Aku mengirim pesan berisi SOS kepada Ansel sekitar satu jam yang lalu, ketika benakku begitu penuh dan siap meledak kapan saja. Aku butuh pelampiasan. Aku enggak bisa sendirian, lama-lama aku bisa gila karena dibikin rumit oleh pemikiranku sendiri.
Ketukan di jendela kamar membuatku terlompat dari kasur. Dengan setengah berlari, aku menuju jendela dan membukanya. Cengiran lebar di wajah Ansel langsung menyambutku.
Berbanding terbalik dengan wajahnya yang cerah, aku yakin penampilanku kusut banget.
“Lo baru pulang?”
Ansel mengangguk. “Abis bikin tugas di rumah Theo, sekalian jemput Tante Lea dari rumah muridnya yang searah rumah Theo.”
Aku membuka jendela kian lebar, tapi Ansel menolak masuk. Akhirnya, aku duduk di bingkai jendela sementara Ansel berdiri di luar sambil berpangku tangan di jendela kamarku.
“Udah lama lo enggak ngirim chat SOS ke gue. Apanya yang emergency kali ini?”
Kalau dipikir-pikir, apa jadinya kalau enggak ada Ansel di hidupku?
Kali pertama mengirim pesan itu ketika aku baru punya handphone. Iseng aja, sih, karena pengin mengobrol bareng Ansel. Akhirnya itu jadi salah satu kebiasaanku dengan Ansel. Setiap kali ingin curhat, cukup kirim pesan SOS.
Sampai sekarang, lebih sering aku yang mengirim pesan itu. Sekalinya Ansel mengirim pesan SOS, itu ketika dia bingung mau pakai baju apa dan aku membantunya. Baru belakangan aku tahu kalau itu momen first date dengan Nashila.
“Gimana teater? Udah keluar hasilnya?”
Perlahan aku menganggukkan kepala.
“Dapet?”
Sekali lagi, aku menganggukkan kepala.
Ansel menatapku dengan kening berkerut. “Kenapa enggak happy? Harusnya, lo happy.”
Tanpa sadar, aku menghela napas panjang. Membuat kerutan di kening Ansel jadi makin dalam.
“Harusnya gue happy kalau aja gue enggak tahu ada niat lain di balik penunjukan gue.” Aku memainkan jari-jari tanganku. “Kayaknya cuma lo deh, yang enggak ambil keuntungan dari gue. Cuma lo yang tulus temenan sama gue.”
Meski berkata pelan, nyaris berbisik, aku yakin Ansel mendengarkanku dengan jelas.
“Kenapa?”
Dari mulutku, meluncur percakapan antara Tammy dan Ririn yang enggak sengaja kudengar. Juga penjelasan Tammy dan Trin.
“Capek, An. Ke mana pun gue lihat, bawaannya curiga mulu. Kenapa enggak ada yang tulus sama gue?” tutupku.
Ansel menunjuk dirinya sendiri. “Lo enggak lupain gue, kan?”
Aku tertawa kecil. “Beda, An. Lo … gimana ya? Gue tahu kalau lo enggak akan manfaatin gue. Buat apa juga, kan?”
Alih-alih ikut tertawa, Ansel menatapku dengan wajah serius. Kalau melihatnya seperti ini, aku enggak yakin dia masih delapan belas tahun. Ansel terlihat jauh lebih dewasa. Dia memberikan kesan bisa diandalkan. Seakan-akan enggak ada masalah yang enggak akan selesai, kalau Ansel sudah turun tangan.
Dia begitu bisa dipercaya, membuatku tanpa sadar menggantungkan apa pun kepadanya.
“Gue capek, An. Tapi, orang-orang malah mikir gue ungrateful atau munafik karena nerima semua kemudahan ini, tapi juga mengeluh.” Aku kembali berkeluh kesah.
“Ya kalau pakai pola pikir begitu, kita enggak boleh mengeluh sedikit pun karena akan selalu ada orang lain yang lebih menderita. Tapi, kan, struggle tiap orang beda. Struggle lo dan gue beda. Lo dan Arisha beda. Enggak ada yang lebih berat karena semuanya sama aja.” Ansel tertawa kecil. “Itu kata nyokap gue, sih.”
He’s right. Namun ketika menghadapinya langsung, sulit untuk menanamkan pemikiran seperti itu.
“Soal teater, gue setuju sama Arisha. Kalaupun lo dapat privilege, kenapa? Bukan salah lo, kan?” Ansel menatapku serius. “Lo punya nama besar yang dikenal karena usaha.”
Aku mendengkus. “Usaha apanya?”
“Dapetin foto bagus yang layak di-post di Instagram itu juga usaha, An.”
Aku mengangkat bahu. “Tapi di mata orang-orang, I’m famous for being nothing.”
Ansel mengibaskan tangan di depanku, kebiasaannya setiap kali tidak setuju dengan pendapatku.
“Pernah enggak lo sengaja cari gara-gara terus viral dan terkenal?” tanyanya, yang kujawab dengan gelengan kepala. “So? Lo sama sekali enggak famous for being nothing. Mungkin … famous for being pretty?”
Refleks aku tersenyum ketika mendengar ucapan itu. Ansel memang enggak memujiku cantik, tapi rasanya kayak dipuji. Dan, mendapat pujian dari Ansel adalah hal yang membahagiakan.
“Kecuali konten bareng pacar lo, tapi itu, kan, bukan keinginan lo.”
Senyum di wajahku langsung lenyap ketika Ansel menyinggung Dafa. “Nah, itu juga, sih.”
Ansel mengulurkan tangannya dan meraih tanganku, membuatku berhenti memainkan jari-jariku sendiri. “Kalau lo memang capek, selalu ada option buat berhenti.”
Ucapan itu terdengar sangat mudah untuk dilakukan, tapi juga sangat sulit untuk diwujudkan.
“Mama enggak bakal setuju,” bisikku.
“Lo mau selamanya ikutin kata nyokap lo?” tanya Ansel.
Aku menarik napas berat, tapi rasanya sudah tidak sesesak tadi. Mungkin karena kehadiran Ansel. Mungkin juga karena genggaman Ansel yang terasa hangat.
“Ya enggak, sih, An. Tapi, kan…”
Ansel memotong penyangkalan. “Bukannya gue menyuruh lo buat jadi anak durhaka yang enggak ngikutin apa kata orangtua. Kalau Mama Nica nyuruh masuk jurang, lo mau?”
Aku tergelak, sekaligus bingung dengan ucapannya yang tiba-tiba ngelantur. “Apaan, sih, An?”
“Enggak mau, kan?” tanyanya, yang kujawab dengan gelengan. “Lo coba ngomong sama Mama Nica, gimana pun dia nyokap lo. Pasti ngertilah.”
Aku mendengkus. “Mama ngertinya cuma adsense dan endorse.”
Ansel tertawa kecil. “Kalau belum dicoba, hasilnya masih 50:50. Bisa ngerti, bisa enggak.”
Sekali lagi, Ansel menunjukkan kalau dia benar. Namun, aku masih ragu mengikuti sarannya itu.
“Seringnya, lo dipenuhi asumsi. Belum dicoba, tapi udah mikir hasil terburuk. Kenapa enggak mikirin kemungkinan hasil yang baik?” tanya Ansel lagi. “Contohnya soal teater tadi. Lo mikirin kalau orang-orang bakal meledek karena privilege. Padahal bisa aja lo mikir orang-orang akan terpukau dan mengakui kalau lo hebat?”
Bukannya aku mau menjadi seseorang yang selalu dipenuhi pikiran negatif. Tentu saja aku mau memikirkan hal seperti Ansel atau Arisha. Namun, aku sudah terlalu lama membiarkan pemikiran negatif dan penuh curiga menguasai benak, sehingga rasanya wajar kalau aku selalu melihat ada hal buruk yang akan menimpaku.
Aku juga tahu kalau aku enggak bisa selamanya begini.
Ansel benar, kalau belum dicoba, setiap hasil memiliki kemungkinan 50:50.
Mungkin Ansel juga benar, begitu pementasan teater itu selesai, aku akan mengubah persepsi orang yang meremehkanku. Atau, bisa saja bukan teater. Bisa saja, Promises Promises yang membuatku bisa mengubah persepsi publik, kalau aku bukan famous for being nothing.
Begitu pemahaman itu memenuhi benakku, rasanya seperti ada beban yang diangkat dari pundakku. Pun ketika aku mencoba tersenyum, rasanya sudah lama aku enggak tersenyum lepas seperti ini.
Ansel ikut tersenyum, sepertinya dia menyadari perubahan suasana hatiku.
“Lo mau ikut gue hunting foto?” tanyanya tiba-tiba.
Aku belum pernah ikut Ansel hunting foto dan ajakan itu terdengar begitu menggiurkan. Jadi aku langsung mengangguk mengiakan tawaran itu. “Ke mana?”
“Keliling-keliling aja, rencananya mau ke Pasar Lama dan sekitaran situ sih.”
“Berdua aja?” tanyaku penuh harap.
“Bareng Nashila, kecuali kalau lo mau ajak Dafa.”
Refleks aku mendengkus. Entah apa yang membuatku lebih kesal, karena ada Nashila, atau karena Ansel membawa nama Dafa.
“Oke, tapi enggak usah ajak Dafa.”
“Berantem?” tanya Ansel dengan tatapan penuh selidik.
Aku mengangkat bahu. “Dia ciuman sama Ghania.”
“Oh.”
Tanggapan Ansel yang apa adanya membuatku berjengit. “Gitu doang tanggapannya?”
“Lo mau tanggapan kayak gimana?” Ansel balas bertanya, dengan ekspresi geli di wajahnya.
“Yang lebih bersimpati gitu.”
“Lo mau gue nonjok dia?”
Aku berjengit, kembali teringat kejadian di Bali ketika Ansel menonjok Dafa. Sampai sekarang, Dafa masih mengungkit kejadian itu. Padahal, aku yakin tonjokan itu enggak seberapa. Lagian, dia pantas dapetin lebih dari sekadar tonjokan.
Melihat Dafa ditonjok jadi sesuatu yang pantas, tapi aku engak mau Ansel terlibat masalah lebih jauh dengan Dafa. Jadi, aku menggeleng.
“Enggak usah, ntar lo dituntut. Perawatan mukanya mahal, kalau ditonjok ntar dia dapat alasan biar bisa sekalian operasi plastik. Mau mancungin hidung katanya.” Aku tergelak.
“Pacar lo drama.”
Tawaku semakin lepas. “Kalau enggak drama, dia enggak punya konten buat vlog, terus dia enggak dapat duit, deh.”
Ansel ikut tertawa bersamaku. Dia tampak geli, mungkin dia benar-benar enggak bisa terima kalau ada orang sedrama Dafa.
“Asal lo jangan ikut-ikutan drama aja kayak dia,” tukasnya.
“Drama hidup gue udah banyak, An. Gue enggak perlu sengaja nyari masalah kayak Dafa.”
Ansel berhenti tertawa. Kini, dia menatapku dengan wajah serius. Tatapannya memaku, membuatku merasa jengah ketika dia enggak berkata apa-apa, hanya menatapku lekat-lekat. Ansel memerangkapku dengan tatapannya, dan dia enggak tahu kalau saat ini, jantungku rasanya seperti marching band saking hebohnya.
“Besok, sehari aja, lupain semua drama hidup lo. Just being you. No judgement. No expectation. Just being a 17 years old girl. A normal girl, not someone with millions followers.” Ansel berkata tegas, dengan tatapan tajam yang menuntutku memberikan jawaban yang diinginkannya.
Dan aku mengangguk. “Oke.”