Selama sehari, aku mengikuti permintaan Ansel.
Pagi-pagi sekali, Ansel menjemputku ke rumah. Mama sempat keberatan, tapi tidak melarang karena enggak ada jadwal pekerjaan yang harus kupenuhi. Bagi Mama, hari libur bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih produktif. Tentu saja produktif versi Mama melibatkan Dafa, seperti bikin konten prank yang enggak jelas itu.
Nashila jelas enggak setuju dengan ide ini. Apalagi, Ansel enggak memberitahunya, jadi dia terkejut ketika melihatku di mobil Ansel. Dengan berat hati, aku pindah ke jok belakang dan membiarkan Nashila menempati jok depan.
Dia bahkan enggak mengucapkan terima kasih.
Sepanjang hari ini juga, aku berusaha mengabaikan sikap permusuhan Nashila. Enggak penting, jangan sampai hal itu menggangguku. Aku sudah bertekad ingin bersenang-senang, jadi sikap Nashila enggak perlu dimasukin ke hati.
Ansel membawaku ke kawasan Pasar Lama Tangerang. Dulu, aku pernah ke sini bareng Papa. Ini salah satu tempat favorit Papa kalau pengin makan Chinese food. Ada satu bakmi langganan Papa dan beliau membawaku ke sini. Tentu saja, harus kucing-kucingan di belakang Mama karena bakmi dengan kalori yang enggak bersahabat adalah musuh besar Mama.
Aku membenarkan letak bucket hat untuk melindungi kepala dari terik matahari, sementara Ansel sibuk dengan kameranya. Aku sengaja berjalan di belakangnya, daripada harus mendapat tatapan permusuhan dari Nashila.
Aku terperanjat ketika Ansel tiba-tiba saja memotretku.
“Jelek, deh, pasti. Gue lagi nguap gitu,” protesku.
Ansel melirik layar kameranya dan terkekeh. “Bagus, kok. Kapan lagi ada foto lo lagi nguap.”
“Sel, itu…”
Ansel mengikuti arah telunjuk Nashila dan langsung mengabadikan momen anak kecil yang sedang keberatan mengangkat plastik belanjaan milik ibunya.
Sejak tadi, Ansel memotret kejadian yang berlangsung di pasar. Enggak ada objek khusus, Ansel mengabadikan momen yang menurutnya menarik.
Melihat binar bahagia di mata Ansel, aku jadi penasaran. Aku mengeluarkan kamera mirrorless dan mengikuti Ansel. Tadinya aku membawa kamera untuk jaga-jaga kalau pengin foto. Namun, aku melupakan keinginan untuk foto diri sendiri dan mencoba melihat dari kaca mata Ansel.
Hasil fotoku memang enggak sebagus Ansel. Namun, sekarang aku paham kenapa Ansel menyukai street photography. Karena dari layar kamera yang seadanya ini, aku bisa melihat kehidupan lain yang selama ini enggak pernah aku perhatikan.
“Bagus, tuh. Dapet aja momennya.” Ansel tiba-tiba saja berdiri di sebelahku, ketika aku menatap preview fotoku barusan.
Di layar kamera, ada foto pedagang bubur ayam yang sedang mengelap keringat dengan wajah lelah. Hatiku terenyuh begitu melihat foto itu.
“Gue belum pernah merhatiin sedetail ini. Rasanya sedih aja, ya. Gue kasihan sama bapak itu.” Aku bergumam.
“Tapi sekarang si bapak malah girang karena bubur ayamnya laku,” timpal Ansel, yang mengabadikan senyum girang bapak penjual bubur ke dalam kamera.
Meski menatap dari seberang jalan, senyum bapak itu menular. Aku bisa mendengar tawanya yang terdengar puas ketika jualannya laku sampai habis. Hal sederhana, tapi ketika melihatnya, aku bisa merasakan ketulusan.
Ansel kembali mencari objek foto lainnya dan aku mengekor di belakangnya. Sesekali, aku melirik Nashila. Dia sama sekali enggak terlihat bosan, malah ikut bersemangat ketika mencari objek foto bersama Ansel. Namun, ketika melihatku, dia langsung memasang tampang masam.
“An, Nash, berdiri di situ, deh.” Ansel menunjuk sebuah toko yang tertutup.
Aku menatapnya dengan kening berkerut, tapi tak urung mengikuti sarannya. Aku melangkah ke arah pertokoan itu dan berdiri di depannya.
Nashila juga melakukan hal yang sama. Saat berada di depan toko yang tertutup, kami bersitatap dan saling tersenyum canggung.
Belum sempat aku bertanya kepada Ansel soal tujuannya, dia sudah memotretku dan Nashila. Aku dan Nashila terperanjat. Kami enggak sedekat itu untuk foto bareng dengan akrab. Hasilnya pasti aneh, karena kami pasti tampak canggung.
Ansel tersenyum puas begitu melihat hasil fotonya. Diikuti rasa penasaran, aku mendekatinya untuk mengecek foto itu.
Hasilnya berada di luar dugaanku. Aku dan Nashila memang enggak tampak akrab, tapi enggak canggung juga. Rasanya sama aja kayak foto dengan teman-temanku yang lain. Namun ada yang berbeda dalam foto itu. Mungkin karena keadaan pasar yang ternyata cukup bagus untuk background foto. Atau karena gayaku dan Nashila yang simple, jadi terasa lebih real.
“Bagus, kan?” tanya Ansel dengan nada bangga di suaranya.
“Kalau di-post, bisa-bisa follower aku naik, nih,” timpal Nashila.
Ansel berdeham. “Nash, khusus hari ini kata follower terlarang, ya.”
Nashila melirikku dan Ansel berganti-gantian. Air mukanya tampak keruh, enggak menyukai teguran Ansel. Kalau dia keberatan, Nashila sepertinya enggak mau memperpanjang masalah. Dia kembali memasang tampang acuh dan mengajak Ansel mencari objek foto lainnya.
Di belakang mereka, aku merasakan perasaan aneh. Teguran Ansel membuatku tersentuh, dia benar-benar mengajakku menikmati hari ini seperti layaknya anak tujuh belas tahun yang enggak perlu mikirin apa-apa.
Selesai dengan memotret keadaan pasar, Ansel membawaku kembali ke arah stasiun Tangerang, tempat dia memarkir mobil.
“Laper, enggak?” tanyanya, menatapku dan Nashila berganti-gantian.
Aku mengangguk, begitu juga dengan Nashila.
“Kalian tunggu di mobil bentar, ya. Gue mau motret di jalan itu dulu.” Ansel menyerahkan kunci mobilnya kepada Nashila, sebelum berlari menyeberang jalan dan memotret pertokoan di sepanjang jalan.
Kalau boleh memilih, aku mau mengikuti Ansel. Namun, dia keburu menghilang dari pandanganku, sehingga aku mengikuti Nashila memasuki area stasiun dan menuju mobil Ansel.
Ketika berada di dalam mobil, aku baru merasa gerah. Embusan AC membuatku sadar kalau hari ini lumayan capek.
“Kalian sering hunting foto kayak gini?” tanyaku, setelah meneguk sebotol penuh air putih, dan berusaha memecah keheningan di dalam mobil.
“Lumayan, sih. Ansel, kan, emang suka foto. Gue cuma nemenin aja.”
“Hunting ke mana aja?” buruku.
Ini kali pertama aku menemani Ansel hunting foto dan ternyata cukup mengasyikkan. Capek, tapi menyenangkan. Aku enggak keberatan kalau diajak lagi.
“Enggak tentu. Kadang bisa nongkrong di jalan layang atau ke pasar. Ke mana aja, Ansel sukanya street photography. Baginya, itu lebih real. Daripada stage photo yang diatur sedemikian rupa. No offense ya,” jawab Nashila.
Ada nada kontras di balik ucapannya. Dia berkata enggak bermaksud menyinggung, tapi aku menangkap kalau dia sengaja.
Oh, shut up, An. Bukankah aku ingin hari ini bebas dari semua judgement? Seharusnya pemikiran negatif barusan enggak perlu ada.
“It’s okay. Fotonya Ansel bagus.” Aku menyahut.
“Kamera yang dia pakai sekarang itu hadiah menang lomba,” seru Nashila. Dia menatapku sekilas dari balik pundaknya.
Fakta itu membuatku terkejut. Aku tahu Ansel pernah ikut lomba, tapi dia enggak pernah memperlihatkan foto mana yang diikutsertakan dalam lomba. Juga hadiah yang diterimanya.
“Dia enggak cerita soal itu,” gumamku.
“Harus, ya, cerita?” Tanya Nashila dengan nada sengit.
“Ansel selalu cerita ke gue. Well, seringnya, sih, gue yang cerita ke Ansel.”
Nashila melirikku dari balik pundaknya. “Pacar lo enggak cemburu?”
Kenapa, sih, harus bawa-bawa Dafa? Kalau hari ini terlarang untuk kata follower, seharusnya juga terlarang untuk kata Dafa karena mereka sepaket.
“Gue cemburu.” Nashila berkata pendek dan tiba-tiba, tapi terdengar tegas.
“Hah?” Aku enggak menyangka akan mendengar pengakuannya secara blak-blakan, jadi enggak tahu harus menanggapinya gimana.
Nashila memutar tubuhnya untuk menghadap ke arahku. Kali ini, aku bisa merasakan aura permusuhan yang memancar dari tubuhnya dan Nashila sama sekali enggak menutup-nutupi.
“Harusnya ini jadi momen gue dan Ansel, jadi ketika gue lihat lo, gue cemburu. Gue juga cemburu karena lo duduk di depan, sementara gue mengalah harus duduk di belakang.”
“Kan gue udah pindah ke belakang.”
“That’s not the point. Intinya, gue cemburu karena lo dekat sama Ansel.” Nashila berkata dengan suara meninggi.
“Kita sahabatan sejak kecil.”
Nashila mendengkus. “Gue tahu, tapi kadang gue ngerasa Ansel perlakuin lo lebih dari sekadar sahabat. Dia lebih peduliin lo ketimbang gue.”
“Lo ngaco.” Aku tergelak.
Kenyataannya, aku memang menyukai Ansel. Namun, Ansel menganggapku hanya sebagai sahabat. Enggak lebih. Jadi, tuduhan Nashila sama sekali enggak masuk akal.
“Hari ini buktinya. Ansel tahu kalau momen hunting foto ini punya kami berdua, tapi dia mengajak lo masuk karena lo lagi sedih dan Ansel mau menghibur. Dia membawa lo ke dunia yang seharusnya cuma ada gue dan Ansel. Jadi, gue cemburu,” buru Nashila.
Aku menggeleng, sama sekali enggak setuju. Ansel mengajakku karena mau menghibur, seperti yang selama ini dilakukannya setiap kali aku bersedih.
“Enggak kali ini aja. Awalnya gue berusaha buat terima kalau dia suka ngajak lo bareng atau dia ngebatalin janji karena lo. Lama-lama, gue enggak bisa terima. Pacarnya, kan, gue, kenapa selalu gue yang harus ngalah?” Ada nada tercekat ketika Nashila mengajukan pertanyaan itu.
Aku enggak pernah tahu Ansel melakukan hal itu, mau enggak mau ada sedikit perasaan bersalah di hatiku.
“Lo enggak perlu cemburu.”
Nashila menatapku tajam. “Gue punya hak buat cemburu.”