
Namun, seperti kata orang. Semakin kita berusaha melupakan, semakin kita tak bisa melupakan.
Rasanya serba salah. Lelaki itu harus menahan perasaannya demi Alea yang sudah memiliki pasangan, tapi pikiran menolak untuk melupakannya.
Damian memang tak lagi mendekati Alea, tapi di mata Revan, jarak mereka terlihat dekat walau sebenarnya Damin ada di ujung kelas, dan Alea di bangkunya bersama ciwi-ciwi lain.
Semakin Revan berdiam diri, semakin dia merasakan tali yang sempat ia rasakan saat perasaan pada Alea muncul. Tali yang menghubungkan Revan dengan Alea. Mungkin hanya Revan yang merasakan tali yang mengitari mereka berdua ini.
Alea merasakan sesuatu di belakangnya, ia menoleh dan hanya mendapati Revan dengan menatapnya dengan tatapan yang tak biasa.
Mereka saling membuang muka, tanpa saling bicara.
Alea merasa dia harus tenang entah untuk apa. Dia mengatur nafasnya dengan baik, matanya tertutup dan mulai merasakan sesuatu. Sesuatu yang sama seperti yang Revan rasakan.
"Perasaan..."
"Apa ya ini?"
Alea menoleh ke belakang sekali lagi, dan mereka saling bertatapan.
----
Damian berdiri di bawah pohon rindang dekat dengan lapangan sekolah. Dia menunggu seseorang di sana dengan tas yang ia gandeng sambil memainkan ponsel di tangan kanannya.
Sebenarnya dia tak begitu sibuk untuk mengotak-atik ponsel, hanya menggerakkan jari-jarinya membuka aplikasi satu, menutupnya, lalu membuka aplikasi lainnya.
Sesekali ujung sepatunya mengetuk tanah yang ia pijak, ataupun menendang batu yang ada di sekitarnya.
Damian menunggu seseorang yang akan dia temui sepulang sekolah ini. Terdengar langkah kaki dari kejauhan yang mendekat ke arah Damian. Damian menoleh ke arah suara itu dan mendapati Alea telah sampai.
"Maaf lama," ucap Alea pada lelaki itu.
"Mau di mana?" tanya Damian. Alea menunjukkan kursi panjang yang ada di dekat mereka.
"Di situ aja."
Mereka pun berjalan kearah kursi tersebut dan duduk di sana.
Dua-duanya saling diam dalam waktu yang sedikit lama. Mereka sulit untuk mengucapkan satu patah kata yang ingin mereka bicarakan.
"Umm..." Damian memecah keheningan dengan mencoba berbicara terlebih dahulu. Alea melirik, akan mendengarkan Damian.
"Jadi, gimana cara kita lurusin ke orang-orang?" tanya Damian langsung masuk ke inti pembicaraan.
Alea menggeleng, dia tidak tahu harus bagaimana.
"Percuma mau jelasin ke mereka, pasti ga percaya," kata Alea menundukkan kepalanya.
"Biar aku sendiri yang ngomong sama mereka." Damian berkata demikian. Selama ini dia hanya diam saja mendengar rumor di sana sini, seakan tak peduli. Tapi hal itu berdampak pada Alea, terutama pada kesehatan mentalnya.
"Itu susah Dam, aku aja—"
"Aku usahain." Damian memotong perkataan Alea.
Gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat. Dalam hatinya ia tak yakin dengan Damian, tapi ia juga susah lelah menghadapi omongan orang-orang.
Walau mereka mungkin sebagian ada yang bercanda, Alea sudah muak dengan candaan itu. Dia tak mau memasukkannya dalam hati tapi tak bisa.
"Semoga bisa, Dam." Alea berdiri dan hendak meninggalkan Damian di kursi itu. Tapi langkahnya terhenti setelah beberapa langkah ia berjalan menjauh.
"Dam," panggil Alea.
Damian menyaut, "Ya?"
Tanpa berbalik badan, Alea berkata,
"Aku ga pernah benci sama kamu, tau kan?"
Damian tersenyum mendengar perkataan Alea. Ia mulai berdiri dan mendekat pada Alea.
"Aku tau," bisiknya.
Damian berjalan menyusul Alea yang masih berdiam diri di tempat.
Alea hanya bisa terdiam dengan mimik wajah yang tak dapat di prediksi orang-orang.
Dulu mereka satu kisah, tapi kini memilih jalan masing-masing. Hal yang sulit bagi Alea untuk menerimanya, tapi kini mereka bukan siapa-siapa. Melainkan hanya dua orang yang mencoba saling melupakan perasaan yang pernah ada.