Setelah syuting di Bali selesai, seminggu ini syuting dilanjutkan di Jakarta. Sudah tiga hari terakhir, lokasi syuting berada di sekolahku, sehingga aku berada di sekolah sampai malam karena jadwal syuting baru dimulai begitu jam sekolah berakhir.
Itu artinya, sudah seminggu ini pula aku enggak berangkat ke sekolah bareng Ansel, juga enggak mampir ke Heart Scent. Untungnya Ansel sudah kembali seperti biasa, tetap rajin mengirim chat untuk menyemangati dan enggak lagi menyinggung soal Dafa.
Omong-omong soal Dafa, aku juga bersyukur selama seminggu ini enggak mendengar kabar tentang dia. Enggak sepenuhnya hilang kabar, karena Dafa masih rajin update di Instagram Story, sampai jadi titik-titik saking banyaknya. Namun setidaknya, dia enggak lagi menggangguku dengan dramanya yang menggelikan itu.
Jadi, aku enggak perlu cari masalah lagi. Malah, barusan saja Mas Sapta memujiku.
“Kalau dilihat-lihat, kamu, tuh, bagus, lho. Cuma masih harus diasah aja, sih, Key, tapi Mas yakin sih kalau kamu mau belajar. Keep up the good work, ya.”
Mas Sapta memang demanding, tapi dia punya alasan yang jelas. He always push me to the limit, dan aku bisa merasakan hasilnya sekarang. Meskipun waktu di Bali aku sempat bikin kacau, itu enggak membuat Mas Sapta jadi skeptis.
Dapat pujian dari Mas Sapta jelas sebuah mood booster bagiku.
“Ketemu lagi, ya, di proyek selanjutnya.”
“Aku, sih, mau banget, Mas,” sahutku. Siapa juga yang enggak mau diarahin Mas Sapta lagi? “Kalau ada proyek, Mas Sapta kontak aku, ya.”
Mas Sapta tertawa sambil menganggukkan kepala. “Kamu, tuh, di luar ekspektasiku. Soalnya image kamu enggak gitu bagus. Ya apa juga yang bisa dilihat dari clip lima menit yang viral itu?”
“Ya aku juga enggak punya portofolio, sih, Mas, kecuali clip lima menit itu.” Aku tertawa, enggak nyangka sekarang bisa menertawakan video berisi salah satu momen paling memalukan dalam hidupku itu.
Mas Sapta mengulurkan tangannya. Saat membalasnya, dia menjabat erat. Dia mungkin orang baru, sebelumnya baru menghasilkan satu web series, tapi tetap saja Mas Sapta bukan orang sembarangan. Terlibat dalam proyek yang ditanganinya jelas suatu kehormatan bagiku.
“Habis ini udah ada plan?”
“Mama, sih, lagi dealing sama series baru gitu. Tapi aku juga mau ikut casting teater sekolah.”
“Act 8, ya?”
Aku mengangguk. “Mas Sapta tahu?”
“Siapa yang enggak tahu? Peran utama?”
“Supporting, sih, Mas, tapi aku suka perannya. More challenging, sih, buatku, meski karakternya enggak jauh beda sama keseharianku,” sahutku dengan semangat berapi-api.
“Good luck, ya.”
Sepeninggal Mas Sapta, aku membereskan barang bawaanku dibantu oleh Mama. Ini adegan terakhirku, jadi tugasku sudah selesai. Ini juga jadi adegan terakhir yang syuting di sekolahku. Setelah ini, aku bisa bersiap untuk mengikuti audisi Act 8 sambil menunggu masa promo web series ini dimulai.
Suasana lokasi yang sejak tadi sudah ramai jadi mendadak riuh dengan sorakan. Diikuti rasa penasaran, aku mencari tahu sumber keributan.
Saat itulah aku melihat Dafa tengah menghampiriku dengan sebuket besar bunga di tangannya. Dia enggak sendirian, di belakangnya ada teman-temannya yang juga membawa bunga dan papan berisi huruf-huruf yang jika dibaca menjadi ‘I’m Sorry’.
“Apa-apaan, nih?” Aku bertanya sendiri.
Sepertinya cuma aku aja yang enggak excited karena semua orang yang ada di sini malah heboh dengan tingkah Dafa. Atau mungkin mereka sudah tahu, karena enggak mungkin Dafa sendirian menciptakan kejutan ini.
Aku melirik Mama yang sedang senyum-senyum. Pasti ada andil Mama di dalamnya.
Dafa berdiri tepat di depanku, dengan wajah yang sangat memelas. Kalau aja dia mau, Dafa bisa memanfaatkan kemampuan aktingnya untuk hal yang lebih produktif selain bikin konten enggak jelas begini.
Oke, ini pasti salah satu konten vlog yang disiapkan Dafa. Aku melirik ke sekelilingnya, termasuk deretan teman-teman di belakangnya. Aku memang enggak mengenal mereka secara dekat, tapi aku tahu siapa mereka. Golongan orang yang ingin kecipratan momentum demi keuntungan pribadi. Aku yakin, mereka enggak peduli denganku, kehadirannya di sini juga bukan untuk mendukung Dafa, tapi demi ajang pansos. Siapa tahu dapat tambahan follower, kan?
“Babe, aku salah sama kamu. Nuduh kamu macam-macam, tapi itu karena aku cemburu. Makanya aku jadi nyebelin kayak kemarin. Maafin aku, ya, Babe.” Dafa berkata pelan, dengan nada lembut, yang—menurut penggemarnya—bisa membuat hati siapa pun meleleh. Apalagi jika dia sudah menatap dengan puppy eyes kayak gini, aku jamin penggemarnya akan jumpalitan kegirangan meski cuma melihat dari layar handphone.
Kini, sorakan di sekitarku juga ditambah dengan suitan dan tawa yang meledek. Aku jadi enggak enak dengan kru yang harus menyaksikan drama enggak bermutu kayak gini.
“Ya enggak gini juga, Daf. Masa di lokasi syuting kayak gini, sih?”
“Biar kamu enggak kelamaan ngambeknya. Enggak mau, ah, diem-dieman kayak gini. Makanya aku sengaja bikin surprise ini buat kamu, biar kamu maafin aku.” Dafa terus melancarkan aksinya.
Aku menatap ke sekeliling, berusaha menyampaikan permintaan maafku kepada kru yang terganggu dengan aksi Dafa. Namun, sepertinya mereka tengah menikmati drama ini. Mungkin mereka berpikir, kapan lagi bisa melihat adegan sinetron secara langsung?
“Kamu tenang aja, aku udah minta izin Mas Sapta kok.” Dafa menoleh ke arah Mas Sapta, yang ikut bergerombol di dekat kami sambil tertawa geli. “Thanks ya, Mas.”
Mas Sapta mengacungkan ibu jarinya. Tentu saja Dafa dapat izin, hitung-hitung ini juga jadi promo colongan serial ini.
Apa, sih, yang aku harapkan? Bukankah semua hal dalam hidupku sudah melalui perhitungan untung rugi? Termasuk aksi Dafa ini. Dia pasti sudah menghitung berapa banyak keuntungan yang didapatnya.
Mama pun pasti sudah melakukan perhitungan yang sama.
“Key, jawab dong. Ditungguin, nih.”
Aku mendongak menatap seseorang yang berteriak lantang. Aku enggak tahu siapa namanya, tapi dia salah satu pengikut Dafa yang membawa papan dengan huruf S.
“Ini live?” tanyaku.
Dafa mengangguk dengan wajah puas. “Instagram dan Tiktok. Enggak aku aja, tapi yang lain pada live juga, tuh. Makanya pada nungguin jawaban kamu.”
Rasanya ingin mengumpat mendengar jawaban itu. Sekarang aku malah merasa sangat malu.
“Babe, kamu maafin aku, kan?”
Aku kembali terdesak, sama seperti ketika Dafa menembakku beberapa bulan lalu. Saat itu, dia juga melancarkan aksi live kayak gini. Sama seperti saat itu, sekarang pun aku bisa menebak keinginan apa yang disampaikan oleh mereka yang sedang menonton.
Mereka ingin aku memaafkan Dafa dan balikan. Padahal mereka enggak tahu apa permasalahanku dengan Dafa.
They just love the idea of me and him. Entah apa gunanya, aku enggak tahu, karena mereka juga enggak kenal aku atau Dafa, tapi mereka beranggapan seolah-olah pendapat mereka punya peranan sangat penting dalam hidupku.
“Ayo dong, Key. Balikan sama Dafa.” Teriakan teman Dafa yang lain, yang diikuti oleh sorakan tanda setuju.
“Kamu minta maaf buat apaan emang?”
Selama sedetik, aku melihat Dafa kesulitan menahan emoi, tapi dia bisa segera menguasai diri. Dia kembali berubah menjadi Prince Dafa idaman penggemarnya, dengan wajah lembut dan senyum manis yang membuat hati meleleh.
Juga permintaan maaf super romantis yang bagi orang-orang terlihat manis, tapi menurutku ini sangat norak.
“Aku udah bikin kamu marah waktu di Bali karena cemburu terus nuduh kamu yang enggak-enggak. Iya aku cemburu, tapi itu karena aku sayang banget sama kamu. Makanya, maafin aku ya, Key.” Dafa kembali menatapku dengan puppy eyes yang membuatnya tampak memelas.
“Oh ya? Cuma itu? Enggak karena kesalahan lain yang jauh lebih matters?”
“Key, jangan macam-macam. Ini lagi live,” geram Dafa dalam nada pelan, sehingga cuma aku yang bisa mendengarnya.
Aku menatapnya dengan mata menyipit. “Padahal kesalahan kamu malam itu jauh lebih besar ya, Daf, ketimbang drama yang kamu bikin.”
Dafa bergerak mendekatiku, sehingga dia bisa berbisik kepadaku. “Enggak usah macam-macam, deh. Kamu pikir kalau orang lain tahu, mereka akan ngebela kamu? Enggak usah naif, Key. Why don’t you just play the game?”
Dengan berat hati, aku mengakui kalau ucapannya ada benarnya juga. Aku cuma bisa menggertak dalam hati buat melampiaskan kekesalan.
Melihatku yang enggak memberikan reaksi apa-apa, Dafa menyerahkan bunga itu kepadaku. Sedikit memaksa agar aku menerimanya. Setelahnya, dia memelukku pelan.
“Thanks, ya, Babe, udah maafin aku. Aku janji enggak akan bikin kamu marah lagi. Sayang kamu, Babe.”
Sementara itu, aku hanya diam. Aku enggak memberikan jawaban apa-apa, tapi Dafa—dan yang lainnya—mengartikan keterdiaman itu sebagai tanda bahwa aku memaafkannya.