Ini hari terakhirku di Bali, dan sepanjang hari aku uring-uringan. Padahal, jadwal syuting hari ini padat banget. Aku sampai dimarahi sutradara karena kesulitan menangkap arahannya.
“Lagi,” teriak Mas Sapta, setelah aku berbuat kesalahan untuk kesekian kalinya, dan terpaksa melakukan take ulang.
“Lo kenapa, sih? Adegan gampang gini doang malah salah-salah mulu. Lo emang enggak mutu, ya,” omel Kenny, sambil meninggalkanku dengan menghentakkan kaki agar semua orang di lokasi syuting tahu kalau dia kesal.
Meski kata-kata terakhir Kenny terdengar menusuk, aku enggak bisa marah. Kenny punya hak untuk kesal kepadaku karena dia benar. Adegan ini enggak sulit, tapi aku malah bikin kacau.
“Break sepuluh menit, ya. Key. Konsentrasi, abis ini enggak ada salah-salah lagi,” ujar Mas Sapta.
Aku menggumamkan permintaan maaf. Aku jadi enggak enak hati dengan kru yang sudah bekerja keras sejak pagi, dan terpaksa bekerja lebih keras lagi karena aku enggak becus.
Kejadian semalam jadi pemicu kenapa hari ini aku susah berkonsentrasi. Dafa masih melanjutkan dramanya dengan tuduhan aku selingkuh. Tuduhan yang sangat menggelikan. Rasanya mau ketawa, tapi enggak bisa karena tuduhan itu juga membuat Ansel menghindariku.
Oke, itu cuma perasaanku saja. Aku enggak melihat Ansel sejak pagi. Dia juga enggak mengangkat telepon, apalagi membalas chat yang aku kirim. Aku enggak tahu dia di mana, karena waktu menelepon ke kamarnya di hotel, Theo bilang Ansel udah berangkat pagi-pagi banget. Katanya mau hunting foto, tapi Theo enggak tahu dia hunting foto di mana.
“Ma, Ansel nelepon aku enggak?” tanyaku pada Mama, yang menunggu di tenda tempatku istirahat.
Selama take, aku enggak bawa handphone dan menitipkannya ke Mama. Aku sudah mengirim pesan kepada Ansel buat mengabariku, dan berharap dia meneleponku. Bagaimanapun, aku merasa bersalah karena sudah menyeret Ansel ke dalam drama yang ditimbulkan Dafa.
Mama mendelik saat mendengar pertanyaan itu.
“Ngapain mikirin Ansel? Dari tadi kamu bikin kesalahan terus.” Mama membalas galak. “Kamu berantem lagi sama Dafa karena Ansel, kan?”
Dafa tentu saja enggak akan meninggalkan Mama dalam dramanya. Dia sengaja mengadu, lengkap dengan gayanya yang lebay dan melebih-lebihkan cerita, kepada Mama tadi pagi saat sarapan. Aku bahkan enggak punya waktu untuk menanggapi karena dia enggak berhenti ngomong. Untung saja aku sudah harus berangkat ke lokasi syuting, jadi enggak perlu dengerin laporan Dafa.
Masalahnya, di sepanjang perjalanan menuju lokasi syuting, Mama malah ikut-ikutan memojokkanku. Mama semakin meradang ketika aku bilang memang bareng Ansel semalam, dan jadi termakan aduannya Dafa.
“Udahlah, enggak usah urusin Ansel. Kalau syutingnya udah kelar, kamu temuin Dafa terus minta maaf.”
Hampir saja aku menyemburkan minuman saat mendengar ucapan Mama. “Enggak salah, Ma?”
Mama menatapku dengan mata menyipit, ekspresinya terlihat tegas dan enggak mau dibantah.
“Dia yang udah kelewatan. Enak aja dia pegang-pegang aku kayak gitu. Terus dia yang drama, nuduh enggak jelas, masa aku yang minta maaf?”
Kini Mama berusaha memasang ekspresi yang sedikit lebih lembut.
“Aku mau putus.”
“Mama udah bilang, jangan sekarang. Nanti, kalau kamu udah dapat peran itu…”
“Aku enggak peduli. Enggak dapet peran apa pun juga aku enggak masalah.” Aku memotong perkataan Mama.
“Anna…”
“Key, siap-siap, ya,” Mbak Uli, asisten Mas Sapta, menjadi penyelamatku dari perdebatan dengan Mama.
Aku meninggalkan Mama, dalam hati bertekad untuk enggak akan terpengaruh dengan drama apa pun lagi bersama Dafa.
Kenny menyambutku dengan wajah datar, sepertinya dia masih memendam kesal.
“Lo udah bisa kerja sama, kan? Atau masih mikirin selingkuhan lo itu?”
Aku menggertakkan gigi mendengar ledekan Kenny.
“Ken, Key, stand by, ya!”
Aku menghela napas dan memasang ekspresi sedih, sesuai dengan peranku di series ini, cewek yang tersakiti oleh pacarnya.
**
Sampai malam, ketika aku sedang nongkrong bareng Arisha, Ghania, dan Theo, Ansel masih belum ada kabarnya. Aku sampai capek menghubunginya karena enggak ada balasan satu pun. Bahkan, Theo aja sampai menyerah karena enggak henti-hentinya aku tanyai.
“Key, nih Ansel bilang dia on the way balik dari Pasar Sukawati. Udah ya, jangan tanyain gue lagi.” Theo memperlihatkan layar handphone berisi chat dari Ansel kepadaku.
Tanpa sadar, aku menarik napas lega. Meski lewat Theo, setidaknya aku tahu kabar Ansel.
“Kalau gue jadi lo, gue lebih mikirin gimana caranya baikin Dafa setelah ketahuan selingkuh.”
Aku berjengit saat mendengar ucapan Ghania.
“Selingkuh? Siapa yang selingkuh?” tanya Arisha.
Ghania menunjukku dengan dagunya. “Semalam Dafa mergokin Key sama Ansel.”
Arisha dan aku saling berpandangan, sebelum dia tertawa geli. Berbeda dengan Ghania, Arisha enggak ikut termakan tuduhan Dafa yang enggak penting itu.
“Gue enggak selingkuh sama Ansel. Dia sahabat gue.”
“Sahabat, my ass.” Ghania mendengus.
“Dia udah punya pacar. Nashila, kalian juga kenal. Dia datang ke pesta ulang tahun gue,” balasku.
“Memangnya kalau udah punya pacar, enggak boleh lirik cewek lain?” Ghania menantangku.
“Ya enggaklah.”
“What’s the deal? Kayak udah berkomitmen serius aja.” Ghania berkata cuek. “Kalau prinsip lo kayak gitu, harusnya lo enggak akrab lagi sama Ansel karena lo udah pacaran sama Dafa.”
Aku menahan diri untuk enggak tertawa saat mendengarkan ucapan Ghania. “Konsep kayak apaan begitu? Udah punya pacar, terus enggak boleh temenan sama cowok lain? Gue baru tahu kalau lo dan Dafa kolot juga.”
Ghania mendecakkan lidah. “Itu namanya menghargai pacar.”
Menghargai. Satu kata itu membuatku tertawa. Bagaimana bisa aku menghargai Dafa sementara dia sendiri sama sekali enggak menghargaiku. Hubunganku dengannya memang sebatas setting-an, enggak 100% real, tapi seharusnya dia tetap menghargaiku.
Aku bangkit berdiri, lebih baik kembali ke kamar daripada di sini dan mendengarkan ocehan Ghania yang hanya membuatku makin uring-uringan.
“Gue duluan, ya.”
Tanpa menunggu balasan, aku beranjak meninggalkan restoran hotel untuk kembali ke kamar. Saat berada di lobi, aku melihat Ansel tengah menuju lift. Dengan setengah berlari, aku menghampirinya.
“An, lo ke mana aja?”
Ansel menoleh dan tersenyum saat melihatku. Dia kelihatan lusuh dan capek. Ke manapun dia seharian ini, sambil membawa ransel berisi kamera yang berat banget itu, jadi wajar kalau dia secapek ini.
“Hunting foto. Tadi ke Karangasam terus terakhir ke Pasar Sukawati.” Ansel menjawab santai.
“Naik apa?”
“Sewa motor,” sahutnya, dengan cengiran lebar di wajahnya. “Sorry ya enggak ngabarin. Lo pasti sibuk banget hari ini, terus gue juga overwhelmed banget sama spot foto yang gue dapet.”
Aku meneliti Ansel sambil melihat apa ada yang disembunyikannya. Namun, dia tetap bersikap seperti biasa. Apa aku aja yang lebay dan terlalu khawatir, makanya jadi uring-uringan terus sepanjang hari ini? Sementara Ansel malah biasa-biasa aja.
“Lo enggak marah terus ngehindarin gue, kan?”
Ansel tergelak. Dia mempersilakanku masuk ke lift terlebih dahulu.
“Ngapain gue marah? Karena tuduhan Dafa? Dia aja yang lebay.”
Aku menarik napas lega karena Ansel enggak marah, tapi masih ada perasaan bersalah di hatiku.
“Sorry, ya, An.”
“Enggak perlu minta maaf sama gue. Dia yang harusnya minta maaf sama lo,” timpal Ansel. “Soal ucapan gue semalam, gue serius.”
“Yang mana?”
Ansel berbalik hingga menatapku. “Mending lo putusin dia karena enggak guna juga pacaran sama cowok berengsek kayak dia.”
“Mama enggak ngizinin.”
Ansel menatapku dengan dahi berkerut. Dia enggak akan melepaskanku begitu saja, jadi aku menceritakan soal kemungkinan peran yang sedang diincar Mama, dan itu jadi alasan kuat kenapa aku enggak boleh putus sama Dafa. Aku bisa terima kalau Ansel menertawakanku, tapi sampai ceritaku selesai, dia enggak tertawa sama sekali. Malah, dia menatapku dengan ekspresi kasihan di wajahnya.
“Lo pacaran demi apa, sih?”
Aku juga enggak tahu sebenarnya apa tujuanku pacaran dengan Dafa. Sejak awal aku enggak pernah memikirkannya. Tiba-tiba saja dia dekat denganku, meski awalnya sebatas konten, dan dia menembakku. Aku merasa mendapat tekanan yang mengharuskanku untuk menerimanya sebagai pacarku saat itu juga, dan aku menyerah pada tekanan. Tahu-tahu, aku sudah pacaran dengan Dafa meski sebenarnya aku enggan.
“Menurut gue, mending lo pikirin lagi, deh.” Ansel menahan pintu lift saat terbuka di lantai tempat kamarnya berada. “Kalau lo enggak suka sama dia, mau nyokap atau semua followers lo mendukung, buat apa? Kecuali kalau dia ada baik-baiknya, ya, jadi nggak apa-apa deh dipertahanin. Tapi dia aja enggak menghargai lo kayak gitu, jadi buat apa?”
Ansel yang aku tahu itu irit omongan. Sekalinya dia ngomong panjang lebar, itu artinya dia sudah sangat kesal. Malam ini, Ansel ngomong jauh lebih banyak dibanding aku, jadi itu artinya dia sudah sangat teramat kesal.
“Lo harusnya lebih megang kendali dalam hidup lo, bukannya ngebiarin orang lain terus mendikte, sekalipun itu nyokap lo. Gue enggak tahu sejak kapan lo jadi kayak gini, karena setahu gue, dulu lo enggak pasrahan kayak gini. Night, An.”
Ansel meninggalkanku yang terpaku di dalam lift, dengan kata-katanya yang terasa begitu menusuk.
Dia benar, sejak kapan aku membiarkan hidupku didikte oleh orang lain?